PENEMUAN HUKUM
I.
PENDAHULUAN
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah
dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor
Indonesia, keputusan hakimjuga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan
demikian oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim
merupakan faktor pembentuk hukum.
Hukum mempunyai fungsi untuk memberikan perlindungan
terhadap kepentingan manusia (seluruh manusia tanpa terkecuali). Oleh karena
itu maka hukum harus dilaksanakan agar kepentingan manusia tersebut dapat
terlindungi. Dalam pelaksanaannya, hukum dapat berlangsung secara normal dan
damai, akan tetapi dapat juga terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dalam
prakteknya. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui
penegakan hukum inilah hukum ini menjadi kenyataan. Dalam menegakkan hukum ada
tiga unsur yang selalu harus diperhatikan : kepastian hukum (Rechtssicherheit),
kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Hukum harus
dilaksanakan dan ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku “fiat justitia et pereat mundus” (meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum. Karena dengan adanya kepastian
hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa
dalam pelaksanaan atau penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Dalam
pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil.
Tetapi dalam usaha menyelesaikan suatu perkara adakalanya
hakim menghadapi masalah belum adanya peraturan perundang-undangan yang dapat langsung
digunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan, walaupun semua metode
penafsiran telah digunakan.
II.
PEMBAHASAN
§
PEMBENTUKAN HUKUM OLEH
HAKIM
Sebelum kita masuk pada pembahasab mengenai judul di
atas, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu “Penemuan Hukum”. Penemuan
Hukum, pada hakekatnya
mewujudkan pengembangan
hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai
sebuah reaksi terhadap situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang
dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum
(rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa hukum. Penemuan
hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa
konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-pertanyaan tentang
penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan
pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum
harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan
penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.
Penemuan
hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang
hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pajak.
Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan
profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan
hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diajukan sebagai
masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum positif. Sementara
itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta
tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang
menjadi masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum
jelas, belum lengkap atau tidak dapat membantu seorang ahli hukum dalam
penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini,
seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas inisiatif sendiri
untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu
berperan dalam menetapkan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa
yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-undangan yang ada tidak dapat
membantunya.
Tindakan seorang ahli hukum
dalam situasi semacam itulah yang dimaksudkan dengan pengertian penemuan hukum
atau Rechtsvinding. Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang
ahli hukum pada dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi
utama, diantaranya yaitu :
Ø
a. Ia senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah
hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang ada di
dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan, pandangan-pandangan
yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam masyarakat, serta perasaan
keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan
oleh seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya tidak
selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada didalam
masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur hal-hal tertentu
secara umum saja.
Ø
b.
Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan, penambahan,
atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada, dikaitkan dengan
perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini perlu dijalankan sebab
adakalanya pembuat Undang-undang (wetgever) tertinggal oleh perkembangan
perkembangan didalam masyarakat.
Penemuan
hukum merupakan pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang
ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit,
juga merupakan proses konkretisasi atau individualis peraturan hukum (das
sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein)
tertentu, jadi dalam penemuan hukum yang penting adalah bagaimana mencarikan
atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.
Dalam pelajaran tentang sumber-sumber hukum telah
dijelaskan, bahwa berdasarkan pasal 21 Algemene Bepalingen van Watgeving voor
Indonesia, keputusan hakim juga diakui sebagai sumber hukum formal. Dengan
demikian oleh peraturan perundangan telah diakui, bahwa pekerjaan hakim
merupakan faktor pembentuk hukum.
Seorang hakim harus bertindak selaku pembentuk hukum
dalam hal peraturan perundangan tidak menyebutkan suatu ketentuan untuk
menyelesaikan suatu perkara yang terjadi. Dengan perkataan lain dapatlah
dikatakan bahwa hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit,
oleh karena peraturan- peraturan tidak dapat mencakup segala peristiwa hukum
yang timbul dalam masyarakat. Oleh karena Hakim turut serta turut serta
menentukan mana yang merupakan hukum dan yang tidak, maka Prof. Mr Paul
Scholten mengatakan bahwa hakim itu menjalankan “rechtsvinding” (turut
serta menemukan hukum).
Akan tetapi walaupun hakim ikut menentukan hukum, menciptakan
peraturan-perundangan, namun kedudukan hakim bukanlah sebagai pemegang
kakuasaan legilatif (Badan pembentuk perundang-undangan), yaitu Dewan
perwakilan Rakyat, oleh karena keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum
yang berlaku seperti peraturan umum. Keputusan hakim berlaku terhadap
pihak-pihak yang bersangkutan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 21 A.B.,
bahwa hakim tidak dapat memberi keputusan yang akan
berlaku sebagai peraturan umum. Lebih jauh ditegaskan dalam kitab undang-undang
Hukum Sipil pasal 1917 ayat 1, bahwa kekuasaan keputusan hakim
hanya berlaku tentang hal-hal yang diputuskan dalam keputusan itu.
