laman

KETENTUAN ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN (KHILAFAH)



KETENTUAN ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN (KHILAFAH)

1. Pengertian

            Menurut bahasa, khilafah berasal dari bahasa Arab ”kholafa, yakhlifu, khilafatan” yang artinya menggantikan atau menjadi khalifah / penguasa. Kata kholafa dapat diartikan ”kekuasaan” atau ”pemerintahan”
            Menurut istilah, khilafah diartikan sebagai ”susunan pemerintahan yang diatur menurut ajaran Islam, dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan seluruhnya berlandaskan ajaran Islam”.
            Bentuk khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al-qur’an dan Sunnah pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah Saw dan masa Khulafaurrasyidin yang dilaksanakan dan diikuti kaum muslimin secara konsisten.
            Dalam kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dalam bernegara, konsep khilafah Islam atau negara Islam mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu :
a. Negara Islam, yaitu negara yang sumber hukum / undang-undangnya berdasarkan Al-qur’an dan sunah dan dilaksanakan secara konsekuen. Misalnya negara Arab Saudi.
b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, undang-undang tidak secara eksplisit berdasarkan Al-qur’an dan Sunnah, tetapi umat Islam dapat menjalankan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya. Misalnya, negara-negara Arab, Mlaysia, Iran, Brunei, dan negara-negara OKI, termasuk Indonesia.

2. Tujuan Khilafah

            Khilafah atau pemerintahan dal.am Islam bukanlah menjadi tujuan, tapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan khilafah adalah :
a. Terciptanya kehidupan bergama yang mantap pengamalannya dengan segala aspek
    kehidupan umat.
b. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil, makmur, dan sentosa.


3 Dasar-dasar Pendirian Khilafah

a. Berdasarkan hasil ijma’ sahabat yang memandang pentingnya mendirikan khilafah dan
    menentukan khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw.
b.  Agar umat Islam dapat menyempurnakan kewajibannya sebagai umat Islam, seperti melaksanakan hukum Islam, menjaga keamanan, membela agama, dan lain-lain. Untuk keperluan ini wajib mendirikan khilafah.
c. Adanya isyarat perintah mendirikan khilafah yang terdapat pada nash Al-qur’an dan Al-hadis. (baca QS. An-Nuur:55).

            Pada zaman Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin, pelaksanaan khilafah dilandasi / didasarkan pada aspek :
a. Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggungjawab dalam menyampaikan amanah kepada
    rakyat.
b. Keadilan yang mutlak terhadap segala lapisan masyarakat.
c. Persatuan atau ukhuwah Islamiyah
d. Tauhid
e. Kedaulatan rakyat (taat kepada ulil amri / wakil-wakil rakyat)

4. Perbedaan Khilafah dengan Khalifah

Khalifah dapat diartikan sebagai berikut :
a. pengganti, yaitu pengganti kedudukan pendahulunya
b. Dalam arti khusus, khalifah yaitu ”kepala negara setelah Rasulullah Saw atau pengganti-pengganti Rasulullah sebagai kepala negara”, seperti Khulafaurrasyidin dan seterusnya.

            Peredaan Khilafah dengan khalifah adalah :
-      Khilafah adalah pemerintahan, kepemimpinan.
-      Khalifah adalah orangnya, yaitu pemimpin atau pemerintah.


5. Syarat-syarat menjadi Khalifah

a. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
b. berakhlak mulia, adil, jujur dan bertanggungjawab.
c. Memiliki kecerdasan dan berpengetahuan luas.
d. Teguh pendirian dalam menjalankan pemerintahan
e. Merupakan hasil pilihan rakyat.
           



























KONSEP JIHAD DALAM ISLAM

1. Beberapa Pengertian Jihad
a. Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd. Artinya adalah saling mencurahkan         usaha.
b. Kata jihad berasal dari kata Jahada yang mempunyai banyak arti dalam bahasa Arab, diantaranya: usaha untuk menjadi sempurna, seorang yang rajin belajar, mencoba atau menciptakan, bekerja untuk mencapai tujuan tersebut, melelahkan, menanyai, mendesak, memberi beban, menjadi lemah karena sakit, seorang pekerja keras, jatuh cinta, mencampur membangkitkan, dermawan, penderitaan, peringatan, melemahkan, perjuangan tanpa henti.
c. Dalam kata lain jihad menurut bahasa adalah berjuang dengan segenap usaha sampai titik penghabisan, yang mana menjadi suatu aspek dalam kehidupan.
d. Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga untuk memperoleh maksud tertentu2.
e. Al-Quran menggunakan arti kata jihad seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
]وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا[
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)
Makna jihad menurut bahasa (lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin; kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak; kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya. Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda, pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.
Pengertian semacam ini tampak dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.

Pengertian Jihad Menurut Para Ulama

Para ulama tafsir,para fikih, ushul, dan hadits mendefinisikan jihad dengan makna berperang di jalan Allah swt dan semua hal yang berhubungan dengannya. Sebab, mereka memahami, bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy, dimana, makna ini harus diutamakan di atas makna-makna yang lain (makna lughawiy dan ‘urfiy).
Madzhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat, jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.[1]
Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.[2]


Madzhab as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’, mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.[3] Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab; sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh, menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan) merupakan pangkal dan cabang jihad.[4] Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang, maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan kepadanya.[5]
Abu Ishaq
Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada, jihaadan, wa mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi kaum kafir pada khususnya).[6]
Al Bahuuthiy
Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara literal, jihaad merupakan bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh) di dalam memerangi musuhnya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qitaal al-kufaar (memerangi kaum kafir). [7]

Al Dimyathiy
Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah. [8] Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’ menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi (berperang di jalan Allah dan semua hal yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).[9]
Di dalam kitab Durr al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad secara literal adalah mashdar dari kata jaahada fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun secara syar’iy, jihaad bermakna al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa qataala man lam yuqabbiluhu (seruan menuju agama haq (Islam) dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya). Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan jihaad dengan badzlu al-wus’iy fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au mu’awanatan bi maal au ra’y au taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap tenaga di dalam perang di jalan Allah baik secara langsung atau memberikan bantuan yang berujud pendapat, harta, maupun akomodasi perang.[10]
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan; secara literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga) mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk mubalaghah (hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ , kata jihaad digunakan untuk menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan Allah swt, baik dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).[11]
Abu al-Hasan al-Malikiy
Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan; menurut pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd yang bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan). Sedangkan menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan jihaad, atau terjun di tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang wajib dipenuhi, yakni taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga keamanan, teguh dan tidak melarikan diri.[12]
Imam Zarqaniy
Imam Zarqaniy, di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan; makna asal dari kata jihaad (dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah (kesulitan). Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).[13]
Ibnu Qadama Al Maqdisi, Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Aabideen:
“Perjuangan dengan segenap usaha hanya karena Alloh, dengan jiwa, didukung dengan harta, perkataan, mengumpulkan bantuan para Mujahidin atau dengan cara yang lain untuk membantu perjuangan.”(seperti halnya melatih orang). Mereka mengambil dari ayat, “...Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu…..” (QS. At-taubah:41), sebagai keterangan dari pengertian tersebut.
Imam Fairouz Abadi
mengatakan di dalam kamusnya yang terkenal “Kamus Al_Muheet”bahwa kata “Al-Nafir” berarti pergi dan berjuang dengan pedang. Selain itu Alloh SWT berfirman: “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berperang di Jalan-Nya dalam barisan yang teratur….” (QS. As-Shaaf:4).
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih (yaitu) kamu beriman kepada Alloh dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.”(QS. As-shaaf:10-11)


Dalil Tentang Jihad
Tidak kurang dari 26 kata jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:
]انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ[
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)
Jihad dapat digolongkan dalam dua golongan yang disebut:
1. Jihad besar atau Al Akbar, dan
2. Jihad kecil atau Al Asghar.

