KETENTUAN ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN (KHILAFAH)
1. Pengertian
Menurut
bahasa, khilafah berasal dari bahasa Arab ”kholafa, yakhlifu,
khilafatan” yang artinya menggantikan atau menjadi khalifah / penguasa.
Kata kholafa dapat diartikan ”kekuasaan” atau ”pemerintahan”
Menurut
istilah, khilafah diartikan sebagai ”susunan pemerintahan yang diatur
menurut ajaran Islam, dimana aspek-aspek yang berkenaan dengan pemerintahan
seluruhnya berlandaskan ajaran Islam”.
Bentuk
khilafah yang benar-benar murni berlandaskan hukum-hukum Al-qur’an dan Sunnah
pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah Saw dan masa Khulafaurrasyidin yang
dilaksanakan dan diikuti kaum muslimin secara konsisten.
Dalam
kehidupan masyarakat Islam dewasa ini dalam bernegara, konsep khilafah Islam atau
negara Islam mengandung dua pengertian yang berbeda, yaitu :
a. Negara Islam, yaitu negara yang sumber hukum /
undang-undangnya berdasarkan Al-qur’an dan sunah dan dilaksanakan secara
konsekuen. Misalnya negara Arab Saudi.
b. Negara Islam dalam arti negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, undang-undang tidak secara eksplisit berdasarkan
Al-qur’an dan Sunnah, tetapi umat Islam dapat menjalankan ajaran Islam dengan
sebaik-baiknya. Misalnya, negara-negara Arab, Mlaysia, Iran, Brunei, dan negara-negara
OKI, termasuk Indonesia.
2. Tujuan Khilafah
Khilafah
atau pemerintahan dal.am Islam bukanlah menjadi tujuan, tapi hanya sebagai alat
untuk mencapai tujuan. Adapun tujuan khilafah adalah :
a. Terciptanya kehidupan bergama yang mantap
pengamalannya dengan segala aspek
kehidupan
umat.
b. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang adil,
makmur, dan sentosa.
3 Dasar-dasar Pendirian Khilafah
a. Berdasarkan hasil ijma’ sahabat yang memandang
pentingnya mendirikan khilafah dan
menentukan
khalifah setelah wafatnya Rasulullah Saw.
b. Agar
umat Islam dapat menyempurnakan kewajibannya sebagai umat Islam, seperti
melaksanakan hukum Islam, menjaga keamanan, membela agama, dan lain-lain. Untuk
keperluan ini wajib mendirikan khilafah.
c. Adanya isyarat perintah mendirikan khilafah
yang terdapat pada nash Al-qur’an dan Al-hadis. (baca QS. An-Nuur:55).
Pada
zaman Rasulullah Saw dan Khulafaurrasyidin, pelaksanaan khilafah dilandasi / didasarkan
pada aspek :
a. Kejujuran dan keikhlasan serta bertanggungjawab
dalam menyampaikan amanah kepada
rakyat.
b. Keadilan yang mutlak terhadap segala lapisan
masyarakat.
c. Persatuan atau ukhuwah Islamiyah
d. Tauhid
e. Kedaulatan rakyat (taat kepada ulil amri /
wakil-wakil rakyat)
4. Perbedaan Khilafah dengan Khalifah
Khalifah dapat diartikan sebagai berikut :
a. pengganti, yaitu pengganti kedudukan pendahulunya
b. Dalam arti khusus, khalifah yaitu ”kepala negara setelah Rasulullah Saw
atau pengganti-pengganti Rasulullah sebagai kepala negara”, seperti
Khulafaurrasyidin dan seterusnya.
Peredaan Khilafah dengan
khalifah adalah :
- Khilafah adalah pemerintahan,
kepemimpinan.
- Khalifah adalah orangnya, yaitu pemimpin
atau pemerintah.
5. Syarat-syarat menjadi Khalifah
a. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya.
b. berakhlak mulia, adil, jujur dan bertanggungjawab.
c. Memiliki kecerdasan dan berpengetahuan luas.
d. Teguh pendirian dalam menjalankan pemerintahan
e. Merupakan hasil pilihan rakyat.
KONSEP JIHAD DALAM ISLAM
1. Beberapa Pengertian Jihad
a. Jihad berasal dari kata jâhada, yujâhidu, jihâd.
Artinya adalah saling mencurahkan usaha.
b. Kata jihad berasal dari kata Jahada yang mempunyai banyak arti dalam bahasa
Arab, diantaranya: usaha untuk menjadi sempurna, seorang yang rajin belajar,
mencoba atau menciptakan, bekerja untuk mencapai tujuan tersebut, melelahkan,
menanyai, mendesak, memberi beban, menjadi lemah karena sakit, seorang pekerja
keras, jatuh cinta, mencampur membangkitkan, dermawan, penderitaan, peringatan,
melemahkan, perjuangan tanpa henti.
c. Dalam kata lain jihad menurut bahasa adalah berjuang dengan
segenap usaha sampai titik penghabisan, yang mana menjadi suatu aspek dalam
kehidupan.
d. Imam an-Naisaburi dalam kitab tafsirnya
menjelaskan arti kata jihad –menurut bahasa-, yaitu mencurahkan segenap tenaga
untuk memperoleh maksud tertentu2.
e. Al-Quran menggunakan arti kata jihad
seperti diatas dalam beberapa ayatnya, seperti ayat berikut:
]وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا[
Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku
dalam hal yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (TQS. Luqman [31]: 15)
Makna jihad menurut bahasa
(lughawi) adalah kemampuan yang dicurahkan semaksimal mungkin;
kadang-kadang berupa aktivitas fisik, baik menggunakan senjata atau tidak;
kadang-kadang dengan menggunakan harta benda dan kata-kata; kadang-kadang
berupa dorongan sekuat tenaga untuk meraih target tertentu; dan sejenisnya.
Makna jihad secara bahasa ini bersifat umum, yaitu kerja keras.
Al-Quran telah mengarahkan makna jihad pada
arti yang lebih spesifik, yaitu: Mencurahkan segenap tenaga untuk berperang di
jalan Allah, baik langsung maupun dengan cara mengeluarkan harta benda,
pendapat, memperbanyak logistik, dan lain-lain3.
Pengertian semacam ini tampak
dalam kata jihad yang ada dalam ayat-ayat Madaniyah. Maknanya berbeda dengan
kata jihad yang terdapat dalam ayat-ayat Makkiyah. Kata jihad mengandung makna
bahasa yang bersifat umum, sebagaimana pengertian yang tampak dalam al-Quran
surat al-Ankabut [29]: ayat 6 dan 8 serta surat Luqman [31]: ayat 15.
Pengertian Jihad
Menurut Para Ulama
Para ulama tafsir,para fikih, ushul, dan hadits
mendefinisikan jihad dengan makna berperang di jalan Allah swt dan semua hal
yang berhubungan dengannya. Sebab, mereka memahami, bahwa kata jihad memiliki
makna syar’iy, dimana, makna ini harus diutamakan di atas makna-makna yang lain
(makna lughawiy dan ‘urfiy).
Madzhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Badaa’i’
as-Shanaa’i’, “Secara literal, jihad adalah ungkapan
tentang pengerahan seluruh kemampuan… sedangkan menurut pengertian syariat,
jihad bermakna pengerahan seluruh kemampuan dan tenaga dalam berperang di jalan
Allah, baik dengan jiwa, harta, lisan ataupun yang lain.[1]
Madzhab Maliki
Adapun definisi jihad menurut mazhab Maaliki, seperti yang termaktub
di dalam kitab Munah al-Jaliil, adalah perangnya seorang Muslim melawan
orang Kafir yang tidak mempunyai perjanjian, dalam rangka menjunjung tinggi
kalimat Allah Swt. atau kehadirannya di sana (yaitu berperang), atau dia
memasuki wilayahnya (yaitu, tanah kaum Kafir) untuk berperang. Demikian yang
dikatakan oleh Ibn ‘Arafah.[2]
Madzhab as Syaafi’i
Madzhab as-Syaafi’i, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab al-Iqnaa’,
mendefinisikan jihad dengan “berperang di jalan Allah”.[3] Al-Siraazi juga menegaskan dalam kitab al-Muhadzdzab;
sesungguhnya jihad itu adalah perang.
Madzhab Hanbali
Sedangkan madzhab Hanbali, seperti yang dituturkan di dalam kitab al-Mughniy,
karya Ibn Qudaamah, menyatakan, bahwa jihad yang dibahas dalam kitaab
al-Jihaad tidak memiliki makna lain selain yang berhubungan dengan
peperangan, atau berperang melawan kaum Kafir, baik fardlu kifayah maupun
fardlu ain, ataupun dalam bentuk sikap berjaga-jaga kaum Mukmin terhadap musuh,
menjaga perbatasan dan celah-celah wilayah Islam.
Dalam masalah ini, Ibnu Qudamah berkata: Ribaath (menjaga perbatasan)
merupakan pangkal dan cabang jihad.[4] Beliau juga mengatakan: Jika musuh datang,
maka jihad menjadi fardlu ‘ain bagi mereka… jika hal ini memang benar-benar
telah ditetapkan, maka mereka tidak boleh meninggalkan (wilayah mereka) kecuali
atas seizin pemimpin (mereka). Sebab, urusan peperangan telah diserahkan
kepadanya.[5]
Abu Ishaq
Menurut Abu Ishaq, kata jihaad adalah mashdar dari kata jaahada,
jihaadan, wa mujaahadatan. Sedangkan mujaahid adalah orang
yang bersungguh-sungguh dalam memerangi musuhnya, sesuai dengan kemampuan dan
tenaganya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qathlu al-kufaar khaashshatan (memerangi
kaum kafir pada khususnya).[6]
Al Bahuuthiy
Al-Bahuuthiy dalam kitab al-Raudl al-Marba’, menyatakan; secara
literal, jihaad merupakan bentuk mashdar dari kata jaahada (bersungguh-sungguh)
di dalam memerangi musuhnya. Secara syar’iy, jihaad bermakna qitaal
al-kufaar (memerangi kaum kafir). [7]
Al Dimyathiy
Al-Dimyathiy di dalam I’aanat al-Thaalibin menyatakan, bahwa jihaad
bermakna al-qithaal fi sabiilillah; dan berasal dari kata al-mujaahadah.
