laman

makalah penemuan hukum

PENEMUAN HUKUM
       I.            PENDAHULUAN
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia, keputusan hakimjuga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum.
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Tetapi dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode penafsiran telah digunakan.



    II.            PEMBAHASAN
§  PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM
Sebelum kita masuk pada pembahasab mengenai judul di atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu “Penemuan Hukum”. Penemuan Hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembangan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, diantaranya yaitu :
Ø  a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu secara umum saja.
Ø  b.  Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit, juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor Indonesia, keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan demikian oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum.
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan perundangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, oleh karena peraturan- peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena Hakim turut serta turut serta menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka Prof. Mr Paul Scholten mengatakan bahwa hakim itu menjalankan “rechtsvinding” (turut serta menemukan hukum).
Akan tetapi walaupun hakim ikut menentukan hukum, menciptakan peraturan-perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang kakuasaan legilatif (Badan pembentuk perundang-undangan), yaitu Dewan perwakilan Rakyat, oleh karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim berlaku terhadap pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 21 A.B., bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan berlaku sebagai peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan dalam kitab undang-undang Hukum Sipil pasal 1917 ayat 1, bahwa kekuasaan keputusan hakim hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu.
Selain itu apabila suatu undang-indang isinya tidak jelas, maka Hakim berkewajiban untuk menfsirkannya sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan pengertian peraturan-perundangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang.
§  PENAFSIRAN HUKUM
Dengan adanya kodifikasi, hukum itu menjadi beku, statis, sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah Hakim, karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat. Walaupun kodofikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga menyulita pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena pada waktu kodifikasi ini dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal, misalnya listrik.
Aliran listrik juga sekarang telah dianggap benda, sehingga barang siapa yang dengan  sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh karena hukum bersifat dinamis, maka Hakim sebagai penegak hukum hanya memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan di dalam memberi putusan Hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ada beberapa macam penafsiran,antara lain :
1.      Penfsiran Interprestasi Tata Bahasa (grammatikal)
Yaitu cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang ; yang dianut oleh semata-mata arti perkataa menurut tatabahasa atau menurut kebiasaab, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apabila hakim ingin mengetahui apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut.Sebagai contoh dapat dikemukakan hal sebagai berikut :
·         Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkirkan kendaraannya pada suatu tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan istilah “kendaraan” itu. Orang bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan perkataan “kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah atau termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain dalam Jurisprudensi Negara Belanda adalah sebagai berikut :
·         Pasal 1140 KUHS memberika hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat di dalam rumah sewaan itu. Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak uang sewa, dan pada suatu waktu dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si pemilik rumah harus dibayar terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya dari uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang belum dibayar. Dalam kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan : “tidak peduli apakah barang-barang perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah itu sendiri atau bukan”
2.      Penafsiran Interprestasi Sosiologis/ teleologis
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran sosiologis adalah sewaktu Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.Penafsiran sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Sebelum putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan melawan hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU, kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
3.      Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
·         Misalnya, “asas monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 86, KUHS dan 279 KUHS.
·         Contoh lain, Pasal 1330 KUHP perdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHP perdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun.
4.      Penafsiran Interprestasi Historis 
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui maksud dari pembuatnya.Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah Undang-undang hendak dicari maksud  seperti yang dilihat oleh pembentuk Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang tercantum dalam teks Undang-undang. Metode interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di negara lain.
·         misalnya KUHP perdata yang berasal dari B.W negeri Belanda. B.W berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.
5.      Penafsiran Interprestasi Perbandingan
          Penafsiran perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum asing.
a.    Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat yang menggambarkan unsur kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
b.    Hukum nasional dengan hukum asing. Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional, misalnya: Hak kekayaan Intelektual.
6.      Penafsiran Nasional
Ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia (Pancasila).
7.      Penafsiran ekstensif
Yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” terasuk juga “benda”.


8.      Penafsiran Restriktif
Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu, misalnya  “kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit, cacad,dan sebagainya.
9.      Penafsiran Analogis
Yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung” aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10.  Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain beada di luar pasal tersebut.
·         Contoh : Pasal 34 KUHS menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.Timbullah kini pertanyaan, bagaimanakah dengan halnya laki-laki? Apakah laki-laki juga harus menunggu lampaunya 300 hari? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “TIDAK” karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus ditujukan kepada perempuan.

§  PENGISIAN KEKOSONGAN HUKUM
Dalam pelajaran yang lalu telah dijelaskan, bahwa Badan Legislatif menetapkan peraturan perundangan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang kekuasaan hukum.
Penyusunan suatu undang-undang menurut kenyataannya memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga pada waktu undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah; terbentuknya suatu peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat. Berhubungan dengan itulah (peraturan perundangan yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka Hakim harus sering memperbaiki undang-undang itu, agar sesuai dengan kenyataan hidup dalam masyarakat.
Dalam bagian Pengisian Kekosongan Hukum ini,terbagi menjadi dua :
1.      Hakim memenuhi kekosongan hukum
Dalam hubungan ini, apabila Hakim menambah peraturan-perundangan, maka hal ini berarti bahwa Hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari Tata Hukum yang berlaku.Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari hukum ada ruangan kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh Hakim, belumlah lama dianut orang. Hakim mengisi kekosongan hukum apabila perkara yang diajukan kepadanya tidak ada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan meskipun sudah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis.
Sejak ahkir abad ke-19,banyak para sarjana hukum berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan suatu kesatuan utuh yang tertutup. Di luar undang-undang tidak ada hukum yang berlaku dan Hakim tidak boleh mejalankan hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan.
Namun demikian, ada sebagian para sarjana hukum yang tidak dengan pendapat tersebut. Menurut Prof. Mr Paul Scholten bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Pendapat ini lahir berdasarkan kenyataan, bahwa hukum itu bersifat dinamis, yaitu mengikuti proses perkembangan  masyarakat.
Berdasarkan dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan hukum, tetapi dengan catatan  perubahan yang Hakim buat tidak membawa kerugian dan dampak buruk terhadap sistem hukum yang berlaku.



2.     Kontruksi Hukum
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu juga setelah dicari dalam hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada peraturan yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam hal demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan ada mengandung kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) sesuai dengan pendapatnya.
Mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan. Misalnya, perbuatan menjual, perbuatan memberi, menghadiahkan, perbuatan menukar dan mewariskan secara legat(legateren, membuat testament) mengandung kesamaan-kesamaan.Kesamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan (vervreemden) atau mengalihkan. Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat pengertian hukum yang disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan, pemberian, penukaran dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum oleh yang melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen yang terdapat dalam baik penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan secara legat. Tindakan hakim yang demikian ini adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi hukum.
·      Sebagai contoh  pengisian kekosongan hukum dapat disebutkan dalam pasal 1576 KUHS (Kitab Undang-undang hukum sipil) mengatakan bahwa penjualan(jual-beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sebelum jangka waktu sewa-menyewa tersebut berakhir.



DAFTAR PUSTAKA
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung. Penerbit: CV. Armico
Soeroso. 1992.  Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika
Sudikno,Mertokusumo.1992. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum.Yogyakarta.Penerbit: PT.Citra Aditya Bakti

Kansil,C.S.T,S.H. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta. Cetakan ketujuh: Balai Pustaka. 1986.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "makalah penemuan hukum"

Post a Comment