Bentuk-bentuk jihad dalam agama Islam antara lain:
1. Jihad Dakwah, yaitu melalui pikiran dan pengetahuan.
2. Jihad dengan pengerahan senjata (perang). (QS An Nisa (4):49).
   Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan  
   yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As Saff:4).
   Konon nabi  Muhammad SAW sendiri lebih dari dua puluh kali memimpin peperangan
   fisik guna membela, mempertahankan dan meluaskan agama Islam.
3. Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS An Nisa (4):95.QS as-shaaf:11). Osama
    bin Laden memiliki dana sekitar US$ 4 Milyar. Kekayaannya telah dimanfaatkan untuk
   mendanai aktivitas jihad melalui berapa jaringan. Jihad dalam bentuk kedua dan tiga
   memiliki kaitan yang sangat erat.





Imam Raqib al Isfani menyebut 3 arti dari jihad, yakni:

1. Berjuang melawan musuh yang nyata, yaitu memerangi manusia  yang dianggap kafir
    karena berbeda agama.
2. Bejuang melawan nafsu, yaitu keinginan buruk dalam diri sendiri.
3. Berjuang melawan setan.

Sedangkan menurut Ibnu Dayyin al Jauziah, Jihad terdiri dari 4 martabat, yaitu:
1. Jihad hawa nafsu, yaitu peperangan dalam diri orang tersebut untuk mengalahkan semua
    nafsu jahat.
2. Jihad terhadap setan.
3. Jihad terhadap orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang tidak beragama Islam.
4. Jihad terhadap orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beragama Islam tapi
    perilaku hidupnya tidak mengikuti ajaran Islam.

 


















 

MEJELIS SYURO DAN AHLUL HALLI WAL AQDI


A. Majelis Syuro

1. Pengertian
    Menurut bahasa, majelis syuro adalah “tempat musyawarah” atau “lembaga
    permusyawaratan”.  Menurut istilah, majelis syuro adalah “badan atau lembaga tempat
    bermusyawarah para wakil rakyat dan orang-orang yang berilmu”

2. Dalil tentang musyawarah :
    a. QS. Ali Imran ; 159 :
        “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau
          telah membulatkan  tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh Allah
          mencintai orang yang bertawakkal”

    b. Hadis :
        “Barang siapa yang menginginkan sesuatu, dia bermusyawarah dengan seorang muslim,
          maka Allah akan memberikan petunjuk kepadanya sehingga masalahnya akan berhasil
          / sukses”

            Beberapa hal pokok dalam musyawarah yang sesuai dengan anjuran Alqur’an dan Al-hadis, antara lain :
1.            Urusan yang menyangkut kepentingan orang banyak harus dimusyawarahkan
2.            Meminta pendapat kepada orang-orang yang berkepentingan dalam musyawarah tersebut.
3.            Musyawarah dilandasi dengan: bebas, adil, jujur tanpa ada paksaan dari pihak manapun.



B. Ahlul Halli Wal Aqdi

1. Pengertian
    “wakil-wakil rakyat yang menjadi anggota majelis syuro”.

2. Imam fahrudin Ar-Razi:
    Menfsirkan kata “ulil amri” dengan “ahlul halli wal aqdi” yaitu alim ulama, cerdik pandai,
   dan pemimpin-pemimpin yang ditaati oleh rakyat. Ia juga menafsirkannya dengan “ahli
   ijma’”, yaitu ahli yang   berhak memberikan putusan.

3. Syarat-Syarat Menjadi Anggota Majelis Syuro

    a. Taqwa kepada Allah
    b. Adil (mengerjakan kewajibannya serta menjauhkan diri dari segala maksiat)
    c. Jujur, berbudi luhur, kuat cita-cita, dan tak mudah patah hati, serta tidak mudah kena
        bujukan yang dapat menyesatkan.
    d. Ahli ilmu (berpengetahuan tinggi dan berpengalaman luas di dalam bidangnya)
    e. Mempunyai pendirian yang teguh dan bijaksana

4. Hak dan Kewajiban Majelis Syuro

a. Hak Majelis Syuro
    1) Mempunyai hak yang sama dengan masyarakat lainnya
    2) Dalam kedudukannya sebagai anggota majelis, ia mendapatkan  hak-hak tertentu, antara
        lain :
(a)                Mendapatkan fasilitas yang wajar sesuai kedudukannya sebagai anggota majelis.
(b)               Mendapatkan pengamanan dari negara
(c)                Mendapatkan jasa penghidupan dari majelis.



b. Kewajiban Majelis Syuro

    1) Mengangkat dan memberhentikan khilafah
    2) Membuat undang-undang bersama dengan khalifah
    3) Menetapkan anggaran belanja Negara dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
    4) Mengawasi jalannya pemerintahan
    5) Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan negara
    6) Merumuskan dan menetapkan garis-garis besar program yang akan dilaksanakan
        khalifah
    7) Menghadiri siding-sidang yang dilaksanakn majelis syuro

5. Hikmah Majelis Syuro

a.           Dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan dalam memutuskan segala sesuatu.
b.          Dapat memilih pemimpin Negara sesuai dengan aspirasi rakyat
c.           Menghindari perpecahan, permusuhan dan pertentangan.
d.          Menghasilkan keputusan yang adil, lengkap dan dapat dlaksanakan sebaik-baiknya.
e.           Dapat menyadarkan manusia akan kondisi dirinya yang lemah, sehingga memerlukan ketergantungan kepada orang lain.
f.           Dapat melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya mengenai musyawarah.

 










 

SIKAP ISLAM TERHADAP NON MUSLIM


1. Islam mengajarkan agar setiap manusia untuk saling kenal-mengenal.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Qur'an:49:13)

2. Islam melarang untuk saling olok-mengolok.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah wanita-wanita mengolok-olok wanita lain boleh jadi wanita (yang diolok-olok) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-burk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak taubat maka mereka itulah orang yang zalim". (Qur'an:Al-Hujurat:11).

3. Islam mengajarkan agar berlaku baik terhadap non muslim.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Quran al-Mumtahanah:8-9)
Jika kita diberi sesuatu maka balaslah dengan yang lebih baik.
[004:086] Apabila kamu dihormati dengan suatupenghormatan, maka balaslah penghormatan itu denganyang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.

4. Islam melarang memerangi, membunuh orang non muslim yang tidak memerangi kita.

"Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan kepadamu (untuk memerangi) mereka". (Qur’an:An-Nisa:90)

"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Qur’an:Al-Anfal:61)

"Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memafkaan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena dia membalas suatu kaum apa yang telah mereka kerjakan". (Qur’an:Al-Jasiyah:14)

"Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya". (Qur’an:Al-Maidah:32)

"Bagaimana bisa ada perjanjian aman dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) didekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus kepadamu, hendaknya kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Qur’an:At-Taubah:7)

4.            Islam memerintahkan melindungi non muslim yang minta perlindungan.

"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6]

6. Islam melarang memaksakan agamanya pada orang non muslim.

"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam". (Qur’an:Al-Baqarah:225)

Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah:"Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang ummi:"Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Qur’an:Al-Imran:20)

7. Islam menganjurkan agar kalau berdebat dengan ahli kitab, dengan jalan yang paling baik.

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". [Qur’an:Al-ankabut:46].