[8] Imam Sarbiniy, di dalam kitab al-Iqnaa’
menyatakan, bahwa jihaad bermakna al-qithaal fi sabiilillah wa ma
yata’allaqu bi ba’dl ahkaamihi (berperang di jalan Allah dan semua hal
yang berhubungan dengan hukum-hukumnya).[9]
Di dalam kitab Durr al-Mukhtaar, dinyatakan; jihaad
secara literal adalah mashdar dari kata jaahada fi sabilillah
(bersungguh-sungguh di jalan Allah). Adapun secara syar’iy, jihaad bermakna
al-du’aa` ila al-diin al-haqq wa qataala man lam yuqabbiluhu (seruan
menuju agama haq (Islam) dan memerangi orang yang tidak mau menerimanya).
Sedangkan Ibnu Kamal mendefinisikan jihaad dengan badzlu al-wus’iy
fi al-qitaal fi sabiilillah mubasyaratan au mu’awanatan bi maal au ra’y au
taktsiir yakhlu dzaalik (mencurahkan segenap tenaga di dalam perang di
jalan Allah baik secara langsung atau memberikan bantuan yang berujud pendapat,
harta, maupun akomodasi perang.[10]
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy
Imam ‘Ilaa’ al-Diin al-Kaasaaniy, dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’, menyatakan;
secara literal, jihaad bermakna badzlu al-juhdi (dengan jim
didlammah; yang artinya al-wus’u wa al-thaaqah (usaha dan tenaga)
mencurahkan segenap usaha dan tenaga); atau ia adalah bentuk
mubalaghah (hiperbolis) dari tenaga yang dicurahkan dalam suatu
pekerjaan. Sedangkan menurut ‘uruf syara’ , kata jihaad digunakan
untuk menggambarkan pencurahan usaha dan tenaga dalam perang di jalan Allah
swt, baik dengan jiwa, harta, lisan (pendapat).[11]
Abu al-Hasan al-Malikiy
Abu al-Hasan al-Malikiy, dalam buku Kifaayat al-Thaalib, menuturkan;
menurut pengertian bahasa, jihaad diambil dari kata al-jahd
yang bermakna al-ta’ab wa al-masyaqqah (kesukaran dan kesulitan).
Sedangkan menurut istilah, jihaad adalah berperangnya seorang Muslim yang
bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah, atau hadir untuk memenuhi panggilan
jihaad, atau terjun di tempat jihaad; dan ia memiliki sejumlah kewajiban yang
wajib dipenuhi, yakni taat kepada imam, meninggalkan ghulul, menjaga
keamanan, teguh dan tidak melarikan diri.[12]
Imam Zarqaniy
Imam Zarqaniy, di dalam kitab Syarah al-Zarqaniy menyatakan; makna
asal dari kata jihaad (dengan huruf jim dikasrah) adalah al-masyaqqah
(kesulitan). Jika dinyatakan jahadtu jihaadan, artinya adalah balaghtu
al-masyaqqah (saya telah sampai pada taraf kesulitan). Sedangkan menurut
pengertian syar’iy, jihaad bermakna badzlu al-juhdi fi qitaal
al-kufaar (mencurahkan tenaga untuk memerangi kaum kufar).[13]
Ibnu Qadama Al Maqdisi, Ibnu Taymiyyah dan Ibnu
Aabideen:
“Perjuangan dengan segenap usaha hanya karena
Alloh, dengan jiwa, didukung dengan harta, perkataan, mengumpulkan bantuan para
Mujahidin atau dengan cara yang lain untuk membantu perjuangan.”(seperti halnya
melatih orang). Mereka mengambil dari ayat, “...Berangkatlah kamu baik dalam
keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan
dirimu…..” (QS. At-taubah:41), sebagai keterangan dari pengertian tersebut.
Imam
Fairouz Abadi
mengatakan di dalam kamusnya yang terkenal “Kamus Al_Muheet”bahwa kata
“Al-Nafir” berarti pergi dan berjuang dengan pedang. Selain itu Alloh SWT
berfirman: “Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berperang di Jalan-Nya
dalam barisan yang teratur….” (QS. As-Shaaf:4).
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan
yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih (yaitu) kamu beriman kepada
Alloh dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwamu, itulah
yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.”(QS. As-shaaf:10-11)
Dalil Tentang Jihad
Tidak kurang dari 26 kata
jihad digunakan dalam ayat-ayat Madaniyah. Semuanya mengindikasikan
bahwa jihad disini mengandung muatan makna perang menentang orang-orang kafir
dan keutamaan orang yang pergi berperang dibandingkan dengan orang yang berdiam
diri saja. Pengertian semacam ini diwakili oleh firman Allah Swt:
]انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا
بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ[
Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa
ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di
jalan Allah. Yang
demikian adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. (TQS. at-Taubah [9]: 41)
Jihad dapat digolongkan dalam dua golongan yang disebut:
1. Jihad besar atau Al Akbar, dan
2. Jihad kecil atau Al Asghar.
Bentuk-bentuk jihad dalam agama Islam antara lain:
1. Jihad besar atau Al Akbar, dan
2. Jihad kecil atau Al Asghar.
Bentuk-bentuk jihad dalam agama Islam antara lain:
1. Jihad Dakwah, yaitu melalui pikiran dan pengetahuan.
2. Jihad dengan pengerahan senjata (perang). (QS An Nisa (4):49).
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
2. Jihad dengan pengerahan senjata (perang). (QS An Nisa (4):49).
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan
yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (As Saff:4).
Konon nabi Muhammad SAW
sendiri lebih dari dua puluh kali memimpin peperangan
fisik guna membela, mempertahankan
dan meluaskan agama Islam.
3. Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS An Nisa (4):95.QS as-shaaf:11). Osama
3. Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa (QS An Nisa (4):95.QS as-shaaf:11). Osama
bin Laden memiliki dana sekitar
US$ 4 Milyar. Kekayaannya telah dimanfaatkan untuk
mendanai aktivitas jihad melalui
berapa jaringan. Jihad dalam bentuk kedua dan tiga
memiliki kaitan yang sangat erat.
Imam Raqib al Isfani menyebut 3 arti dari jihad, yakni:
1. Berjuang melawan musuh yang nyata, yaitu memerangi manusia yang dianggap kafir
karena berbeda agama.
2. Bejuang melawan nafsu, yaitu keinginan buruk dalam diri sendiri.
2. Bejuang melawan nafsu, yaitu keinginan buruk dalam diri sendiri.
3. Berjuang melawan setan.
Sedangkan menurut Ibnu Dayyin al Jauziah, Jihad terdiri dari 4 martabat, yaitu:
Sedangkan menurut Ibnu Dayyin al Jauziah, Jihad terdiri dari 4 martabat, yaitu:
1. Jihad hawa nafsu, yaitu peperangan dalam diri orang tersebut untuk
mengalahkan semua
nafsu jahat.
2. Jihad terhadap setan.
3. Jihad terhadap orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang tidak beragama Islam.
4. Jihad terhadap orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beragama Islam tapi
2. Jihad terhadap setan.
3. Jihad terhadap orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang tidak beragama Islam.
4. Jihad terhadap orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beragama Islam tapi
perilaku hidupnya tidak mengikuti
ajaran Islam.
MEJELIS
SYURO DAN AHLUL HALLI WAL AQDI
A. Majelis
Syuro
1. Pengertian
Menurut bahasa, majelis
syuro adalah “tempat musyawarah” atau “lembaga
permusyawaratan”.
Menurut istilah, majelis syuro adalah
“badan atau lembaga tempat
bermusyawarah para wakil rakyat dan orang-orang yang berilmu”
2. Dalil tentang musyawarah :
a. QS. Ali Imran ; 159 :
“Dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau
telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sungguh Allah
mencintai orang yang bertawakkal”
b. Hadis :
“Barang siapa yang menginginkan sesuatu, dia bermusyawarah dengan
seorang muslim,
maka
Allah akan memberikan petunjuk kepadanya sehingga masalahnya akan berhasil
/ sukses”
Beberapa hal pokok
dalam musyawarah yang sesuai dengan anjuran Alqur’an dan Al-hadis, antara lain
:
1.
Urusan yang menyangkut
kepentingan orang banyak harus dimusyawarahkan
2.
Meminta pendapat kepada
orang-orang yang berkepentingan dalam musyawarah tersebut.
3.
Musyawarah dilandasi dengan:
bebas, adil, jujur tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
B. Ahlul Halli Wal Aqdi
1. Pengertian
“wakil-wakil rakyat yang
menjadi anggota majelis syuro”.
2. Imam fahrudin Ar-Razi:
Menfsirkan kata “ulil
amri” dengan “ahlul halli wal aqdi” yaitu alim ulama, cerdik pandai,
dan pemimpin-pemimpin yang
ditaati oleh rakyat. Ia juga menafsirkannya dengan “ahli
ijma’”, yaitu ahli
yang berhak memberikan putusan.
3. Syarat-Syarat Menjadi Anggota Majelis Syuro
a. Taqwa kepada Allah
b. Adil (mengerjakan
kewajibannya serta menjauhkan diri dari segala maksiat)
c. Jujur, berbudi luhur,
kuat cita-cita, dan tak mudah patah hati, serta tidak mudah kena
bujukan yang dapat
menyesatkan.
d. Ahli ilmu (berpengetahuan
tinggi dan berpengalaman luas di dalam bidangnya)
e. Mempunyai pendirian
yang teguh dan bijaksana
4. Hak dan Kewajiban Majelis Syuro
a. Hak Majelis Syuro
1) Mempunyai hak yang sama
dengan masyarakat lainnya
2) Dalam
kedudukannya sebagai anggota majelis, ia mendapatkan hak-hak tertentu, antara
lain :
(a)
Mendapatkan fasilitas yang
wajar sesuai kedudukannya sebagai anggota majelis.