Selain itu apabila suatu undang-indang isinya tidak
jelas, maka Hakim berkewajiban untuk menfsirkannya sehingga dapat diberikan
keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni
mencapai kepastian hukum.Namun demikian, menafsirkan atau menambah isi dan
pengertian peraturan-perundangan tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang.
§
PENAFSIRAN HUKUM
Dengan adanya kodifikasi, hukum itu menjadi beku, statis,
sukar berubah. Adapun yang selalu melaksanakan kodifikasi hukum ialah Hakim,
karena dialah yang berkewajiban menegakkan hukum di tengah-tengah masyarakat.
Walaupun kodofikasi telah diatur selengkap-lengkapnya, namun tetap juga kurang
sempurna dan masih banyak terdapat banyak kekurangan-kekurangannya, hingga
menyulita pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena pada waktu kodifikasi ini
dibuat, ada hal-hal atau benda-benda yang belum ada atau belum dikenal,
misalnya listrik.
Aliran listrik juga sekarang telah dianggap benda,
sehingga barang siapa yang dengan
sengaja menyambung aliran listrik tanpa izin yang berwajib, termasuk
perbuatan yang melanggar hukum, yaitu tindak pidana pencurian. Oleh
karena hukum bersifat dinamis, maka Hakim sebagai penegak hukum hanya memandang
kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepastian hukum, sedangkan di dalam
memberi putusan Hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Ada beberapa macam penafsiran,antara lain :
1.
Penfsiran Interprestasi Tata Bahasa (grammatikal)
Yaitu cara penafsiran
berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti
perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang
dipakai oleh undang-undang ; yang dianut oleh semata-mata arti perkataa menurut
tatabahasa atau menurut kebiasaab, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tepat. Untuk
mempergunakan kata-kata tidak mudah. Oleh karenanya hakim apabila hakim ingin mengetahui
apa yang dimaksud Undang-undang atau apa yang dikehendaki oleh pembuat
Undang-undang, hakim harus menafsirkan kata-kata dalam Undang-undang tersebut.Sebagai contoh dapat dikemukakan hal sebagai berikut :
·
Suatu peraturan
perundangan melarang orang memparkirkan kendaraannya pada suatu tempat
tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan
istilah “kendaraan” itu. Orang bertanya-tanya, apakah yang dimaksud dengan
perkataan “kendaraan” itu, hanyalah kendaraan bermotorkah atau termasuk juga
sepeda dan bendi.
Contoh lain dalam Jurisprudensi Negara Belanda adalah
sebagai berikut :
·
Pasal 1140 KUHS
memberika hak mendahului (privilege) kepada seorang yang menyewakan rumah
terhadap segala barang perabot rumah yang terdapat di dalam rumah sewaan itu.
Hal ini berarti, jika si penyewa menunggak uang sewa, dan pada suatu waktu
dilakukan penyitaan atas barang-barang perabot rumah tersebut, maka si pemilik
rumah harus dibayar terlebih dahulu daripada penagih-penagih hutang lainnya dari
uang pendapatan lelangan barang-barang tersebut untuk melunasi uang sewa yang
belum dibayar. Dalam kalimat terakhir dari pasal 1140 ditegaskan : “tidak
peduli apakah barang-barang perabot rumah tersebut kepunyaan si penyewa rumah
itu sendiri atau bukan”
2.
Penafsiran
Interprestasi Sosiologis/
teleologis
Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan masyarakat. Pentingnya penafsiran sosiologis adalah sewaktu
Undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain daripada sewaktu
Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala sosial yang senantiasa
berubah mengikuti perkembangan masyarakat.Penafsiran
sosiologis memang penting sekali bagi hakim terutama kalau diingat banyak
Undang-undang yang dibuat jauh daripada waktu dipergunakan. Khususnya Indonesia
banyak memakai Undang-undang zaman penjajahan, sehingga tidak cocok dengan
keadaan sosial masyarakat pada waktu sekarang.
Kita ambil sebagai contoh pasal 1365
KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. Sebelum
putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang dapat dihukum akibat perbuatan melawan
hukum yaitu apabila perbuatan itu melanggar Undang-undang, Namun berdasarkan
perkembangan masyarakat, setelah putusan Hoge Raad 31 Januari 1919, yang
dikatakan perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar UU,
kesusilaan, kepatutan dan ketertiban moral.
3.