8. Islam menganjurkan menghormati milik orang lain dan melarang menggangunya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya, Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat". (Qur’an:An-Nur:27-28)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Qur’an:An-Nisa:29)

9. Islam mengajarkan agar kita berlaku adil terhadap non Muslim.

"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." [Qur’an:Al-Mumtahanah:8]

Maka, dapat diketahui bahwa Allah menyukai dan mencintai kaum muslimin yang berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim, selama syarat-syarat di atas dipelihara.

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Al-Maidah:8]

Walaupun ada rasa benci terhadap suatu kaum, itu tidak boleh dijadikan alasan bagi umat Islam untuk semena-mena/tidak adil terhadap kaum tersebut. Misal, seorang hakim memutuskan sebuah perkara untuk kemenangan seorang muslim terhadap seorang non-muslim, padahal bukti-bukti menunjukkan sebaliknya, maka ini adalah bentuk pelanggaran yang besar, karena peringatannya cukup keras, "janganlah sekali-kali".

"Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk melawan mereka." [Qur’an:An-Nisa:90]

Maka, tidak ada jalan (alasan) bagi seorang muslim untuk melawan seorang non-muslim, jika dia tidak terbukti turut memerangi kaum muslimin, dan sudah jelas menyatakan perdamaiannya dengan kaum muslimin. Perlu diketahui bahwa, kaum muslimin diwajibkan untuk membenci karena Allah, dan mencintai karena Allah.

Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". [Qur’an:Al-Imran:32]

Karena Allah tidak menyukainya, maka kaum muslimin wajib membencinya. Tapi sesuai dengan ayat sebelumnya, kebencian tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena.

"Allah tidak menyukai ucapan buruk, ..." [Qur’an:An-Nisa:148]

Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bertutur kata yang baik, dan membenci mereka yang bertutur kata buruk. Tapi kebencian kita terhadap mereka tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena, karena:
"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." [Qur’an:Al-Muzzammil:10]

Begitulah aturan yang mengikat kami kaum muslimin terhadap orang non Muslim dan yang lainnya. Sementara, hukuman di akhir bagi mereka yang kufur dan wafat dalam keadaan demikian, maka Allah telah menjelaskan:

"Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapati laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh." [Qur’an:al-baqarah:161-162]

10. Islam melarang umatnya untuk memaki-maki sembahan orang non muslim.

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. [Qur’an:Al-An’am:108].

11. Islam menganjurkan umatnya untuk memerangi non muslim yang memerangi umat Islam.

Islam adalah agama yang realistis dan fleksibel. Jika kaum non muslim mau hidup damai berdampingan dengan umat Islam, maka umat Islam tidak ada jalan (dilarang) memerangi mereka. Tetapi jika kaum kafir itu memerangi kita umat Islam maka wajib umat Islam untuk mengangkat senjata memerangi mereka. Tapi bersabar lebih baik,

[An-Nahl:126] Dan jika kamu memberikan balasan, makabalaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yangditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orangyang sabar.

[An-Nahl:127] Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalahkesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allahdan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apayang mereka tipu dayakan.

Dalam memerangi kaum kafirpun tidak boleh melampau batas.

190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

5.            191. Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (haram bagi kami untuk memeranginya)

193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Qur’an:190-193].

Sungguh indah hukum diatas. Jika mereka memerangi kita maka perangi mereka tapi jangan melampaui batas. Jika mereka berhenti memerangi kita maka tidak ada peperangan lagi. Solusi yang sama-sama enak dikedua belah pihak. Jika mereka, kaum kafir, mengemukakan perdamaian maka wajib umat Islam untuk menerimanya, meskipun dalam hati kaum kafir hanya untuk menipu kaum muslim.

61. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

62. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min,

63. dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman) . Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.

64. Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu'min yang mengikutimu.

65. Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Qur’an:Al-Anfal : 61-65].

Dalam peperangan umat Islam dilarang untuk membunuh anak-anak dan perempuan.
Diriwayatkan daripada Abdullah bin Umar r.a:
Sesungguhnya pernah terdapat seorang wanita terbunuh dalam satu peperangan yang diikuti oleh Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w mengutuk daripada membunuh wanita dan kanak-kanak [Sahih Bukhari juz 4 no 257].



6.            Dalam memperlakukan tawanan perang pun harus dengan cara yang baik.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Qur’an:Ad-Dahr : 8].

Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, MAKA LINDUNGILAH IA supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian ANTARKANLAH IA KE TEMPAT YANG AMAN BAGINYA. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6].

Rasulullah saw bersabda:

Diriwayatkan oleh Abu Musa ra:
Nabi saw bersabda: “Bebaskanlah para tawanan, beri makan mereka yang lapar dan kunjungilah orang yang sakit.” [Sahih Bukhari juz 4 no 282].

Karena kebaikan Rasulullah saw pada tawanan, ada seorang tawanan yang masuk Islam.

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:

Rasulullah s.a.w mengirim satu pasukan berkuda ke daerah Najd. Mereka pulang dengan membawa seorang tawanan lelaki dari Bani Hanifah bernama Sumamah bin Usal, pemimpin penduduk Yamamah. Lalu mereka mengikatnya pada salah satu tiang masjid. Satu hari Rasulullah s.a.w keluar menemui tawanan tersebut. Baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu, wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Baik-baik saja wahai Muhammad. Jika kamu mahu membunuh aku maka bunuhlah, memang sepatutnya ke atasmu untuk melakukannya. Jika kamu memberikan suatu nikmat (tinggalkan dengan tidak membunuh aku) maka aku ucapkan berbanyak terima kasih. Jika kamu meminta harta maka aku akan berikan berapa banyak yang kamu mahu. Rasulullah s.a.w lalu meninggalkan tawanan tersebut. Keesokkan harinya baginda menemui tawanan itu kembali, lalu baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Aku tidak mahu berbicara denganmu. Jika kamu mahu memberikan satu nikmat maka berikan kepada orang yang mahu berterima kasih. Jika kamu mahu membunuh aku bunuhlah, aku adalah orang yang memang berhak untuk dibunuh. Jika kamu menghendaki harta maka mintalah berapa banyak yang kamu mahu maka aku akan berikan apa yang kamu mahu. Lalu Rasulullah s.a.w meninggalkannya. Esoknya, Rasulullah s.a.w bersabda: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah. Sumamah berkata: Jika kamu memberikan satu nikmat maka aku akan ucapkan terima kasih, sekiranya kamu mahu membunuh maka bunuhlah, sekiranya kamu mahukan harta, aku akan berikan kepada kamu berapa banyak yang kamu mahukan. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda kepada para Sahabat: Lepaskan Sumamah. Lalu Sumamah berangkat menuju ke kawasan kebun tamar. Setelah mandi lalu dia memasuki masjid dan mengucapkan kalimah: Aku bersaksi bahawa tiada tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba serta utusanNya. Wahai Muhammad! Di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci daripada wajahmu sebelum ini. Tetapi sekarang wajahmulah yang paling aku suka di antara wajah-wajah yang pernah aku temui. Sebelum ini tidak ada agama yang paling aku benci daripada agamamu dan sekarang hanya agamamu lah yang paling aku sukai di antara agama-agama yang pernah aku temui. Dahulu negerimulah yang paling aku benci, tetapi sekarang negerimulah yang paling aku cintai di antara negeri-negeri yang pernah aku kenal. Sesungguhnya pasukan berkudamu selalu mengawasiku sedangkan aku ingin melakukan umrah. Beagaimana ini? Rasulullah s.a.w lalu menyampaikan berita gembira kepada Sumamah bahawa dia boleh melakukan umrah. Ketika sampai di Kota Mekah seorang bertanya kepadanya: Kamu sudah keluar dari agamamu? Sumamah menjawab: Tidak. Tetapi aku sudah memeluk Islam dan tunduk kepada Rasulullah s.a.w. Demi Allah, tidak akan ada sebiji gandum pun dari Yamamah yang akan sampai kepada kamu sebelum mendapat keizinan Rasulullah s.a.w [Sahih Bukahri dan Muslim kitab jihad].