(b)
Mendapatkan pengamanan dari
negara
(c)
Mendapatkan jasa penghidupan
dari majelis.
b. Kewajiban Majelis Syuro
1) Mengangkat dan
memberhentikan khilafah
2) Membuat undang-undang
bersama dengan khalifah
3)
Menetapkan anggaran belanja Negara dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
4) Mengawasi jalannya pemerintahan
5)
Merumuskan gagasan yang dapat mempercepat tercapainya tujuan negara
6) Merumuskan dan menetapkan
garis-garis besar program yang akan dilaksanakan
khalifah
7)
Menghadiri siding-sidang yang dilaksanakn majelis syuro
5. Hikmah
Majelis Syuro
a.
Dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam memutuskan segala sesuatu.
b.
Dapat memilih pemimpin Negara
sesuai dengan aspirasi rakyat
c.
Menghindari perpecahan,
permusuhan dan pertentangan.
d.
Menghasilkan keputusan yang
adil, lengkap dan dapat dlaksanakan sebaik-baiknya.
e.
Dapat menyadarkan manusia akan
kondisi dirinya yang lemah, sehingga memerlukan ketergantungan kepada orang
lain.
f.
Dapat melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya mengenai musyawarah.
SIKAP ISLAM TERHADAP NON MUSLIM
1. Islam mengajarkan agar setiap manusia untuk saling kenal-mengenal.
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Qur'an:49:13)
2. Islam melarang untuk saling olok-mengolok.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan janganlah wanita-wanita mengolok-olok wanita lain boleh jadi wanita (yang diolok-olok) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-burk panggilan ialah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak taubat maka mereka itulah orang yang zalim". (Qur'an:Al-Hujurat:11).
3. Islam mengajarkan agar berlaku baik terhadap non muslim.
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Quran al-Mumtahanah:8-9)
Jika kita diberi sesuatu maka balaslah dengan yang lebih baik.
[004:086] Apabila kamu dihormati dengan suatupenghormatan, maka balaslah penghormatan itu denganyang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.
4. Islam melarang memerangi, membunuh orang non muslim yang tidak memerangi kita.
"Tetapi jika mereka membiarkan kamu dan tidak memerangimu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan kepadamu (untuk memerangi) mereka". (Qur’an:An-Nisa:90)
"Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya
dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (Qur’an:Al-Anfal:61)
"Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memafkaan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena dia membalas suatu kaum apa yang telah mereka kerjakan". (Qur’an:Al-Jasiyah:14)
"Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya". (Qur’an:Al-Maidah:32)
"Bagaimana bisa ada perjanjian aman dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) didekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus kepadamu, hendaknya kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Qur’an:At-Taubah:7)
"Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memafkaan orang-orang yang tiada takut akan hari-hari Allah karena dia membalas suatu kaum apa yang telah mereka kerjakan". (Qur’an:Al-Jasiyah:14)
"Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya". (Qur’an:Al-Maidah:32)
"Bagaimana bisa ada perjanjian aman dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) didekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus kepadamu, hendaknya kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Qur’an:At-Taubah:7)
4.
Islam
memerintahkan melindungi non muslim yang minta perlindungan.
"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6]
6. Islam melarang memaksakan agamanya pada orang non muslim.
"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam". (Qur’an:Al-Baqarah:225)
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah:"Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang ummi:"Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Qur’an:Al-Imran:20)
7. Islam menganjurkan agar kalau berdebat dengan ahli kitab, dengan jalan yang paling baik.
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". [Qur’an:Al-ankabut:46].
8. Islam menganjurkan menghormati milik orang lain dan melarang menggangunya.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya, Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat". (Qur’an:An-Nur:27-28)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Qur’an:An-Nisa:29)
9. Islam mengajarkan agar kita berlaku adil terhadap non Muslim.
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." [Qur’an:Al-Mumtahanah:8]
Maka, dapat diketahui bahwa Allah menyukai dan mencintai kaum muslimin yang berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim, selama syarat-syarat di atas dipelihara.
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Al-Maidah:8]
Walaupun ada rasa benci terhadap suatu kaum, itu tidak boleh dijadikan alasan bagi umat Islam untuk semena-mena/tidak adil terhadap kaum tersebut. Misal, seorang hakim memutuskan sebuah perkara untuk kemenangan seorang muslim terhadap seorang non-muslim, padahal bukti-bukti menunjukkan sebaliknya, maka ini adalah bentuk pelanggaran yang besar, karena peringatannya cukup keras, "janganlah sekali-kali".
"Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk melawan mereka." [Qur’an:An-Nisa:90]
Maka, tidak ada jalan (alasan) bagi seorang muslim untuk melawan seorang non-muslim, jika dia tidak terbukti turut memerangi kaum muslimin, dan sudah jelas menyatakan perdamaiannya dengan kaum muslimin. Perlu diketahui bahwa, kaum muslimin diwajibkan untuk membenci karena Allah, dan mencintai karena Allah.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". [Qur’an:Al-Imran:32]
Karena Allah tidak menyukainya, maka kaum muslimin wajib membencinya. Tapi sesuai dengan ayat sebelumnya, kebencian tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena.
"Allah tidak menyukai ucapan buruk, ..." [Qur’an:An-Nisa:148]
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bertutur kata yang baik, dan membenci mereka yang bertutur kata buruk. Tapi kebencian kita terhadap mereka tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena, karena:
"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." [Qur’an:Al-Muzzammil:10]
Begitulah aturan yang mengikat kami kaum muslimin terhadap orang non Muslim dan yang lainnya. Sementara, hukuman di akhir bagi mereka yang kufur dan wafat dalam keadaan demikian, maka Allah telah menjelaskan:
"Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapati laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh." [Qur’an:al-baqarah:161-162]
10. Islam melarang umatnya untuk memaki-maki sembahan orang non muslim.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. [Qur’an:Al-An’am:108].
11. Islam menganjurkan umatnya untuk memerangi non muslim yang memerangi umat Islam.
Islam adalah agama yang realistis dan fleksibel. Jika kaum non muslim mau hidup damai berdampingan dengan umat Islam, maka umat Islam tidak ada jalan (dilarang) memerangi mereka. Tetapi jika kaum kafir itu memerangi kita umat Islam maka wajib umat Islam untuk mengangkat senjata memerangi mereka. Tapi bersabar lebih baik,
[An-Nahl:126] Dan jika kamu memberikan balasan, makabalaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yangditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orangyang sabar.
[An-Nahl:127] Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalahkesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allahdan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apayang mereka tipu dayakan.
Dalam memerangi kaum kafirpun tidak boleh melampau batas.
190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
"Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6]
6. Islam melarang memaksakan agamanya pada orang non muslim.
"Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam". (Qur’an:Al-Baqarah:225)
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah:"Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang ummi:"Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Qur’an:Al-Imran:20)
7. Islam menganjurkan agar kalau berdebat dengan ahli kitab, dengan jalan yang paling baik.
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". [Qur’an:Al-ankabut:46].
8. Islam menganjurkan menghormati milik orang lain dan melarang menggangunya.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta ijin dan memberi salam kepada penghuninya, Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat". (Qur’an:An-Nur:27-28)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Qur’an:An-Nisa:29)
9. Islam mengajarkan agar kita berlaku adil terhadap non Muslim.
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." [Qur’an:Al-Mumtahanah:8]
Maka, dapat diketahui bahwa Allah menyukai dan mencintai kaum muslimin yang berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-muslim, selama syarat-syarat di atas dipelihara.
"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." [Al-Maidah:8]
Walaupun ada rasa benci terhadap suatu kaum, itu tidak boleh dijadikan alasan bagi umat Islam untuk semena-mena/tidak adil terhadap kaum tersebut. Misal, seorang hakim memutuskan sebuah perkara untuk kemenangan seorang muslim terhadap seorang non-muslim, padahal bukti-bukti menunjukkan sebaliknya, maka ini adalah bentuk pelanggaran yang besar, karena peringatannya cukup keras, "janganlah sekali-kali".
"Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu untuk melawan mereka." [Qur’an:An-Nisa:90]
Maka, tidak ada jalan (alasan) bagi seorang muslim untuk melawan seorang non-muslim, jika dia tidak terbukti turut memerangi kaum muslimin, dan sudah jelas menyatakan perdamaiannya dengan kaum muslimin. Perlu diketahui bahwa, kaum muslimin diwajibkan untuk membenci karena Allah, dan mencintai karena Allah.
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". [Qur’an:Al-Imran:32]
Karena Allah tidak menyukainya, maka kaum muslimin wajib membencinya. Tapi sesuai dengan ayat sebelumnya, kebencian tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena.
"Allah tidak menyukai ucapan buruk, ..." [Qur’an:An-Nisa:148]
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk bertutur kata yang baik, dan membenci mereka yang bertutur kata buruk. Tapi kebencian kita terhadap mereka tidak boleh menyebabkan kaum muslimin berbuat semena-mena, karena:
"Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." [Qur’an:Al-Muzzammil:10]
Begitulah aturan yang mengikat kami kaum muslimin terhadap orang non Muslim dan yang lainnya. Sementara, hukuman di akhir bagi mereka yang kufur dan wafat dalam keadaan demikian, maka Allah telah menjelaskan:
"Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapati laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak pula mereka diberi tangguh." [Qur’an:al-baqarah:161-162]
10. Islam melarang umatnya untuk memaki-maki sembahan orang non muslim.
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. [Qur’an:Al-An’am:108].