Penafsiran Interprestasi Sistematis (dogmatis)
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang
menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu Perundang-undangan
yang bersangkutan atau pada Perundang-undangan hukum lainnya atau membaca
penjelasan suatu Perundang-undangan, sehingga mengerti maksudnya. Kita harus
membaca UU dalam keseluruhannya, tidak boleh mengeluarkan suatu ketentuan lepas
dari keseluruhannya, tetapi kita harus meninjaunya dalam hubungannya dengan
ketentuan sejenis. Antara banyak peraturan terdapat hubungan, yang satu timbul
dari yang lain. Seluruhnya merupakan satu sistem besar.
·
Misalnya, “asas
monogami” tersebut di pasal 27 KUHS menjadi dasar pasal-pasal 34, 60, 64, 86,
KUHS dan 279 KUHS.
·
Contoh lain,
Pasal 1330 KUHP perdata
mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain orang-orang yang
belum dewasa. Apakah yang dimaksud orang yang belum dewasa ?. Dalam hal ini kita
melakukan penafsiran sistematis dengan melihat Pasal 330 KUHP perdata yang memberikan
batas belum berumur 21 tahun.
4.
Penafsiran Interprestasi
Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah
dari Undang-undang yang bersangkutan. Tiap ketentuan Perundang-undangan tentu
mempunyai sejarah dan dari sejarah perundang-undangan ini hakim mengetahui
maksud dari pembuatnya.Ada dua macam penafsiran historis, yaitu penafsiran
menurut sejarah Undang-undang dan penafsiran menurut sejarah hukum.
Dengan penafsiran menurut sejarah
Undang-undang hendak dicari maksud seperti yang dilihat oleh pembentuk
Undang-undang pada waktu pembentukannya. Pikiran yang mendasari metode ini
ialah bahwa Undang-undang adalah kehendak pembentuk Undang-undang yang
tercantum dalam teks Undang-undang. Metode
interprestasi yang hendak memahami Undang-undang dalam konteks seluruh sejarah
hukum disebut interprestasi menurut sejarah hukum. Interprestasi ini
menyelidiki apakah asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu
pernah berlaku atau dari sIstem hukum lain yang sekarang masih berlaku di
negara lain.
·
misalnya KUHP perdata yang berasal dari
B.W negeri Belanda. B.W berasal dari Code Civil Perancis atau Code Napoleon.
5.
Penafsiran
Interprestasi Perbandingan
Penafsiran
perbandingan ialah penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dengan
hukum positif, antara hukum nasional dengan hukum internasional dengan hukum
asing.
a. Hukum lama dengan hukum positif yang
berlaku saat ini mungkin hukum lama cocok untuk diterapkan lagi pada masa
sekarang ini. Misalnya, beberapa asas hukum adat yang menggambarkan unsur
kekeluargaan dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
b. Hukum nasional dengan hukum asing.
Hukum nasional tentu ada kekurangan. Apabila ada keinginan untuk mengambil alih
hukum asing apakah hukum itu cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional,
misalnya: Hak kekayaan Intelektual.
6.
Penafsiran
Nasional
Ialah penafsiran menilik
sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570
KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik sistem hukum Indonesia
(Pancasila).
7.
Penafsiran ekstensif
Yaitu memberi tafsiran
dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu sehingga sesuatu peristiwa
dapat dimasukannya seperti “aliran listrik” terasuk juga “benda”.
8.
Penafsiran
Restriktif
Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti
kata-kata dalam peraturan itu, misalnya
“kerugian” tidak termasuk kerugian yang “tak berwujud” seperti sakit,
cacad,dan sebagainya.
9.
Penafsiran
Analogis
Yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas
hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan,
lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung”
aliran listrik dianggap sama dengan “mengambil” aliran listrik.
10. Penafsiran a contrario (menurut peringkaran)
Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang
didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang
diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan
pengertian (peringkaran) itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang dihadapi itu
tidak diliputi oleh pasal yang termaksud atau dengan kata lain beada di luar
pasal tersebut.
·
Contoh : Pasal 34 KUHS
menentukan bahwa seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum
lewat 300 hari setelah perkawinannya terdahulu diputuskan.Timbullah kini
pertanyaan, bagaimanakah dengan halnya laki-laki? Apakah laki-laki juga harus
menunggu lampaunya 300 hari? Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “TIDAK”
karena pasal 34 KUHS tidak menyebutkan apa-apa tentang laki-laki dan khusus
ditujukan kepada perempuan.
§
PENGISIAN KEKOSONGAN
HUKUM
Dalam pelajaran yang
lalu telah dijelaskan, bahwa Badan Legislatif menetapkan peraturan perundangan
yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan
hal-hal yang konkrit diserahkan kepada Hakim, sebagai pemegang kekuasaan hukum.