Kewajiban seorang Muslim terhadap non muslim ada beberapa bentuk, di antaranya:
1. Berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menyerunya kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam kepadanya semampu yang dapat ia lakukan dan berdasarkan ilmu yang ada padanya, sebab hal ini merupakan bentuk kebaikan yang paling agung dan besar yang dapat diberikannya kepada warga negara sesamanya dan etnis lain yang berinteraksi dengannya seperti etnis Yahudi, Nashrani dan kaum Musyrikin lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.”
(Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar dan memerintahkannya menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam,
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).”
(Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda beliau yang lain,
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Dikeluarkan oleh Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi, 2674 dari jalur Isma’il bin Ja’far, dari al-’Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Jadi, dakwahnya kepada Allah subhanahu wata’ala, penyampaian Islam dan nasehatnya dalam hal tersebut termasuk sesuatu yang paling penting dan bentuk pendekatan diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang paling utama.
2. Tidak berbuat zhalim terhadap jiwa, harta atau pun kehormatannya bila ia seorang Dzimmi (non muslim yang tinggal di negri kaum muslimin dan tunduk kepada hukum Islam serta wajib membayar jizya), atau Musta’man(non muslim yang mendapatkan jaminan keamanan) atau pun Mu’ahid (non muslim yang mempunyai perjanjian damai). Seorang Muslim harus menunaikan haknya (non Muslim) dengan tidak berbuat zhalim terhadap hartanya baik dengan mencurinya, berkhianat atau pun berbuat curang. Ia juga tidak boleh menyakiti badannya dengan cara memukul atau pun membunuh sebab statusnya adalah sebagai seorang Mu’ahid, atau dzimmi di dalam negeri atau Musta’man yang dilindungi.
3. Tidak ada penghalang baginya untuk bertransaksi jual beli, sewa dan sebagainya dengannya. Berdasarkan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pernah membeli dari orang-orang kafir penyembah berhala dan juga membeli dari orang-orang Yahudi. Ini semua adalah bentuk mu’amalah (transaksi). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau masih menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk keperluan makan keluarganya.
4. Tidak memulai salam dengannya tetapi tetap membalasnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah memulai salam dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani.” (HR.Muslim, IV:1707 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabdanya yang lain, “Bila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu, maka katakanlah: ‘Wa’alaikum.’ Muttafaqun alaih (HR. al-Bukhari, IV:142; Muslim, IV:1706 dari hadits Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Jadi, seorang Muslim tidak memulai salam dengan orang kafir akan tetapi kapan orang Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya memberi salam kepadanya, maka hendaknya ia mengucapkan, Wa’alaikum. Sebagai-mana yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini termasuk hak-hak yang disyari’atkan antara seorang Muslim dan orang kafir.
Hak lainnya adalah bertetangga yang baik. Bila ia tetangga anda, maka berbuat baiklah terhadapnya, jangan mengusik-nya, boleh bersedekah kepadanya bila ia seorang yang fakir. Atau boleh memberi hadiah kepadanya bila ia seorang yang kaya. Boleh pula menasehatinya dalam hal-hal yang bermanfa’at baginya sebab ini bisa menjadi motivator ia berhasrat untuk mengenal dan masuk Islam. Juga, karena tetangga memiliki hak yang agung sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada tetangga hingga aku mengira ia akan memberikan hak waris kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Juga sebagaimana makna umum dari firman Allah subhanahu wata’ala, artinya:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
Dan dalam hadits yang shahih dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, bahwa Ibundanya datang kepadanya saat ia masih musyrik di masa perundingan damai yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan penduduk Mekkah, ibundanya datang kepadanya meminta bantuan, lantas Asma’ meminta izin terlebih dahulu kepada Nabi mengenai hal tersebut; apakah ia boleh menyambung rahim dengannya? Maka, Nabi pun bersabda, “Sambunglah rahim dengannya.” (al-Bukhari, II:242; Muslim, II:696 dari hadits Asma’ radhiyallahu ‘anha)
Namun begitu, seorang Muslim tidak boleh ikut serta merayakan pesta dan hari besar mereka. Tetapi tidak apa-apa melawat jenazah mereka bila melihat ada kemashlahatan syari’at dalam hal itu seperti dengan mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengganti musibah yang kamu alami ini” atau “Semoga Dia mendatangkan pengganti yang baik buatmu,” dan ucapan baik semisal itu.
Hanya saja, tidak boleh mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuninya” atau “Semoga Allah merahmatinya” bila ia seorang kafir. Artinya, tidak boleh berdoa untuk si mayit tetapi boleh berdoa untuk orang yang masih hidup agar mendapat hidayah, mendapat pengganti yang shalih dan semisal itu.








MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH

A. AMAR

1. Pengertian Amar
            Menurut bahasa Amar berarti ”suruhan”, “perintah”. Menurut istilah Amar adalah “suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak”.

2. Bentuk-bentuk Amar
a. Fi’il amar: lihat QS. An-Nisa’:4
b. Fi’il Mudhori’ yang diawali Lam Amar: lihat QS. 104.
c. Isim Fi’il Amar: lihat QS. Al-Maidah:105.
d. Masdar pengganti Fi’il: lihat QS. Al-Baqoroh:83.
e. Jumlah khobariyah/kalimat berita: lihat QS. Al-Baqoroh:228.
f. Kata-kata yang mengandung makna perintah: seperti Farodo, kutiba, Amaro (lihat
   QS.Al-Ahzab:50; QS. Al-Baqoroh:183, 196; QS. An-Nisa’:58.

3. Kaidah-kaidah Amar:
     Yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan para mujahid dalam mengistinbathkan hukum.
Kaidah-kaidah amar ada lima bentuk:
 Kaidah pertama:
“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah”.
Maksudnya bahwa mengerjakan suatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Dalam perkembangannya, amar itu bisa dimaksudkan bukan wajib, antara lain seperti berikut:
a. Nadb; anjuran (sunah): lihat QS. An-Nuur:33.
b. Irsyad; membimbing atau memberi petunjuk: lihat QS. Al-Baqoroh: 282
    Beda amar dalam bentuk irsyad dengan nadb, dengan nadb diharapkan mendapat
    pahala, sedang irsyad untuk kemaslahatan serta kebaikan yang berkaitan dengan adat-
    istiadat dan sopan santun.
c. Ibahah; boleh dikerjakan dan boleh ditinggal: lihat QS. Al-Baqoroh:60.
d. Tahdid; mengancam atau menghardik: lihat QS. Fusilat:40.
e. Taskhir; menghina atau merendahkan derajat:lihat QS. Al-Baqoroh:65.
f. Ta’jiz; menunjukkan kelemahan lawan bicara: lihat QS. Al-Baqoroh:23.
g. Taswiyah; sama antara dikerjakan dan tidak: lihat QS. At-Thuur:16.
h. Takdzib; mendustakan: lihat QS. Al-Baqoroh:111.
i. Talhif; membuat sedih atau merana: lihat QS. Ali Imran:119.
j. Do’a; permohonan: lihat QS. Al-Kahfi:10.