11. Islam menganjurkan umatnya untuk memerangi non muslim yang memerangi umat Islam.
Islam adalah agama yang realistis dan fleksibel. Jika kaum non muslim mau hidup damai berdampingan dengan umat Islam, maka umat Islam tidak ada jalan (dilarang) memerangi mereka. Tetapi jika kaum kafir itu memerangi kita umat Islam maka wajib umat Islam untuk mengangkat senjata memerangi mereka. Tapi bersabar lebih baik,
[An-Nahl:126] Dan jika kamu memberikan balasan, makabalaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yangditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orangyang sabar.
[An-Nahl:127] Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalahkesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allahdan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran)mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apayang mereka tipu dayakan.
Dalam memerangi kaum kafirpun tidak boleh melampau batas.
190. Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
5.
191.
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari
tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya
dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali
jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat
itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (haram bagi kami untuk memeranginya)
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Qur’an:190-193].
Sungguh indah hukum diatas. Jika mereka memerangi kita maka perangi mereka tapi jangan melampaui batas. Jika mereka berhenti memerangi kita maka tidak ada peperangan lagi. Solusi yang sama-sama enak dikedua belah pihak. Jika mereka, kaum kafir, mengemukakan perdamaian maka wajib umat Islam untuk menerimanya, meskipun dalam hati kaum kafir hanya untuk menipu kaum muslim.
61. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
62. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min,
63. dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman) . Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
64. Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu'min yang mengikutimu.
65. Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Qur’an:Al-Anfal : 61-65].
Dalam peperangan umat Islam dilarang untuk membunuh anak-anak dan perempuan.
Diriwayatkan daripada Abdullah bin Umar r.a:
Sesungguhnya pernah terdapat seorang wanita terbunuh dalam satu peperangan yang diikuti oleh Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w mengutuk daripada membunuh wanita dan kanak-kanak [Sahih Bukhari juz 4 no 257].
192. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (haram bagi kami untuk memeranginya)
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. [Qur’an:190-193].
Sungguh indah hukum diatas. Jika mereka memerangi kita maka perangi mereka tapi jangan melampaui batas. Jika mereka berhenti memerangi kita maka tidak ada peperangan lagi. Solusi yang sama-sama enak dikedua belah pihak. Jika mereka, kaum kafir, mengemukakan perdamaian maka wajib umat Islam untuk menerimanya, meskipun dalam hati kaum kafir hanya untuk menipu kaum muslim.
61. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
62. Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para mu'min,
63. dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman) . Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.
64. Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mu'min yang mengikutimu.
65. Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Qur’an:Al-Anfal : 61-65].
Dalam peperangan umat Islam dilarang untuk membunuh anak-anak dan perempuan.
Diriwayatkan daripada Abdullah bin Umar r.a:
Sesungguhnya pernah terdapat seorang wanita terbunuh dalam satu peperangan yang diikuti oleh Rasulullah s.a.w. Lalu Rasulullah s.a.w mengutuk daripada membunuh wanita dan kanak-kanak [Sahih Bukhari juz 4 no 257].
6.
Dalam
memperlakukan tawanan perang pun harus dengan cara yang baik.
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Qur’an:Ad-Dahr : 8].
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, MAKA LINDUNGILAH IA supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian ANTARKANLAH IA KE TEMPAT YANG AMAN BAGINYA. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6].
Rasulullah saw bersabda:
Diriwayatkan oleh Abu Musa ra:
Nabi saw bersabda: “Bebaskanlah para tawanan, beri makan mereka yang lapar dan kunjungilah orang yang sakit.” [Sahih Bukhari juz 4 no 282].
Karena kebaikan Rasulullah saw pada tawanan, ada seorang tawanan yang masuk Islam.
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:
Rasulullah s.a.w mengirim satu pasukan berkuda ke daerah Najd. Mereka pulang dengan membawa seorang tawanan lelaki dari Bani Hanifah bernama Sumamah bin Usal, pemimpin penduduk Yamamah. Lalu mereka mengikatnya pada salah satu tiang masjid. Satu hari Rasulullah s.a.w keluar menemui tawanan tersebut. Baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu, wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Baik-baik saja wahai Muhammad. Jika kamu mahu membunuh aku maka bunuhlah, memang sepatutnya ke atasmu untuk melakukannya. Jika kamu memberikan suatu nikmat (tinggalkan dengan tidak membunuh aku) maka aku ucapkan berbanyak terima kasih. Jika kamu meminta harta maka aku akan berikan berapa banyak yang kamu mahu. Rasulullah s.a.w lalu meninggalkan tawanan tersebut. Keesokkan harinya baginda menemui tawanan itu kembali, lalu baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Aku tidak mahu berbicara denganmu. Jika kamu mahu memberikan satu nikmat maka berikan kepada orang yang mahu berterima kasih. Jika kamu mahu membunuh aku bunuhlah, aku adalah orang yang memang berhak untuk dibunuh. Jika kamu menghendaki harta maka mintalah berapa banyak yang kamu mahu maka aku akan berikan apa yang kamu mahu. Lalu Rasulullah s.a.w meninggalkannya. Esoknya, Rasulullah s.a.w bersabda: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah. Sumamah berkata: Jika kamu memberikan satu nikmat maka aku akan ucapkan terima kasih, sekiranya kamu mahu membunuh maka bunuhlah, sekiranya kamu mahukan harta, aku akan berikan kepada kamu berapa banyak yang kamu mahukan. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda kepada para Sahabat: Lepaskan Sumamah. Lalu Sumamah berangkat menuju ke kawasan kebun tamar. Setelah mandi lalu dia memasuki masjid dan mengucapkan kalimah: Aku bersaksi bahawa tiada tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba serta utusanNya. Wahai Muhammad! Di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci daripada wajahmu sebelum ini. Tetapi sekarang wajahmulah yang paling aku suka di antara wajah-wajah yang pernah aku temui. Sebelum ini tidak ada agama yang paling aku benci daripada agamamu dan sekarang hanya agamamu lah yang paling aku sukai di antara agama-agama yang pernah aku temui. Dahulu negerimulah yang paling aku benci, tetapi sekarang negerimulah yang paling aku cintai di antara negeri-negeri yang pernah aku kenal. Sesungguhnya pasukan berkudamu selalu mengawasiku sedangkan aku ingin melakukan umrah. Beagaimana ini? Rasulullah s.a.w lalu menyampaikan berita gembira kepada Sumamah bahawa dia boleh melakukan umrah. Ketika sampai di Kota Mekah seorang bertanya kepadanya: Kamu sudah keluar dari agamamu? Sumamah menjawab: Tidak. Tetapi aku sudah memeluk Islam dan tunduk kepada Rasulullah s.a.w. Demi Allah, tidak akan ada sebiji gandum pun dari Yamamah yang akan sampai kepada kamu sebelum mendapat keizinan Rasulullah s.a.w [Sahih Bukahri dan Muslim kitab jihad].
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. [Qur’an:Ad-Dahr : 8].
Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, MAKA LINDUNGILAH IA supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian ANTARKANLAH IA KE TEMPAT YANG AMAN BAGINYA. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. [Qur’an:At-Taubah:6].
Rasulullah saw bersabda:
Diriwayatkan oleh Abu Musa ra:
Nabi saw bersabda: “Bebaskanlah para tawanan, beri makan mereka yang lapar dan kunjungilah orang yang sakit.” [Sahih Bukhari juz 4 no 282].
Karena kebaikan Rasulullah saw pada tawanan, ada seorang tawanan yang masuk Islam.
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya:
Rasulullah s.a.w mengirim satu pasukan berkuda ke daerah Najd. Mereka pulang dengan membawa seorang tawanan lelaki dari Bani Hanifah bernama Sumamah bin Usal, pemimpin penduduk Yamamah. Lalu mereka mengikatnya pada salah satu tiang masjid. Satu hari Rasulullah s.a.w keluar menemui tawanan tersebut. Baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu, wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Baik-baik saja wahai Muhammad. Jika kamu mahu membunuh aku maka bunuhlah, memang sepatutnya ke atasmu untuk melakukannya. Jika kamu memberikan suatu nikmat (tinggalkan dengan tidak membunuh aku) maka aku ucapkan berbanyak terima kasih. Jika kamu meminta harta maka aku akan berikan berapa banyak yang kamu mahu. Rasulullah s.a.w lalu meninggalkan tawanan tersebut. Keesokkan harinya baginda menemui tawanan itu kembali, lalu baginda bertanya: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah? Tawanan itu menjawab: Aku tidak mahu berbicara denganmu. Jika kamu mahu memberikan satu nikmat maka berikan kepada orang yang mahu berterima kasih. Jika kamu mahu membunuh aku bunuhlah, aku adalah orang yang memang berhak untuk dibunuh. Jika kamu menghendaki harta maka mintalah berapa banyak yang kamu mahu maka aku akan berikan apa yang kamu mahu. Lalu Rasulullah s.a.w meninggalkannya. Esoknya, Rasulullah s.a.w bersabda: Bagaimana keadaanmu wahai Sumamah. Sumamah berkata: Jika kamu memberikan satu nikmat maka aku akan ucapkan terima kasih, sekiranya kamu mahu membunuh maka bunuhlah, sekiranya kamu mahukan harta, aku akan berikan kepada kamu berapa banyak yang kamu mahukan. Kemudian Rasulullah s.a.w bersabda kepada para Sahabat: Lepaskan Sumamah. Lalu Sumamah berangkat menuju ke kawasan kebun tamar. Setelah mandi lalu dia memasuki masjid dan mengucapkan kalimah: Aku bersaksi bahawa tiada tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba serta utusanNya. Wahai Muhammad! Di muka bumi ini tidak ada wajah yang paling aku benci daripada wajahmu sebelum ini. Tetapi sekarang wajahmulah yang paling aku suka di antara wajah-wajah yang pernah aku temui. Sebelum ini tidak ada agama yang paling aku benci daripada agamamu dan sekarang hanya agamamu lah yang paling aku sukai di antara agama-agama yang pernah aku temui. Dahulu negerimulah yang paling aku benci, tetapi sekarang negerimulah yang paling aku cintai di antara negeri-negeri yang pernah aku kenal. Sesungguhnya pasukan berkudamu selalu mengawasiku sedangkan aku ingin melakukan umrah. Beagaimana ini? Rasulullah s.a.w lalu menyampaikan berita gembira kepada Sumamah bahawa dia boleh melakukan umrah. Ketika sampai di Kota Mekah seorang bertanya kepadanya: Kamu sudah keluar dari agamamu? Sumamah menjawab: Tidak. Tetapi aku sudah memeluk Islam dan tunduk kepada Rasulullah s.a.w. Demi Allah, tidak akan ada sebiji gandum pun dari Yamamah yang akan sampai kepada kamu sebelum mendapat keizinan Rasulullah s.a.w [Sahih Bukahri dan Muslim kitab jihad].
