BAB 1
TINDAKAN
PIDANA PERBANKAN
1.
Tindak Pidana Perbankan
pengertian dan istilah
tindak pidana perbankan
Terdapat dua istilah yang seringkali dipakai secara bergantian
walaupun maksud dan ruang lingkupnya bisa berbeda. Pertama, adalah “Tindak
Pidana Perbankan” dan kedua, “Tindak Pidana di Bidang
Perbankan”.
Tindak pidana perbankan mengandung pengertian tindak pidana itu semata-mata
dilakukan oleh bank atau orang bank, sedangkan tindak pidana di bidang
perbankan tampaknya lebih netral dan lebih luas karena dapat mencakup
tindak pidana yang dilakukan oleh orang di luar dan di dalam bank .
Istilah “tindak pidana di bidang perbankan” dimaksudkan untuk
menampung segala jenis perbuatan melanggar hukum yang berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan dalam menjalankan usaha bank. Tidak ada
pengertian formal dari tindak pidana di bidang perbankan. Ada
yang mendefinisikan secara popular, bahwa tindak pidana perbankan adalah
tindak pidana yang menjadikan bank sebagai sarana (crimes through the bank) dan
sasaran tindak pidana itu (crimes against the bank).
1.b) jenis-jenis tindak pidana di bidang perbankan
Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(selanjutnya disebut UU Perbankan) terdapat tiga belas macam tindak
pidana yang diatur mulai dari pasal 46 sampai dengan Pasal 50A.
Ketiga belas tindak pidana itu dapat digolongkan ke dalam empat macam:
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan perizinan, diatur dalam
Pasal 46.
2. Tindak Pidana yang berkaitan dengan rahasia bank, diatur
dalam Pasal 47 ayat (1) ayat (2) dan Pasal 47 A.
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pengawasan dan
pembinaan bank diatur dalam pasal 48 ayat (1) dan ayat (2).
4. Tindak pidana yang berkaitan dengan usaha bank diatur
dalam pasal 49 ayat (1) huruf a,b
dan c, ayat (2) huruf a dan b, Pasal 50 dan Pasal 50A
2. Tindak
Pidana Yang Berkaitan Dengan Perizinan
Tindak pidana ini disebut juga dengan
tindak pidana bank gelap. Pasal 46 ayat (1) menyebutkan, bahwa barang siapa
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari
pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam
dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00
(dua ratus miliar rupiah).
Ketentuan ayat (2) menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk
perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan
terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi
perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satu-satunya pasal dalam UU
Perbankan yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut
mereka yang memberi perintah atau pimpinannya.
Agar industri
perbankan menjadi industri yang
makin sehat dan dapat dipercaya masyarakat, Bank Indonesia menerapkan law
enforcement atas tindak pidana perbankan bekerjasama dengan Kepolisian RI dan Kejaksaan
RI. Upaya ini sejalan dengan implementasi Arsitektur Perbankan
Indonesia (API), khususnya
Pilar 3, yaitu menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing
yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi risiko.
Kewenangan Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan secara lengkap
tertuang dalam Undang-undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 (UU BI) maupun dalam Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk :
1. memberikan izin (right to
licence);
2. mengatur (right to regulate);
3. mengawasi (right to supervise);
serta
4.
mengenakan sanksi (right to impose sanction).
Terkait dengan kewenangan mengenakan sanksi, Bank Indonesia
selaku otoritas perbankan melalui mekanisme pengawasan dan pembinaan hanya
dapat menyelesaikan perbuatan yang bersifat administratif serta hanya berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap suatu bank yang terbukti melakukan kegiatan
usaha yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku sedangkan penyimpangan yang
mempunyai indikasi tindak pidana, proses pengenaan sanksinya diserahkan kepada
penegak hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan dan Law Enforcement itu sendiri merupakan dua komponen yang tak
terpisahkan dalam suatu sistem rule of law. Tidak akan ada law enforcement kalau tidak ada
sistem pengawasan dan tidak akan ada rule
of law kalau tidak ada law enforcement yang memadai. Jika hal ini
di analogkan dengan sistem perbankan, maka pengawasan dan law enforcement dapat berperan dalam mengoptimalkan fungsi
perbankan agar tercipta sistem perbankan yang sehat, baik sistem perbankan
secara menyeluruh maupun individual, dan mampu memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik, berkembang secara wajar dan bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Berkaitan
dengan keterbatasan kewenangan tersebut, dalam rangka menegakkan hukum pada
industri perbankan dan mengamankan dana masyarakat serta kekayaan negara yang
ada pada bank, Bank Indonesia memandang perlu untuk melakukan koordinasi dengan
aparat penegak hukum dalam penanganan tindak pidana di bidang perbankan. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kepala Kepolisian
R.I, Jaksa Agung R.I, dan Gubernur BI, yang dikeluarkan pertama kali pada
tanggal 6 November 1997 dan diperbaharui pada tanggal 20 Desember 2004, ketiga
instansi tersebut sepakat untuk bekerjasama dalam penanganan dugaan tindak
pidana di bidang perbankan. Melalui kerjasama ini, diharapkan
setiap kasus perbankan dapat diselesaikan secara lancar, cepat dan optimal.