Kaidah kedua:
“Perintah setelah larangan menunjukkan kepada kebolehan”.
Maksudnya, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, kemudian datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti QS. Al-Jumu’ah:10: “Apabila shalat (jum’at) telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; carilah karunia Allah”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat jum’at diperbolehkan melakukan suatu pekerjaan, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat lain, Allah menyuruh meninggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan shalat Jum’at telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Jumu’ah:9 sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.

Kaidah ketiga:
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan”.
Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam QS. Al-Hajj:27: “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji”. Dalam hadis Nabi saw dinyatakan: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan) haji, maka berhajilah”.
Dalam masalah ini, para ulama sepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dikerjakan di luar waktu tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.

Kaidah keempat:
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah)”.
Misalnya perintah melaksanakan haji yaitu satu kali seumur hidup. Namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Manurut ulama, qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
Pertama, perintah itu dihubungkan dengan syarat, seperti wajib mandi setelah junub.
QS.Al-Maidah:6: “Jika kamu junub, maka mandilah”.
Kedua, perintah itu dihubungkan dengan ‘illat, dengan kaidah “hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya ‘illat”. Seperti hukum rajam disebabkan melakukan zina. Sebagaimana difirmankan Allah swt: “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali” (QS. An-Nuur:2).
Ketiga, perintah itu dihubungkan dengan sifat atau keadaan yang berlaku sebagai ‘illat, seperti kewajiban sholat setiap kali masuk waktu. Firman Allah:”Laksanakanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam” (QS.Al-Isra’:78).
Dengan demikian jelaslah bahwa berulangnya kewajiban itu dihubungkan dengan berulangnya sebab.

Kaidah kelima:
“Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti memerintahkan pula segala wasilahnya”.
Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Seperti kewajiban mengerjakan sholat. Sholat ini tidak dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah sholat berarti juga perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama menetapkan kaidah: “setiap perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib pula”.

B. NAHI
1. Pengertian Nahi
            Menurut bahasa An-Nahyu berarti “larangan. Sedang menurut istilah, larangan ialah “tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”.

2. Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada Nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk:
a. Fi’il Mudhori’ yang disertai dengan La Nahiyah, seperti dalam QS.Al-baqoroh:11.
b. Lafaz-lafaz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu
    perbuatan, seperti dalam QS. Al-Baqoroh:285.

3. Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah pertama:
Menurut Jumhur: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram”. Seperti QS. Al-Isro’:32: “Dan janganlah kalian mendekati zina”.
Alasan yang dipakai Jumhur:
a. Akal dapat memahami bahwa sighot (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang sebenar- 
    nya, yaitu melarang.
b. Ulama salaf memahami sighot nahi yang bebas dari qarinah menunjukkan larangan.
    Sebagian ulama yang lain berpendapat: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”. Menurut mereka bahwa nahi menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu adalah  tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti.
            Sighot nahi, selain menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti, antara lain sebgai berikut:
(1)   Karahah, seperti: “janganlah sholat di tempat (berlututnya)  unta”.
(2)   Doa, seperti: QS. Al-baqoroh:286.
(3)   Irsyad, memberi petunjuk, mengarahkan. Seperti:QS. Al-maidah:101.
(4)   Tahqir, menghina. Seperti:QS. Al-Hijr:88.
(5)   Bayan Al-Aqibah (menjelaskan akibat). Seperti QS. Ali Imran:169.
(6)   Ta’yis, menunjukkan putus asa. Seperti “Laa tuthi’ amriiy”.

Kaidah Kedua:
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”
Seperti dalam qur’an: “Janganlah kamu menyekutukan Allah”. Larangan menyekutukan Allah berarti perintah mentauhidkan-Nya.

Kaidah ketiga:
“Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
Jadi, jika larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti dikaitkan dengan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu, maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti: “Janganlah kamu mendekati sholat ketika kamu dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa’:43)

Kaidah keempat:
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad (rusak) secara mutlak”
Sabda Rasul saw: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia tertolak”.
Dengan demikian, setiap perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan, dan setiap yang tidak diperintahkan adalah tertolak, dan tertolak berarti batal (tidak sah, fasad) hukumnya.

C. ’AM DAN KHOSH
1. Pengertian ‘Am
            ‘Am artinya umum. Maksudnya mencakup semua perkara terhadap yang berbilang-bilang. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqih ialah “lafaz yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan sekaligus”. Maksud lafaz ‘am adalah lafaz yang mencakup seluruh bagian-bagian yang terkandung di dalamnya. Misalnya lafaz  ar-rojulu (laki-laki), berarti mencakup semua laki-laki. Lafaz al-insan (manusia) berarti mencakup semua manusia tanpa kecuali.

2. Perbedaan antara Umum dan Mutlak
            Umum adalah meliputi keseluruhan termasuk semua bagian-bagiannya. Seperti firman Allah “innal insaana lafii khusrin” (QS. Al-Asyr:2). Lafaz insaan (manusia) dalam ayat tersebut adalah umum, yaitu mencakup seluruh manusia. Sedangkan lafaz mutlak bermakna meliputi satu atau beberapa bagian dari keseluruhan. Seperti lafaz orang-orang yang beriman, merupakan bagian dari manusia yang ada di alam ini. Lafaz mutlak sering juga disebut “umum badali”.

3. Macam-Macam Lafaz ‘Am
a. Lafaz-lafz yang mengandung arti umum, seperti lafaz: kullu, jamii’u, kaaffah
   ma’syaro. Contoh dalam QS.Ali Imran:185, Al-Baqoroh:29, Saba’:28, Al-an’am:130.
b. Lafaz yang berbentuk isim syarat, yakni yang bersifat ada balasan, antara lain seperti
    lafaz: man, ma, dan aina. Contoh: QS. An-Nisa’:123, Al-Baqoroh:272, An-Nisa’:78.
c. Lafaz yang berbentuk isim istifham, artinya suatu kata tanya, baik dengan lafaz man, 
    ma, atau aina.
d. Lafaz yang nakiroh (bersifat umum) yang didahului oleh nafi. Contoh: QS. Al-
    baqoroh:48: “wattaquu yauman laa tajzi nafsun ‘an nafsin syai an”.
e. lafaz yang berbentuk isim maushul, artinya yang digunakan untuk kalimat sambung.
   Antara lain lafaz ‘allazi, allazina, allati, atau allaatii. Contoh QS. An-Nisa’:10.
f. Lafaz ‘ayyu’ artinya ‘kapan saja’. Contoh QS. Al-Isro’:110
g. Lafaz yang berbentuk ta’rif idhofah artinya isim yang ma’rifah dengan  jalan idhofah.
    Contoh QS. Ibrohim:34

4. Pengertian Khosh dan Mukhossis

            Kata Khosh adalah isim fa’il yang mengandung arti khusus atau mengkhususkan atau menentukan. Dalam istilah ushul fiqih, khosh adalah “sesuatu yang tidak mencapai sekaligus dua atau lebih tanpa batas”. Contoh kata “rojulun” artinya seorang laki-laki. Dalam hal ini terbatas pada seorang saja. Demikian seterusnya, seperti “rojulaani”.
            Sedang yang dimaksud dengan Takhsish dalam istilah ushul fiqih ialah “mengeluarkan sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak terdapat mukhassish”. Mukhassish artinya dalil yang mengkhususkan suatu dalil umum.