Kewajiban seorang Muslim terhadap non muslim ada beberapa bentuk, di antaranya:
1.
Berdakwah kepada Allah subhanahu wata’ala, yaitu dengan menyerunya kepada Allah
dan menjelaskan hakikat Islam kepadanya semampu yang dapat ia lakukan dan berdasarkan
ilmu yang ada padanya, sebab hal ini merupakan bentuk kebaikan yang paling
agung dan besar yang dapat diberikannya kepada warga negara sesamanya dan etnis
lain yang berinteraksi dengannya seperti etnis Yahudi, Nashrani dan kaum
Musyrikin lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti (pahala) pelakunya.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, III, no.1506; Abu Daud, no.5129; at-Turmudzi, no.2671 dari hadits Abu Mas’ud al-Badri radhiyallahu ‘anhu)
Dan sabda beliau shallallahu
‘alaihi wasallam kepada ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ketika mengutusnya ke Khaibar
dan memerintahkannya menyeru orang-orang Yahudi kepada Islam,
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
“Demi Allah, sungguh Allah mem-beri hidayah kepada seorang laki-laki melalui tanganmu adalah lebih baik bagimu daripada onta merah (harta paling berharga dan bernilai kala itu-red).” (Dikeluarkan oleh al-Bukhari, III:137; Muslim, IV:1872 dari hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
Dalam
sabda beliau yang lain,
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Dikeluarkan oleh Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi, 2674 dari jalur Isma’il bin Ja’far, dari al-’Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (Dikeluarkan oleh Muslim, IV: 2060; Abu Daud, 4609; at-Turmudzi, 2674 dari jalur Isma’il bin Ja’far, dari al-’Ala’ bin ‘Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Jadi,
dakwahnya kepada Allah subhanahu wata’ala, penyampaian Islam dan nasehatnya
dalam hal tersebut termasuk sesuatu yang paling penting dan bentuk pendekatan
diri kepada Allah subhanahu wata’ala yang paling utama.
2. Tidak
berbuat zhalim terhadap jiwa, harta atau pun kehormatannya bila ia seorang
Dzimmi (non muslim yang tinggal di negri kaum muslimin dan tunduk kepada hukum
Islam serta wajib membayar jizya), atau Musta’man(non muslim yang mendapatkan
jaminan keamanan) atau pun Mu’ahid (non muslim yang mempunyai perjanjian
damai). Seorang Muslim harus menunaikan haknya (non Muslim) dengan tidak
berbuat zhalim terhadap hartanya baik dengan mencurinya, berkhianat atau pun
berbuat curang. Ia juga tidak boleh menyakiti badannya dengan cara memukul atau
pun membunuh sebab statusnya adalah sebagai seorang Mu’ahid, atau dzimmi di
dalam negeri atau Musta’man yang dilindungi.
3. Tidak
ada penghalang baginya untuk bertransaksi jual beli, sewa dan sebagainya
dengannya. Berdasarkan hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau pernah membeli dari orang-orang kafir penyembah berhala dan
juga membeli dari orang-orang Yahudi. Ini semua adalah bentuk mu’amalah
(transaksi). Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beliau masih
menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi untuk keperluan makan
keluarganya.
4. Tidak
memulai salam dengannya tetapi tetap membalasnya. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Janganlah memulai salam dengan orang-orang
Yahudi dan Nashrani.” (HR.Muslim, IV:1707 dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu)
Dalam
sabdanya yang lain, “Bila Ahli Kitab memberi salam kepada kamu, maka katakanlah:
‘Wa’alaikum.’ Muttafaqun alaih (HR. al-Bukhari, IV:142; Muslim, IV:1706 dari
hadits Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Jadi,
seorang Muslim tidak memulai salam dengan orang kafir akan tetapi kapan orang
Yahudi, Nashrani atau orang-orang kafir lainnya memberi salam kepadanya, maka
hendaknya ia mengucapkan, Wa’alaikum. Sebagai-mana yang diperintahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini termasuk hak-hak yang disyari’atkan antara
seorang Muslim dan orang kafir.
Hak
lainnya adalah bertetangga yang baik. Bila ia tetangga anda, maka berbuat
baiklah terhadapnya, jangan mengusik-nya, boleh bersedekah kepadanya bila ia
seorang yang fakir. Atau boleh memberi hadiah kepadanya bila ia seorang yang
kaya. Boleh pula menasehatinya dalam hal-hal yang bermanfa’at baginya sebab ini
bisa menjadi motivator ia berhasrat untuk mengenal dan masuk Islam. Juga,
karena tetangga memiliki hak yang agung sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, “Jibril senantiasa berpesan kepadaku agar berbuat baik kepada
tetangga hingga aku mengira ia akan memberikan hak waris kepadanya.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Juga
sebagaimana makna umum dari firman Allah subhanahu wata’ala, artinya:
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.al-Mumtahanah:8)
Dan
dalam hadits yang shahih dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha, bahwa
Ibundanya datang kepadanya saat ia masih musyrik di masa perundingan damai yang
terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan penduduk Mekkah, ibundanya
datang kepadanya meminta bantuan, lantas Asma’ meminta izin terlebih dahulu
kepada Nabi mengenai hal tersebut; apakah ia boleh menyambung rahim dengannya?
Maka, Nabi pun bersabda, “Sambunglah rahim dengannya.” (al-Bukhari, II:242;
Muslim, II:696 dari hadits Asma’ radhiyallahu ‘anha)
Namun
begitu, seorang Muslim tidak boleh ikut serta merayakan pesta dan hari besar
mereka. Tetapi tidak apa-apa melawat jenazah mereka bila melihat ada
kemashlahatan syari’at dalam hal itu seperti dengan mengucapkan, “Semoga Allah
subhanahu wata’ala mengganti musibah yang kamu alami ini” atau “Semoga Dia
mendatangkan pengganti yang baik buatmu,” dan ucapan baik semisal itu.
Hanya
saja, tidak boleh mengucapkan, “Semoga Allah subhanahu wata’ala mengampuninya”
atau “Semoga Allah merahmatinya” bila ia seorang kafir. Artinya, tidak boleh
berdoa untuk si mayit tetapi boleh berdoa untuk orang yang masih hidup agar
mendapat hidayah, mendapat pengganti yang shalih dan semisal itu.
MEMAHAMI KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQIH
A. AMAR
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa Amar berarti ”suruhan”,
“perintah”. Menurut istilah Amar adalah “suatu lafaz yang dipergunakan
oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk
meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang tidak boleh ditolak”.
2. Bentuk-bentuk Amar
a. Fi’il amar: lihat QS. An-Nisa’:4
b. Fi’il Mudhori’ yang diawali Lam Amar: lihat QS. 104.
c. Isim Fi’il
Amar: lihat QS. Al-Maidah:105.
d. Masdar pengganti Fi’il: lihat QS. Al-Baqoroh:83.
e. Jumlah khobariyah/kalimat berita: lihat QS. Al-Baqoroh:228.
f. Kata-kata yang mengandung makna perintah: seperti Farodo, kutiba, Amaro
(lihat
QS.Al-Ahzab:50; QS.
Al-Baqoroh:183, 196; QS. An-Nisa’:58.
3. Kaidah-kaidah Amar:
Yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mujahid dalam mengistinbathkan hukum.
Kaidah-kaidah amar ada lima bentuk:
Kaidah
pertama:
“Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan
kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan adanya
qarinah”.
Maksudnya bahwa mengerjakan suatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu
perintah adalah wajib diperbuat.
Dalam perkembangannya, amar itu bisa dimaksudkan bukan wajib, antara lain
seperti berikut:
a. Nadb;
anjuran (sunah): lihat QS. An-Nuur:33.
b. Irsyad;
membimbing atau memberi petunjuk: lihat QS. Al-Baqoroh: 282
Beda amar dalam bentuk irsyad
dengan nadb, dengan nadb diharapkan mendapat
pahala, sedang irsyad untuk
kemaslahatan serta kebaikan yang berkaitan dengan adat-
istiadat dan sopan santun.
c. Ibahah; boleh dikerjakan dan boleh ditinggal: lihat QS.
Al-Baqoroh:60.
d. Tahdid; mengancam atau menghardik: lihat QS. Fusilat:40.
e. Taskhir; menghina atau merendahkan derajat:lihat QS.
Al-Baqoroh:65.
f. Ta’jiz; menunjukkan kelemahan lawan bicara: lihat QS.
Al-Baqoroh:23.
g. Taswiyah; sama antara dikerjakan dan tidak: lihat QS. At-Thuur:16.
h. Takdzib;
mendustakan: lihat QS. Al-Baqoroh:111.
i. Talhif;
membuat sedih atau merana: lihat QS. Ali Imran:119.
j. Do’a; permohonan: lihat QS. Al-Kahfi:10.
Kaidah kedua:
“Perintah setelah larangan menunjukkan kepada
kebolehan”.
Maksudnya, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, kemudian
datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi
bersifat membolehkan. Seperti QS. Al-Jumu’ah:10: “Apabila shalat (jum’at)
telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; carilah karunia
Allah”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat jum’at
diperbolehkan melakukan suatu pekerjaan, termasuk jual beli. Padahal dalam ayat
lain, Allah menyuruh meninggalkan (melarang) kegiatan jual beli bila panggilan
shalat Jum’at telah dikumandangkan, sebagaimana firman-Nya dalam QS.