Penyusunan suatu
undang-undang menurut kenyataannya memerlukan waktu yang lama sekali, sehingga
pada waktu undang-undang itu dinyatakan berlaku, hal-hal atau keadaan yang
hendak diatur oleh undang-undang itu sudah berubah; terbentuknya suatu
peraturan-perundangan senantiasa terbelakang dibanding dengan kejadian-kejadian
dalam perkembangan masyarakat. Berhubungan dengan itulah (peraturan perundangan
yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka Hakim harus sering memperbaiki
undang-undang itu, agar sesuai dengan kenyataan hidup dalam masyarakat.
Dalam bagian Pengisian Kekosongan Hukum ini,terbagi
menjadi dua :
1.
Hakim memenuhi
kekosongan hukum
Dalam hubungan ini,
apabila Hakim menambah peraturan-perundangan, maka hal ini berarti bahwa Hakim
memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari Tata Hukum
yang berlaku.Adapun pendapat bahwa dalam sistem formal dari hukum ada ruangan
kosong (ada kekosongan) yang dapat diisi oleh Hakim, belumlah lama dianut
orang. Hakim
mengisi kekosongan hukum apabila perkara yang diajukan kepadanya tidak ada
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan meskipun
sudah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis.
Sejak ahkir abad ke-19,banyak para
sarjana hukum berpendapat bahwa hukum itu adalah merupakan suatu kesatuan utuh
yang tertutup. Di luar undang-undang tidak ada hukum yang berlaku dan Hakim
tidak boleh mejalankan hukum yang tidak disebutkan dalam peraturan-perundangan.
Namun demikian, ada sebagian para
sarjana hukum yang tidak dengan pendapat tersebut. Menurut Prof. Mr Paul
Scholten bahwa hukum itu merupakan suatu sistem yang terbuka (open system).
Pendapat ini lahir berdasarkan kenyataan, bahwa hukum itu bersifat dinamis,
yaitu mengikuti proses perkembangan
masyarakat.
Berdasarkan dari pemaparan diatas
dapat disimpulkan bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan hukum,
tetapi dengan catatan perubahan yang
Hakim buat tidak membawa kerugian dan dampak buruk terhadap sistem hukum yang
berlaku.
2.
Kontruksi Hukum
Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang dimajukan
kepada hakim, tetapi tidak ada ketentuan yang dapat dijalankan untuk
menyelesaikan perkara tersebut, meskipun telah dilakukan penafsiran hukum. Begitu
juga setelah dicari dalam hukum kebiasaan atau hukum adat, namun tidak ada
peraturan yang dapat membawa penyelesaian terhadap kasus tersebut. Dalam hal
demikian hakim harus memeriksa lagi sistim hukum yang menjadi dasar lembaga
hukum yang bersangkutan. Apabila dalam beberapa ketentuan ada mengandung
kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip)
sesuai dengan pendapatnya.
Mencari asas hukum yang menjadi dasar peraturan hukum yang
bersangkutan. Misalnya, perbuatan menjual, perbuatan memberi, menghadiahkan, perbuatan
menukar dan mewariskan secara legat(legateren, membuat testament) mengandung
kesamaan-kesamaan.Kesamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan (vervreemden)
atau mengalihkan. Berdasarkan kesamaan tersebut, maka hakim membuat pengertian
hukum yang disebutnya pengasingan. Pengasingan itu meliputi penjualan,
pemberian, penukaran dan pewarisan. Pengasingan adalah suatu perbuatan hukum
oleh yang melakukannya diarahkan ke penyerahan (pemindahan) suatu benda. Elemen
yang terdapat dalam baik penjualan, pemberian, penukaran maupun pewarisan
secara legat. Tindakan
hakim yang demikian ini adalah dikenal sebagai perbuatan melakukan konstruksi
hukum.
·
Sebagai contoh pengisian kekosongan hukum dapat disebutkan
dalam pasal 1576 KUHS (Kitab Undang-undang hukum sipil) mengatakan bahwa
penjualan(jual-beli) tidak dapat memutuskan perjanjian sebelum jangka waktu
sewa-menyewa tersebut berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Samidjo. 1985. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung.
Penerbit: CV. Armico
Soeroso. 1992. Pengantar Ilmu Hukum.
Jakarta. Penerbit: Sinar Grafika
Sudikno,Mertokusumo.1992. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum.Yogyakarta.Penerbit:
PT.Citra Aditya Bakti
Kansil,C.S.T,S.H. Pengantar
Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia.Jakarta. Cetakan ketujuh: Balai
Pustaka. 1986.
0 Response to "makalah penemuan hukum"
Post a Comment