5. Pembagian Mukhassish (dalil yan mengkhususkan)

a. Mukhassish muttasil atau mukhassish yang bersambung
    Yaitu apabila makna suatu dalil berhubungan erat atau bergantung
    pada kalimat umum sebelumnya.

     Mukhassish muttasil dibagi menjadi lima, yaitu:

(1)       Pengecualian (istisna). Contoh firman Allah dalam QS. Al-Asyr:2-3. yang dikhususkan dalam ayat di atas adalah orang-orang yang beriman dan beramal sholeh.
(2)       Syarat. Contoh firman Allah dalam QS. Al-Baqoroh:228. Syarat kembali kepada istri adalah dalam masa iddah dengan tujuan islah (memperbaiki hubungan).
(3)       Sifat. Contoh dalam QS. An-Nisa’:92. Sifat yang mengkhususkan dalam ayat tersebut adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan itu harus/dikhususkan pada hamba yang mukmin.  
(4)       Kesudahan. Contoh dalam QS. Al-Baqoroh:222. Pada ayat ini mengkhususkan bahwa bolehnya didekati apabila telah suci.
(5)       Sebagian ganti keseluruhan. Contoh QS. Ali-Imran:97. Lafaz “man” dan sesudahnya pada ayat tersebut di atas mengkhususkan keumuman sebelumnya. Yaitu sebagian orang yang mampu mengganti keumuman wajibnya manusia untuk haji.



b. Mukhassish Munfasil

            Yaitu dalil yang umum atau makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya. Masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tapi terpisah.

            Ada beberpa macam mukhassish munfasil, yaitu:

(1)   Kitab ditakhsis dengan kitab. Yaitu dalil umum dn yang mengkhususkannya sama-sama dalam Al-qur’an. Contoh QS. Al-Baqoroh:228 ditakhsis dengan QS. At-Tholaq:4
(2)   Kitab ditakhsis oleh sunah. Contoh QS. An-Nisa’:11 ditakhsis hadis “La yaritsul muslimul kaafiro wa lalkaafirul muslima” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
(3)   Sunnah ditakhsis dengan kitab. Contoh sunnah “Laa yaqbalullohu sholaata ahadikum izaa ahdatsa hatta yatawaddo’ ditakhsis oleh QS.An-Nisa’:42.
(4)   Sunnah ditakhsis oleh sunnah. Contoh: “Tanaman yang dengan siraman hujan (zakatnya) adalah sepersepuluh” (HR. Bukhari Muslim) ditakhsis oleh hadis : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari Muslim).
(5)   Mentakhsis dengan qiyas. Contoh hadis “Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu halal, dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum” (HR. Ahmad). Hadis ini ditakhsis qiyas, yaitu tidak termasuk orangtua (ibu/ayah), dengan jalan mengqiyaskan kepada ayat yang tidak boleh berkata “uff” pada orangtua. 

D. MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
            Menurut bahasa Mutlaq berarti ‘tidak terikat’. Menurut istilah ulama ushul, Mutlaq adalah “suatu lafaz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafaz yang mengurangi keumumannya”. Contoh lafaz ‘roqobah’ pada ayat ‘fatahriiru rokobah’. Jadi lafaz ‘rokobah’ ini adalah mutlaq.
            Sedangkan Muqayyad menurut bahasa berarti ‘terikat’. Sedang menurut istilah ialah “suatu lafaz tertentu yang dibatasi oleh batasan lafaz lain yang mengurangi keumumannya”. Contohnya lafaz ‘rokobah’ dalam ayat ‘fatahriiru rokobatin mu’minatin’
Jadi lafaz rokobah dalam ayat ini adalah muqayyad, sebab dibatasi oleh lafaz ‘mu’minatin’

2. Hukum Lafaz Mutlaq dan Muqayyad
            Apabila dalam suatu nash, khitab datang bersifat mutlaq tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka ada beberapa kemungkinan menurut para ulama:
a. Jika persoalan dan hukum dalam nash itru sama, serta keadaan nutlaq dan muqayyad terdapat pada hukum, maka harus berpegang kepada yang muqayyad. Seperti ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya pada siang hari di bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada Nabi. Ia berkata: “Innii aftortu fii romadoona”. Mendengar kata-kata itu (dalam satu riwayat) Nabi bersabda: “Merdekakanlah seorang hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan atau berilah makan enam puluh orang fakir miskin”. Namun dalam riwayat lain, Nabi bersabda: “Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Dalam hadis pertama tidak disebutkan lafaz “berturut-turut”, berarti muqayyad. Sedang dalam hadis kedua disebutkan, berarti mutlaq. Maka yang dijadikan pegangan adalah yang kedua, yaitu puasa dua bulan berturut-turut.
b. Jika persoalan dan hukum kedua nash itu sama serta keadaan mutlaq dan muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka harus berpegang kepada muqayyad. Seperti dalam suatu hadis dinyatakan “pada lima ekor unta wajib zakat”. Sedang pada riwayat lain “ pada lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat”. Maka yang dijadikan pegangan adalah hadis yang kedua (muqayyad), yaitu lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat.
c. Jika persoalan berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur ulama Syafi’iyah wajib berpegang kepada yang muqayyad. Seperti mengenai kifarat pembunuhan tersalah dan kifarat zhihar. Mengenai kifarat pembunuhan tersalah/keliru adalah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS. An-Nisa:92). Sedang kifarat zhihar adalah memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kedua suami istri itu bercampur (QS. Al-Mujadilah:3). Berdasarkan kedua masalah tersebut, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zhihar.
d. Jika persoalan sama dan hukum berbeda, maka menurut jumhur ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqayyad. Menurut Malikiyah dan Hanabilah, harus berpegang kepada masing-masing, yaitu yang mutlaq harus mutlaq dan yang muqayyad harus muqayyad. Misalnya mengenai bersuci (dengan wudhu’ dan tayammum). Dalil tentang wudhu’ “maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku” (QS. Al-Maidah:6). Dalil tentang tayammum, “usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu … (QS. Al-Maidah:6). Batas membasuh/mengusap muka dalam dua dalil diatas berbeda. Wudhu’ sampai siku (muqayyad), tayammum tidak ada batasan (mutlaq). Menurut jumhur ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah, yang harus dipegang adalah sampai batas siku (muqayyad) baik dalam berwudhu’ maupun tayammum.  Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, wudhu’ harus membasuh siku (muqayyad) dan tayammum cukup sampai pergelangan tangan (mutlaq).   
e. Jika persoalan berbeda dan hukumnya berbeda, maka yang harus dijadikan pegangan adalah masing-masing, yang mutaq sesuai dengan mutlaqnya, dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya. Misalnya dalam kifarat pembunuhan tersalah tidak mendapatkan hamba sahaya, maka ia hendaknya berpuasa dua bulan berturut-turut. Sedang tentang kifarat sumpah, “barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafarahnya) berpuasa tiga hari” (QS. Al-Maidah:89).