Al-Jumu’ah:9 sebagai berikut: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah
diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli”.
Kaidah ketiga:
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki
segera dilaksanakan”.
Misalnya tentang haji, seperti firman Allah dalam QS. Al-Hajj:27: “Dan
serulah manusia untuk mengerjakan haji”. Dalam hadis Nabi saw dinyatakan:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu (untuk melaksanakan) haji,
maka berhajilah”.
Dalam masalah ini, para ulama sepakat bahwa perintah melaksanakan sesuatu
yang berkaitan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dan tidak boleh di luar waktu. Bila dikerjakan di luar waktu
tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya berdosa.
Kaidah keempat:
“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki
pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah)”.
Misalnya perintah melaksanakan haji yaitu satu kali seumur hidup. Namun
bila perintah itu dimaksudkan pengulangan (beberapa kali), maka harus ada
qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Manurut ulama,
qarinah itu dapat dikelompokkan menjadi tiga:
Pertama, perintah itu dihubungkan dengan syarat, seperti wajib
mandi setelah junub.
QS.Al-Maidah:6: “Jika kamu junub, maka mandilah”.
Kedua, perintah itu dihubungkan dengan ‘illat, dengan
kaidah “hukum itu ditentukan oleh ada atau tidak adanya ‘illat”. Seperti
hukum rajam disebabkan melakukan zina. Sebagaimana difirmankan Allah swt: “Pezina
perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus
kali” (QS. An-Nuur:2).
Ketiga, perintah itu dihubungkan dengan sifat atau
keadaan yang berlaku sebagai ‘illat, seperti kewajiban sholat setiap kali masuk
waktu. Firman Allah:”Laksanakanlah sholat sejak matahari tergelincir sampai
gelapnya malam” (QS.Al-Isra’:78).
Dengan demikian jelaslah bahwa berulangnya kewajiban itu dihubungkan dengan
berulangnya sebab.
Kaidah kelima:
“Memerintahkan mengerjakan sesuatu berarti
memerintahkan pula segala wasilahnya”.
Maksud kaidah ini adalah bahwa perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa
terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat mewujudkan
perbuatan yang diperintah itu. Seperti kewajiban mengerjakan sholat. Sholat ini
tidak dapat dilaksanakan tanpa suci terlebih dahulu. Karena itu, perintah
sholat berarti juga perintah bersuci.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, ulama menetapkan kaidah: “setiap
perkara yang kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajib
pula”.
B. NAHI
1. Pengertian Nahi
Menurut bahasa An-Nahyu
berarti “larangan”. Sedang menurut istilah, larangan ialah “tuntutan
meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya
kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”.
2. Bentuk-bentuk Nahi
Pernyataan yang menunjukkan kepada Nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk:
a. Fi’il Mudhori’ yang disertai dengan La Nahiyah, seperti dalam
QS.Al-baqoroh:11.
b. Lafaz-lafaz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu
perbuatan, seperti dalam QS.
Al-Baqoroh:285.
3. Kaidah-kaidah Nahi
Kaidah pertama:
Menurut Jumhur: “Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram”.
Seperti QS. Al-Isro’:32: “Dan janganlah kalian mendekati zina”.
Alasan yang dipakai Jumhur:
a. Akal dapat memahami bahwa sighot (bentuk) nahi itu menunjukkan arti yang
sebenar-
nya, yaitu melarang.
b. Ulama salaf memahami sighot nahi yang bebas dari qarinah menunjukkan
larangan.
Sebagian ulama yang lain berpendapat:
“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan makruh”. Menurut mereka bahwa
nahi menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarang itu adalah tidak baik. Karena itu, ia tidak menunjukkan
haram, tetapi makruh. Sebab makruhlah pengertian yang pasti.
Sighot nahi, selain
menunjukkan haram, sesuai dengan qarinahnya, juga menunjukkan beberapa arti,
antara lain sebgai berikut:
(1)
Karahah, seperti: “janganlah
sholat di tempat (berlututnya) unta”.
(2) Doa, seperti: QS. Al-baqoroh:286.
(3) Irsyad, memberi petunjuk, mengarahkan. Seperti:QS. Al-maidah:101.
(4)
Tahqir, menghina. Seperti:QS.
Al-Hijr:88.
(5) Bayan Al-Aqibah (menjelaskan akibat). Seperti QS. Ali Imran:169.
(6) Ta’yis, menunjukkan putus asa. Seperti
“Laa tuthi’ amriiy”.
Kaidah Kedua:
“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan
kebalikannya”
Seperti dalam qur’an: “Janganlah kamu menyekutukan Allah”. Larangan
menyekutukan Allah berarti perintah mentauhidkan-Nya.
Kaidah ketiga:
“Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki
pengulangan larangan dalam setiap waktu”.
Jadi, jika larangan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu seperti dikaitkan
dengan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti menghendaki meninggalkan yang
dilarang itu sepanjang masa. Namun bila larangan itu dikaitkan dengan waktu,
maka perintah larangan itu berlaku bila ada sebab. Seperti: “Janganlah kamu
mendekati sholat ketika kamu dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa’:43)
Kaidah keempat:
“Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad
(rusak) secara mutlak”
Sabda Rasul saw: “Setiap perkara yang tidak ada perintah kami, maka ia
tertolak”.
Dengan demikian, setiap perkara yang dilarang berarti tidak diperintahkan,
dan setiap yang tidak diperintahkan adalah tertolak, dan tertolak berarti batal
(tidak sah, fasad) hukumnya.
C. ’AM DAN
KHOSH
1. Pengertian
‘Am
‘Am artinya umum. Maksudnya mencakup semua perkara
terhadap yang berbilang-bilang. ‘Am menurut istilah Ushul Fiqih ialah “lafaz
yang mencakup semua apa saja yang masuk padanya dengan satu ketetapan dan
sekaligus”. Maksud lafaz ‘am adalah lafaz yang mencakup seluruh
bagian-bagian yang terkandung di dalamnya. Misalnya lafaz ar-rojulu (laki-laki), berarti mencakup semua
laki-laki. Lafaz al-insan (manusia) berarti mencakup semua manusia tanpa
kecuali.
2. Perbedaan antara Umum dan Mutlak
Umum adalah meliputi
keseluruhan termasuk semua bagian-bagiannya. Seperti firman Allah “innal
insaana lafii khusrin” (QS. Al-Asyr:2). Lafaz insaan (manusia) dalam
ayat tersebut adalah umum, yaitu mencakup seluruh manusia. Sedangkan lafaz
mutlak bermakna meliputi satu atau beberapa bagian dari keseluruhan. Seperti
lafaz orang-orang yang beriman, merupakan bagian dari manusia yang ada di alam
ini. Lafaz mutlak sering juga disebut “umum badali”.
3. Macam-Macam Lafaz ‘Am
a. Lafaz-lafz yang mengandung arti umum, seperti lafaz: kullu, jamii’u,
kaaffah,
ma’syaro. Contoh dalam QS.Ali Imran:185,
Al-Baqoroh:29, Saba’:28, Al-an’am:130.
b. Lafaz yang berbentuk isim syarat, yakni yang bersifat ada balasan,
antara lain seperti
lafaz: man, ma, dan aina. Contoh: QS. An-Nisa’:123, Al-Baqoroh:272, An-Nisa’:78.
c. Lafaz yang berbentuk isim istifham, artinya suatu kata tanya, baik
dengan lafaz man,
ma, atau
aina.
d. Lafaz yang nakiroh (bersifat umum) yang didahului oleh nafi. Contoh: QS. Al-
baqoroh:48: “wattaquu yauman laa tajzi nafsun
‘an nafsin syai an”.
e. lafaz yang berbentuk isim maushul, artinya yang digunakan untuk kalimat
sambung.
Antara lain lafaz ‘allazi,
allazina, allati, atau allaatii. Contoh QS. An-Nisa’:10.
f. Lafaz ‘ayyu’ artinya ‘kapan saja’. Contoh QS. Al-Isro’:110
g. Lafaz yang berbentuk ta’rif idhofah artinya isim yang ma’rifah
dengan jalan idhofah.
Contoh QS. Ibrohim:34
4. Pengertian Khosh dan Mukhossis
Kata Khosh adalah isim
fa’il yang mengandung arti khusus atau mengkhususkan atau menentukan. Dalam
istilah ushul fiqih, khosh adalah “sesuatu yang tidak mencapai
sekaligus dua atau lebih tanpa batas”. Contoh kata “rojulun” artinya
seorang laki-laki. Dalam hal ini terbatas pada seorang saja. Demikian
seterusnya, seperti “rojulaani”.
Sedang yang dimaksud
dengan Takhsish dalam istilah ushul fiqih ialah “mengeluarkan
sebagian apa-apa yang termasuk dalam yang umum itu menurut ukuran ketika tidak
terdapat mukhassish”. Mukhassish artinya dalil yang mengkhususkan
suatu dalil umum.
5. Pembagian Mukhassish (dalil yan mengkhususkan)
a. Mukhassish muttasil atau mukhassish yang
bersambung
Yaitu apabila makna suatu dalil
berhubungan erat atau bergantung
pada kalimat umum sebelumnya.
Mukhassish muttasil dibagi menjadi lima, yaitu:
(1) Pengecualian (istisna). Contoh firman Allah dalam QS.
Al-Asyr:2-3. yang dikhususkan dalam ayat di atas adalah orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh.
(2) Syarat. Contoh firman Allah dalam QS. Al-Baqoroh:228.
Syarat kembali kepada istri adalah dalam masa iddah dengan tujuan islah
(memperbaiki hubungan).