Untuk mendukung pelaksanaan SKB dan
melakukan tindakan represif terhadap pelanggaran dan penyimpangan serta
ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang berlaku, khususnya yang mengandung unsur
tindak pidana di bidang perbankan, Bank Indonesia membentuk satuan kerja yang
khusus menangani dugaan tindak pidana di bidang perbankan. Pembentukan DIMP diharapkan dapat menimbulkan announcement effect
terhadap dunia perbankan yaitu law enforcement dalam kegiatan perbankan
tetap dilaksanakan dan ditegakkan serta segala bentuk penyimpangan akan membawa
konsekuensi hukum bagi para pelakunya.
Dalam pelaksanaannya, diperlukan
langkah yang memperlancar, mempercepat dan mengoptimalkan penanganan dugaan
tindak pidana di bidang perbankan maka pada tahun 2007 dibuat Petunjuk Teknis
SKB yang ditandatangani oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Umum, Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI dan Deputi
Gubernur BI.
Sejak tahun 1999 hingga saat ini, terdapat 580 kasus dugaan tindak pidana
perbankan yang terjadi baik di bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang
telah dilaporkan oleh Bank Indonesia kepada penegak hukum melalui mekanisme
SKB. saat ini masih terdapat 448 kasus yang masih dalam proses penanganan
penegak hukum. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian dari kasus-kasus
tindak pidana perbankan yang telah dilaporkan oleh Bank Indonesia melalui
mekanisme SKB sejak tahun 1999.
Disamping melakukan kerjasama dengan penegak
hukum, Bank Indonesia juga melakukan kerjasama dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK).
3.
Mediasi Perbankan
Sebagai bagian dari pelaksanaan perlindungan konsumen,
Bank Indonesia telah mengimplementasikan Arsitektur Perbankan Indonesia yang
salah satu pilarnya (Pilar 6) adalah Perlindungan Nasabah. Pilar tersebut
menjelaskan bahwa perbankan wajib menyusun standar mekanisme pengaduan nasabah
secara jelas dan mudah dipahami nasabah, pembentukan lembaga mediasi perbankan
independen guna menjembatani sengketa yang terjadi antara bank dan nasabah,
penyusunan transparansi informasi produk dan promosi edukasi untuk nasabah yang
diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas dan memadai sehingga
masyarakat mengerti dan paham mengenai produk dan jasa perbankan.
Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan oleh Bank Indonesia
yang dimulai sejak tahun 2006 terutama
dilakukan untuk menjembatani kepentingan nasabah dan bank sebagai alternatif
penyelesaian sengketa perbankan yang bermanfaat bagi perlindungan nasabah dan
dalam upaya menjaga terpeliharanya reputasi bank. Hingga saat ini Bank Indonesia telah menerima 737 kasus
pengaduan nasabah di 71 bank.
Prosentase terbesar, terkait masalah sistem pembayaran, penyaluran dana dan
penghimpunan dana.
Nasabah yang memanfaatkan produk/jasa bank
dan menemui permasalahan dalam pemanfaatan produk/jasa tersebut, dapat
mengajukan pengaduan kepada bank untuk mendapatkan penyelesaian. Apabila
kemudian nasabah tidak puas dengan penyelesaian yang dilakukan bank, maka
nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian permasalahannya melalui mediasi
perbankan yang saat ini fungsinya dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Keunggulan pelaksanaan fungsi mediasi itu
sendiri adalah :
1. Kesepakatan para
pihak (voluntary);
2. Terjaganya hubungan baik (forward
looking);
3. Terjaganya kepentingan masing-masing pihak (interest based); dan
4. Proses yang murah, cepat dan sederhana
Dalam melaksanakan fungsi mediasi, Bank Indonesia juga
melakukan berbagai kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan industri
perbankan sendiri (melalui pembentukan Working
Group Mediasi Perbankan), akademisi, praktisi dan lembaga/asosiasi mediasi.
4. Hukuman Terhadap Pelaku
l
Kejahatan terhadap mata uang perlu
diberikan hukuman yang berat (setimpal) dengan mempertimbangkan lamanya
jangka waktu beredarnya suatu emisi uang rupiah. Hukuman bagi pemalsu uang
dikaitkan dengan jangka waktu edar suatu emisi uang agar para pemalsu tersebut
setelah menjalani hukuman tersebut tidak dapat melakukan pemalsuan lagi
terhadap uang rupiah dengan emisi yang sama.
5. Hukuman Tambahan
l
Selain itu, pidana penjara saja tidak cukup untuk menimbulkan efek jera,
oleh karena itu terhadap para pemalsu uang perlu ditambahkan hukuman lain yaitu
berupa penggantian kerugian materil yang diakibatkan oleh kejahatan tersebut. (biaya yg dikeluarkan oleh negara (Penegak Hukum) untuk
mengungkap kasus cukup besar)
6.
Ketentuan Pidana
l
Perlu ancaman pidana yang relatif berat (meliputi
pidana penjara dan denda dengan batas minimum dan maksimum).
l
Dari berbagai kasus tindak pidana di bidang mata uang, hukuman pidana yang
dijatuhkan kepada para pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
saat ini berlaku relatif rendah, sehingga tidak bersifat deterrent
untuk mencegah terjadinya pemalsuan uang
0 Response to "makalah TINDAKAN PIDANA PERBANKAN"
Post a Comment