E. MANTHUQ DAN MAFHUM

1. Pengertian Manthuq dan Mafhum

            Manthuq menurut bahasa berarti “diucapkan”. Sedang menurut istilah “apa yang ditunjukkan oleh lafaz sesuai dengan yang diucapkan”. Contoh, QS.Al-Baqoroh:275: “Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Lafaz ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram.
            Mafhum menurut bahasa berarti “pengertian”. Menurut istilah “pengertian suatu lafaz bukan arti harfiyah dari yang diucapkan”. Contoh QS. Al-Isro’:23: “maka sekali-kali janganlah engkau menyatakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan ‘ah’.”
            Secara manthuq ayat ini mengharamkan mengucapkan “ah”, namun mafhumnya menunjukkan bahwa memukul mereka itu haram. Keharamannya berdasarkan/ditunjukkan oleh mafhum ayat. Dengan demikian, manthuq berarti arti yang tersurat, sedang mafhum adalah arti yang tersirat.

2. Macam-macam Manthuq

            Manthuq dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Manthuq nash, yaitu lafaz yang tidak mungkin ditakwilkan kepada arti lain selain arti
    harfiyahnya.
    Seperti: “fashiyaamu tsalaatsati ayyaami” (maka hendaklah berpuasa tiga hari)
b. Manthuq zhihar, yaitu suatu lafaz yang memungkinkan untuk ditakwilkan kepada arti
    lain, selain arti harfiyahnya.
    Seperti: “yadulloohi fauqo aidiihim” (tangan Allah di atas tangan manusia).
    Menurut zahirnya, kata “yadun” berarti tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka
    ditakwilkan kepada arti kekuasaan.

3. Macam-macam Mafhum

            Mafhum dapat dibagi menjadi:
a. Mafhum Muwafaqat, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat) hukumnya sama
   dengan apa yang diucapkan.
Contohnya: Minum-minuman keras itu memabukkan. Khamar (arak) itu memabukkan dan dia diharamkan. Karena itu hukum minuman keras sama dengan hukum khamar, yaitu haram.
Mafhum Muwafaqat ada dua macam:
(1)    Fahwal Khithab, yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan “ah” saja (lebih ringan dari memukul) juga haram apalagi memukul.
(2)    Lahnul Khithab, yaitu apabila yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu haram, sebab memakannya juga haram. Keduanya sama-sama merusak harta mereka.

b. Mafhum Mukhalafah, yaitu yang tidak diucapkan itu berlainan hukumnya dengan yang
    diucapkan, baik dalam menetapkan hukum maupun meniadakannya.

Mafhum Mukhalafah terdiri dari:

(1)    Mafhum Sifat, yaitu berlakunya kebalikan, hukum sesuatu yang disertai dengan sifatnya itu tidak menyertainya. Seperti firman Allah swt dalam QS. An-Nisa’:25: “Barang siapa di antara kamu yang tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.
(2)    Mafhum Syarat, yaitu berlakunya hukum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak terdapat padanya. Seperti firman Allah dalam QS An-Nisa’:4: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan. Persyaratan halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin istrinya dengan penyerahan secara senang hati, mafhumnya jika istri tidak menyerahkannya dengan senang hati, maka haram atas suami memakannya.
(3)    Mafhum Ghoyah, yaitu berlakunya hukum yang disebut sampai batas tertentu, dan berlaku kebalikan hukum bila tersebut terlampaui. Seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqoroh:187: “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benag putih dari benang hitam, yaitu fajar ….”  Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan sampai terbit fajar. Mafhumnya haram makan dan minum setelah terbit fajar.
(4)    Mafhum Hasyr, yaitu hukum sesuatu yang disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Yang di luar batas berarti berlaku hukum kebalikannya. Seperti sabda Nabi saw “Riba itu hanya pada nashi’ah”. Dengan demikian, selain pada nashi’ah tidak ada riba.
(5)    Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari nama yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali,Amin, berbentuk kata sifat, seperti yang mencari atau membunuh, atau nama jenis, seperti emas, padi, dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku hukum kebalikannya. Seperti hadis Nabi yang menerangkan tentang barang-barang yang mengandung riba:”(menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma, garam dengan garam (hendaklah) yang serupa (sifatnya) sama (jumlahnya) dan kontan”. Bila penukaran barang yang sejenisseperti dalam hadis tersebut dengan tidak sama jumlahnya, hukumnya riba. Maka mafhum selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.

4. Berhujjah dengan Mafhum
(a) Para ulama sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqoh.
(b) Ulama berbeda pendapat tentang berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
© Jumhur ulama: berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum
    laqab.
(d) Ulama Hanafiah, Ibnu Hazm dan golongan Zaidiyah: semua mafhum mukhalafah
      tidak dapat dijadikan hujjah.

 F. MUJMAL DAN MUBAYYAN

1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan

            Mujmal ialah “lafaz yang sighotnya tidak jelas menunjukkan apa yang dimaksud”. Sedang Mubayyan ialah “lafaz yang sighotnya jelas menunjukkan apa yang dimaksud”.

Lafaz mujmal dapat terjadi pada:
a. Lafaz Mufrad, baik yang berbentuk isim (seperti lafaz qur’un bisa berarti “suci” dan “haid”), fi’il (seperti lafaz “’as’as” bisa berarti “datang” dan “pergi”, maupun huruf (seperti “alwaw” bisa untuk athof atau pada awal kalimat .
b. Susunan kalimat dalam QS. Al-Baqoroh: 237, yang dimaksud dengan “allazii biyadihii ‘uqdatunnikaahi” belum jelas, apakah “wali” atau “suami”.
            Dengan demikian, lafaz mujmal itu masih memerlukan penjelasan (bayan), sehingga dapat diketahui maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya ditangguhkan sampai ada bayan (penjelasan).

2. Tingkatan Bayan 
            Yang dimaksud dengan bayan ialah “menjelaskan status yang samar sehingga menjadi jelas”.
a. Bayan dengan  kata-kata disebut juga sebagai bayan penguat.
Misalnya: Firman Allah dalam QS. Al-Baqoroh: 196.  Kata-kata “asyarotun kamilatun” menguatkan kata “tsalaatsatin ayyaamin” dan “wa sab’atin” yang telah ditegaskan sebelumnya.
b. Bayan dengan perbuatan
Seperti sabda Nabi saw “sholluu kama roaitumuunii ushollii” menguatkan pelaksanaan sholat yang dilakukan oleh Nabi saw.
c. Bayan dengan isyarat
Seperti penjelasan Nabi saw tentang keharaman emas dan perak bagi laki-laki. Sebagaimana sabdanya “sesungguhnya dua (barang) ini haram atas umatku yang laki-laki
d. Bayan dengan meninggalkan
Seperti HR.Ibnu Hibban: “Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi saw adalah tidak mengambil wudhu’ karena memakan sesuatu yang dimasak”
e. Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan
Seperti kisah Uwaimir Al Ajalan ytatkala bertanya kepada rasul tentang istrinya yang kelihatannya berbuat serong, maka rasul diam tidak memberikan jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hukum li’an. Setelah itu turun ayat li’an.

3. Penangguhan Bayan

a. Penangguhan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.
Para ulama sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu diperlukan. Karena penangguhan berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang masih mujmal.
b. Penangguhan penjelasan dari waktu khitab
Maksudnya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan. Misalnya khitab “dirikanlah sholat” yang penjelasan pelaksanaannya datang kemudian dengan dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi saw, dan selanjutnya oleh Nabi saw diajarkan kepada umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini menurut jumhur ulama fiqih dan mutakallimin hukumnya boleh.