(3)
Sifat. Contoh dalam QS. An-Nisa’:92. Sifat yang mengkhususkan dalam ayat
tersebut adalah sifat mukmin, yakni yang dimerdekakan itu harus/dikhususkan
pada hamba yang mukmin.
(4) Kesudahan. Contoh dalam QS.
Al-Baqoroh:222. Pada ayat ini
mengkhususkan bahwa bolehnya didekati apabila telah suci.
(5) Sebagian ganti keseluruhan. Contoh QS. Ali-Imran:97. Lafaz “man” dan sesudahnya
pada ayat tersebut di atas mengkhususkan keumuman sebelumnya. Yaitu sebagian
orang yang mampu mengganti keumuman wajibnya manusia untuk haji.
b. Mukhassish Munfasil
Yaitu dalil yang umum atau
makna dalil yang umum dengan dalil atau makna dalil yang mengkhususkannya.
Masing-masing berdiri sendiri, yakni tidak berkumpul tapi terpisah.
Ada
beberpa macam mukhassish munfasil, yaitu:
(1)
Kitab
ditakhsis dengan kitab.
Yaitu dalil umum dn yang mengkhususkannya sama-sama dalam Al-qur’an. Contoh QS. Al-Baqoroh:228 ditakhsis dengan QS. At-Tholaq:4
(2)
Kitab ditakhsis oleh sunah. Contoh QS. An-Nisa’:11 ditakhsis hadis “La yaritsul muslimul kaafiro
wa lalkaafirul muslima” (HR. Muttafaq ‘alaihi)
(3)
Sunnah ditakhsis dengan
kitab. Contoh sunnah “Laa yaqbalullohu sholaata
ahadikum izaa ahdatsa hatta yatawaddo’ ditakhsis oleh QS.An-Nisa’:42.
(4)
Sunnah ditakhsis oleh sunnah. Contoh: “Tanaman yang dengan siraman hujan (zakatnya) adalah
sepersepuluh” (HR. Bukhari
Muslim) ditakhsis oleh hadis : “Tidak wajib zakat (tanaman) yang kurang lima wasaq” (HR. Bukhari Muslim).
(5)
Mentakhsis dengan qiyas. Contoh hadis “Menunda-nunda pembayaran bagi orang yang mampu
halal, dilanggar kehormatannya dan boleh dihukum” (HR. Ahmad). Hadis ini
ditakhsis qiyas, yaitu tidak termasuk orangtua (ibu/ayah), dengan jalan
mengqiyaskan kepada ayat yang tidak boleh berkata “uff” pada orangtua.
D. MUTLAQ DAN
MUQAYYAD
1. Pengertian
Mutlaq dan Muqayyad
Menurut bahasa Mutlaq berarti ‘tidak
terikat’. Menurut istilah ulama ushul, Mutlaq adalah “suatu lafaz tertentu yang
tidak terikat oleh batasan lafaz yang mengurangi keumumannya”. Contoh lafaz
‘roqobah’ pada ayat ‘fatahriiru rokobah’. Jadi lafaz ‘rokobah’ ini adalah
mutlaq.
Sedangkan Muqayyad menurut bahasa berarti
‘terikat’. Sedang menurut istilah ialah “suatu lafaz tertentu yang dibatasi
oleh batasan lafaz lain yang mengurangi keumumannya”. Contohnya lafaz ‘rokobah’
dalam ayat ‘fatahriiru rokobatin mu’minatin’
Jadi lafaz rokobah dalam ayat ini adalah muqayyad, sebab dibatasi oleh
lafaz ‘mu’minatin’
2. Hukum Lafaz Mutlaq dan Muqayyad
Apabila dalam suatu nash,
khitab datang bersifat mutlaq tetapi dalam nash lain bersifat muqayyad, maka
ada beberapa kemungkinan menurut para ulama:
a. Jika persoalan dan hukum dalam nash itru sama, serta keadaan nutlaq dan
muqayyad terdapat pada hukum, maka harus berpegang kepada yang muqayyad.
Seperti ada seorang sahabat yang bersetubuh dengan istrinya pada siang hari di
bulan Ramadhan, kemudian menyampaikan masalah ini kepada Nabi. Ia berkata: “Innii
aftortu fii romadoona”. Mendengar kata-kata itu (dalam satu riwayat) Nabi
bersabda: “Merdekakanlah seorang hamba sahaya, atau berpuasa dua bulan atau
berilah makan enam puluh orang fakir miskin”. Namun dalam riwayat lain,
Nabi bersabda: “Apakah engkau sanggup berpuasa selama dua bulan
berturut-turut?”. Dalam hadis pertama tidak disebutkan lafaz
“berturut-turut”, berarti muqayyad. Sedang dalam hadis kedua disebutkan,
berarti mutlaq. Maka yang dijadikan pegangan adalah yang kedua, yaitu puasa dua
bulan berturut-turut.
b. Jika persoalan dan hukum kedua nash itu sama serta keadaan mutlaq dan
muqayyad terdapat pada sebab hukum, maka harus berpegang kepada muqayyad.
Seperti dalam suatu hadis dinyatakan “pada lima ekor unta wajib zakat”.
Sedang pada riwayat lain “ pada lima ekor unta yang diternakkan wajib zakat”.
Maka yang dijadikan pegangan adalah hadis yang kedua (muqayyad), yaitu lima
ekor unta yang diternakkan wajib zakat.
c. Jika persoalan berbeda dan hukumnya sama, maka menurut jumhur ulama
Syafi’iyah wajib berpegang kepada yang muqayyad. Seperti mengenai kifarat
pembunuhan tersalah dan kifarat zhihar. Mengenai kifarat pembunuhan
tersalah/keliru adalah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS.
An-Nisa:92). Sedang kifarat zhihar adalah memerdekakan seorang hamba sahaya
sebelum kedua suami istri itu bercampur (QS. Al-Mujadilah:3). Berdasarkan kedua
masalah tersebut, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang
beriman, baik atas pembunuhan tersalah maupun zhihar.
d. Jika persoalan sama dan hukum berbeda, maka menurut jumhur ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah harus berpegang kepada yang muqayyad. Menurut
Malikiyah dan Hanabilah, harus berpegang kepada masing-masing, yaitu yang
mutlaq harus mutlaq dan yang muqayyad harus muqayyad. Misalnya mengenai bersuci
(dengan wudhu’ dan tayammum). Dalil tentang wudhu’ “maka basuhlah wajahmu dan
tanganmu sampai ke siku” (QS. Al-Maidah:6). Dalil tentang tayammum, “usaplah
wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu … (QS. Al-Maidah:6). Batas
membasuh/mengusap muka dalam dua dalil diatas berbeda. Wudhu’ sampai siku
(muqayyad), tayammum tidak ada batasan (mutlaq). Menurut jumhur ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah, yang harus dipegang adalah sampai batas siku
(muqayyad) baik dalam berwudhu’ maupun tayammum. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, wudhu’
harus membasuh siku (muqayyad) dan tayammum cukup sampai pergelangan tangan
(mutlaq).
e. Jika persoalan berbeda dan hukumnya berbeda, maka yang harus dijadikan
pegangan adalah masing-masing, yang mutaq sesuai dengan mutlaqnya, dan yang
muqayyad sesuai dengan muqayyadnya. Misalnya dalam kifarat pembunuhan tersalah
tidak mendapatkan hamba sahaya, maka ia hendaknya berpuasa dua bulan
berturut-turut. Sedang tentang kifarat sumpah, “barangsiapa tidak mampu
melakukannya, maka (kafarahnya) berpuasa tiga hari” (QS. Al-Maidah:89).
E. MANTHUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian Manthuq dan Mafhum
Manthuq menurut bahasa
berarti “diucapkan”. Sedang menurut istilah “apa yang ditunjukkan oleh
lafaz sesuai dengan yang diucapkan”. Contoh, QS.Al-Baqoroh:275: “Dan Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Lafaz ayat ini secara
jelas menunjukkan bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram.
Mafhum menurut bahasa
berarti “pengertian”. Menurut istilah “pengertian suatu lafaz bukan arti
harfiyah dari yang diucapkan”. Contoh QS. Al-Isro’:23: “maka sekali-kali
janganlah engkau menyatakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan ‘ah’.”
Secara manthuq ayat ini
mengharamkan mengucapkan “ah”, namun mafhumnya menunjukkan bahwa memukul mereka
itu haram. Keharamannya berdasarkan/ditunjukkan oleh mafhum ayat. Dengan
demikian, manthuq berarti arti yang tersurat, sedang mafhum adalah arti yang
tersirat.
2. Macam-macam Manthuq
Manthuq
dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Manthuq nash, yaitu lafaz yang tidak mungkin ditakwilkan
kepada arti lain selain arti
harfiyahnya.
Seperti: “fashiyaamu
tsalaatsati ayyaami” (maka hendaklah berpuasa tiga hari)
b. Manthuq zhihar, yaitu suatu lafaz yang memungkinkan untuk
ditakwilkan kepada arti
lain, selain arti harfiyahnya.
Seperti: “yadulloohi fauqo
aidiihim” (tangan Allah di atas tangan manusia).
Menurut zahirnya, kata “yadun”
berarti tangan, tetapi mustahil Allah bertangan, maka
ditakwilkan kepada arti
kekuasaan.
3. Macam-macam Mafhum
Mafhum
dapat dibagi menjadi:
a. Mafhum Muwafaqat, yaitu sesuatu yang tidak diucapkan (tersirat)
hukumnya sama
dengan apa yang diucapkan.
Contohnya: Minum-minuman keras itu memabukkan. Khamar (arak) itu memabukkan dan dia
diharamkan. Karena itu hukum minuman keras sama dengan hukum khamar, yaitu
haram.
Mafhum
Muwafaqat ada dua macam:
(1) Fahwal Khithab, yaitu apabila yang tidak
diucapkan (mafhum) itu lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti
memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan “ah” saja (lebih ringan
dari memukul) juga haram apalagi memukul.