G. MURODIF DAN MUSYTARAK

1. Pengertian Murodif dan Musytarak   
    Murodif adalah “persamaan” atau “sinonim”. Atau “beberapa lafaz menunjukkan satu
    arti”. Seperti lafaz “al asadu” dan “al laitsu” artinya singa.
    Musytarak ialah “ suatu lafaz yang menunjukkan dua makna atau lebih”. Seperti
     lafaz quru’ bisa berarti suci dan haid, “al jaunu” berarti putih dan hitam.

2. Hukum Murodif

            Para ulama berbeda pendapat apakah dua lafaz atau lebih yang mempunyai arti sama dapat dipertukarkan dalam pemakaiannya atau tidak. Namun pendapat yang kuat membolehkan selama tidak ada halangan syara’. Kebolehan ini terbatas kepada selain lafaz-lafaz Al-qur’an. Sebab Al-qur’an adalah firman Allah yang bersifat mukjizat yang tidak boleh ditukar atau diganti. Misalnya lafaz “Allahu Akbar” dalam takbiratul ihram.
a. Menurut Imam Malik, tidak boleh selain lafaz “Allahu Akbar”.
b.Imam Syafii membolehkan “Allahu Akbaru Wallahu Akbaru” dan kata-kata murodifnya.
c. Imam Abu Hanifah membolehkan dengan lafaz yang sama artinya dengan lafaz Allahu Akbar, seperti Allahul ‘Azim dan Allahul Ajallu”.

            Sebab perbedaan pendapat para ulama itu ialah apakah dalam doa iftitah terletak pada lafaznya atau maknanya. Bagi mereka yang tidak membolehkan karena adanya halangan syar’i, yaitu bersifat ta’abbudy (menerima seperti apa adanya) dalam bacaan sholat. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa takbiratul ihram tidak boleh diganti dengan lafaz dari bahasa lain (terjemahannya). Sedang yang membolehkan karena melihat pada kesamaan makna.

3. Hukum Musytarak
            Jumhur ulama termasuk Syafii, Qadhi Abu Bakar dan Al-Jubai berpendapat bahwa pemakaian lafaz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh. Alasan mereka berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Hajj:18 tentang “sujud”. Lafaz sujud dalam ayat tersebut mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki, yaitu tunduk dan  meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk yang tidak berakal arti sujud untuknya adalah tunduk. Sedang bagi manusia adalah meletakkan dahi di atas bumi.
            Karena itu pula Imam Syafii mengartikan kata mulamasah dalam firman-Nya “aulaamastumun nisa’ dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.

H. ZAHIR DAN TA’WIL

1. Pengertian Zahir dan Ta’wil

            Zahir ialah “suatu lafaz yang jelas dalalahnya yang menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan faktor lain di luar lafaz itu. Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Baqoroh:275: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Secara zahir ayat ini menunjukkan halalnya jual beli dan haramnya riba.
            Ta’wil ialah mengalihkan lafaz dari makna zahirnya kepada makna yang mungkin baginya berdasarkan dalil, baik berupa nash, qiyas, ijma’ maupun prinsip-prinsip umum bagi pembinaan hukum, sehingga menjadi jelas. Seperti kata “yadun” = tangan. Disamping mempunyai makna asal, yaitu tangan juga ada kemungkinan makna lain, yaitu ‘kekuasaan’.

2. Masalah yang Dapat Menerima Ta’wil

(1)   Dalam masalah furu’ (cabang) para ulama sepakat dapat menerima ta’wil.
(2)   Dalam masalah ushul atau aqidah para ulama berbeda pendapat:
a.       Gol. Musyabbihah: masalah-masalah tersebut poin (2) tidak perlu dita’wilkan, karena maknanya sudah jelas dan berlaku menurut makna zahir.
b.      Gol. Ulama Salaf: masalah ushul atau aqidah dapat menerima ta’wil, tetapi ta’wilnya diserahkan kepada Allah.
c.       Gol. Ulama Khalaf: masalah-masalah tersebut menerima ta’wil.

Contoh: masalah ushul atau aqidah yang diperselisihkan para ulama adalah firman Allah dalam QS. Al-Fath:10: “Yadullohi fauqo aidiihim”.(Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka).

* Menurut Gol. Musyabbihah, bahwa Allah mempunyai tangan seperti tangan kita dan
   mempunyai tubuh. Pendapat ini jelas salah karena mempersamakan Allah dengan makhluk-
   Nya.
* Menurut Ulama Salaf: yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut terserah kepada
   Allah, sebab manusia tidak mungkin mampu menjangkau zat Allah.
* Menurut Ulama Khalaf: yang dimaksud dengan tangan pada ayat tersebut adalah
   kekuasaan Allah.

3. Syarat-syarat Ta’wil  

a. Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash Al-qur’an maupun hadits, qiyas maupun jiwa syariah dan dasar-dasarnya yang umum.
b. Bila dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qiyas jali) dan bukan qiyas khafi.
c. Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syariat.

I. NASIKH DAN MANSUKH

1. Pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh

            Nasakh menurut bahasa berarti “membatalkan”. Menurut istilah “membatalkan pengamalan sesuatu hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian”. Yang membatalkan disebut “nasikh” dan yang dibatalkan disebut “mansukh”.
* Para ulama sepakat bahwa nasakh atau pembatalan hukum syara’ dalam qur’an dan sunnah hanya terjadi pada zaman rasul masih hidup.
* Abu Muslim Al-Asfahany menyatakan tidak ada nasakh dalam ayat-ayat Al-qur’an.

            Contoh Nasakh: antara lain tersebut dalam hadis berikut: “Sesungguhnya nabi berdiri menghadap ke Baitul Maqdis dalam sholat selama 16 bulan, kemudian dinasakhkan yang demikian itu dengan tuntutan menghadap ke Ka’bah”. (Bukhari Muslim).

2. Syarat-syarat Nasakh

a. Yang dinasakh itu hukum syara’ yang bukan diwajibkan karena zatnya, seperti iman dan
    bukan dilarang karena zatnya, seperti kufur. Wajib iman dan haram kufur tidak mungkin
    dinasakhkan dalam agama apapun.
b. Pembatalan itu hendaknya dengan hukum syara’. Jadi tidak berlakunya hukum karena mati
    bukanlah nasakh.
c. Bahwa nasikh itu harus terpisah dari mansukh dan yang datang kemudian. 
d. Yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
e. Nasikh dan mansukh sama-sama kuat atau tingkatannya.  Seperti ayat qur’an dengan
   qur’an, hadis dengan hadis. Tidak dapat terjadi ayat Al-qur’an dinasakh dengan hadis.

3. Contoh-contoh Nasikh dan Mansukh

a. Pada awalnya Rasul dan para sahabat jika sholat menghadap ke Baitul Maqdis. Setelah
    lebih kurang 16 bulan beliau berada di Madinah turun ayat qura’an surat Al-baqoroh:144
    yang memerintahkan agar menghadapkan wajah ke masjidil Haram/Ka’bah pada saat
    sedang sholat.
b. Menasakh QS. An-Nisa’:43 yang berisikan tidak boleh sholat dalam keadaan mabuk
   dengan QS. Al-Maidah:90 yang berisikan perintah menjauhi minuman keras secara total
   (haram).
c. Menasakh QS. An-Nisa’:15-16 yang berisikan tentang hukum kurungan bagi pezina
    dengan QS. An-Nuur:2 yang berisikan hukuman jilid bagi pezina.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KETENTUAN ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN (KHILAFAH)"

Post a Comment