(2) Lahnul Khithab, yaitu apabila yang tidak
diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu haram, sebab
memakannya juga haram. Keduanya sama-sama merusak harta
mereka.
b. Mafhum
Mukhalafah, yaitu yang tidak diucapkan itu
berlainan hukumnya dengan yang
diucapkan, baik dalam menetapkan hukum
maupun meniadakannya.
Mafhum
Mukhalafah terdiri dari:
(1) Mafhum Sifat, yaitu berlakunya
kebalikan, hukum sesuatu yang disertai dengan sifatnya itu tidak menyertainya.
Seperti firman Allah swt dalam QS. An-Nisa’:25: “Barang siapa di antara kamu
yang tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka
(dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu
miliki”.
(2)
Mafhum Syarat, yaitu
berlakunya hukum sesuatu yang dikaitkan dengan syarat, apabila syarat itu tidak
terdapat padanya. Seperti firman Allah dalam QS An-Nisa’:4: Kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan. Persyaratan
halalnya bagi suami memakan sebagian dari maskawin istrinya dengan penyerahan
secara senang hati, mafhumnya jika istri tidak menyerahkannya dengan senang
hati, maka haram atas suami memakannya.
(3) Mafhum Ghoyah, yaitu berlakunya hukum yang disebut sampai batas
tertentu, dan berlaku kebalikan hukum bila tersebut terlampaui. Seperti firman
Allah dalam QS. Al-Baqoroh:187: “Makan dan minumlah hingga jelas bagimu
(perbedaan) antara benag putih dari benang hitam, yaitu fajar ….” Kebolehan makan dan minum pada bulan Ramadhan
sampai terbit fajar. Mafhumnya haram makan dan minum
setelah terbit fajar.
(4) Mafhum Hasyr, yaitu hukum sesuatu yang
disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Yang di luar batas berarti berlaku hukum
kebalikannya. Seperti sabda Nabi saw “Riba itu hanya pada nashi’ah”. Dengan demikian, selain pada nashi’ah tidak ada riba.
(5) Mafhum Laqab, yaitu mafhum dari nama
yang menyatakan zat, baik nama diri, seperti Ali,Amin, berbentuk kata sifat,
seperti yang mencari atau membunuh, atau nama jenis, seperti emas, padi, dan
sebagainya. Selain yang
disebutkan berlaku hukum kebalikannya. Seperti hadis Nabi yang menerangkan
tentang barang-barang yang mengandung riba:”(menukar) emas dengan emas,
perak dengan perak, bur dengan bur, syair dengan syair, kurma dengan kurma,
garam dengan garam (hendaklah) yang serupa (sifatnya) sama (jumlahnya) dan
kontan”. Bila penukaran barang yang sejenisseperti dalam hadis tersebut
dengan tidak sama jumlahnya, hukumnya riba. Maka mafhum
selain enam jenis tersebut hukumnya tidak riba.
4. Berhujjah dengan Mafhum
(a) Para ulama sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqoh.
(b) Ulama berbeda pendapat tentang berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
© Jumhur ulama: berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali
mafhum
laqab.
(d) Ulama
Hanafiah, Ibnu Hazm dan golongan Zaidiyah: semua mafhum mukhalafah
tidak dapat dijadikan hujjah.
F. MUJMAL
DAN MUBAYYAN
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Mujmal ialah “lafaz
yang sighotnya tidak jelas menunjukkan apa yang dimaksud”. Sedang Mubayyan
ialah “lafaz yang sighotnya jelas menunjukkan apa yang dimaksud”.
Lafaz mujmal dapat terjadi pada:
a. Lafaz Mufrad,
baik yang berbentuk isim (seperti lafaz qur’un bisa berarti “suci” dan “haid”),
fi’il (seperti lafaz “’as’as” bisa berarti “datang” dan “pergi”, maupun huruf
(seperti “alwaw” bisa untuk athof atau pada awal kalimat .
b. Susunan kalimat dalam QS. Al-Baqoroh: 237, yang dimaksud dengan “allazii
biyadihii ‘uqdatunnikaahi” belum jelas, apakah “wali” atau “suami”.
Dengan demikian, lafaz
mujmal itu masih memerlukan penjelasan (bayan), sehingga dapat diketahui
maksudnya secara jelas. Selama dalam keadaan mujmal, maka hukumnya ditangguhkan
sampai ada bayan (penjelasan).
2. Tingkatan
Bayan
Yang dimaksud dengan bayan ialah
“menjelaskan status yang samar sehingga menjadi jelas”.
a. Bayan dengan
kata-kata disebut juga sebagai bayan penguat.
Misalnya: Firman Allah dalam QS. Al-Baqoroh: 196. Kata-kata “asyarotun kamilatun” menguatkan
kata “tsalaatsatin ayyaamin” dan “wa sab’atin” yang telah
ditegaskan sebelumnya.
b. Bayan
dengan perbuatan
Seperti sabda
Nabi saw “sholluu kama roaitumuunii
ushollii” menguatkan pelaksanaan sholat yang dilakukan oleh Nabi saw.
c. Bayan
dengan isyarat
Seperti penjelasan Nabi saw tentang keharaman emas dan perak bagi
laki-laki. Sebagaimana sabdanya “sesungguhnya dua (barang) ini haram atas
umatku yang laki-laki”
d. Bayan
dengan meninggalkan
Seperti HR.Ibnu
Hibban: “Yang terakhir dari dua perkara dari Nabi saw adalah tidak mengambil
wudhu’ karena memakan sesuatu yang dimasak”.
e. Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan
Seperti kisah
Uwaimir Al Ajalan ytatkala bertanya kepada rasul tentang istrinya yang
kelihatannya berbuat serong, maka rasul diam tidak memberikan jawaban. Hal ini menunjukkan tidak ada hukum li’an.
Setelah itu turun ayat li’an.
3.
Penangguhan Bayan
a. Penangguhan penjelasan dari waktu yang
dibutuhkan.
Para ulama sepakat bahwa penjelasan tidak boleh lambat dari waktu
diperlukan. Karena penangguhan berarti membolehkan
mengamalkan sesuatu yang masih mujmal.
b. Penangguhan penjelasan dari waktu khitab
Maksudnya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan. Misalnya
khitab “dirikanlah sholat” yang penjelasan pelaksanaannya datang kemudian
dengan dicontohkan oleh Jibril kepada Nabi saw, dan selanjutnya oleh Nabi saw
diajarkan kepada umatnya. Penangguhan penjelasan seperti ini menurut jumhur
ulama fiqih dan mutakallimin hukumnya boleh.
G. MURODIF
DAN MUSYTARAK
1. Pengertian
Murodif dan Musytarak
Murodif adalah “persamaan” atau
“sinonim”. Atau “beberapa lafaz menunjukkan satu
arti”. Seperti lafaz “al asadu” dan “al
laitsu” artinya singa.
Musytarak ialah “ suatu
lafaz yang menunjukkan dua makna atau lebih”. Seperti
lafaz
quru’ bisa berarti suci dan haid, “al jaunu” berarti putih dan hitam.
2. Hukum Murodif
Para ulama berbeda
pendapat apakah dua lafaz atau lebih yang mempunyai arti sama dapat
dipertukarkan dalam pemakaiannya atau tidak. Namun pendapat yang kuat
membolehkan selama tidak ada halangan syara’. Kebolehan ini terbatas kepada
selain lafaz-lafaz Al-qur’an. Sebab Al-qur’an adalah firman Allah yang bersifat
mukjizat yang tidak boleh ditukar atau diganti. Misalnya lafaz “Allahu Akbar”
dalam takbiratul ihram.
a. Menurut Imam Malik, tidak boleh selain lafaz “Allahu Akbar”.
b.Imam Syafii membolehkan “Allahu Akbaru Wallahu Akbaru” dan
kata-kata murodifnya.
c. Imam Abu Hanifah membolehkan dengan lafaz yang sama artinya
dengan lafaz Allahu Akbar, seperti Allahul ‘Azim dan Allahul Ajallu”.
Sebab perbedaan pendapat
para ulama itu ialah apakah dalam doa iftitah terletak pada lafaznya atau
maknanya. Bagi mereka yang tidak membolehkan karena adanya halangan syar’i,
yaitu bersifat ta’abbudy (menerima seperti apa adanya) dalam bacaan sholat. Ada
juga ulama yang menyatakan bahwa takbiratul ihram tidak boleh diganti dengan
lafaz dari bahasa lain (terjemahannya). Sedang yang
membolehkan karena melihat pada kesamaan makna.
3. Hukum
Musytarak
Jumhur ulama termasuk Syafii, Qadhi
Abu Bakar dan Al-Jubai berpendapat bahwa pemakaian lafaz musytarak untuk dua
atau beberapa makna hukumnya boleh. Alasan mereka berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Hajj:18 tentang
“sujud”. Lafaz sujud dalam ayat tersebut mempunyai dua arti yang sama-sama
hakiki, yaitu tunduk dan meletakkan dahi
di bumi. Bagi makhluk yang tidak berakal arti sujud untuknya adalah tunduk.
Sedang bagi manusia adalah meletakkan dahi di atas bumi.
Karena itu pula Imam
Syafii mengartikan kata mulamasah dalam firman-Nya “aulaamastumun nisa’ dengan
arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara
bersama-sama.
H. ZAHIR DAN
TA’WIL
1. Pengertian
Zahir dan Ta’wil
Zahir ialah “suatu lafaz yang
jelas dalalahnya yang menunjukkan kepada suatu arti asal tanpa memerlukan
faktor lain di luar lafaz itu. Seperti firman-Nya dalam QS. Al-Baqoroh:275: “Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Secara zahir ayat ini
menunjukkan halalnya jual beli dan haramnya riba.
Ta’wil ialah mengalihkan lafaz dari
makna zahirnya kepada makna yang mungkin baginya berdasarkan dalil, baik berupa
nash, qiyas, ijma’ maupun prinsip-prinsip umum bagi pembinaan hukum, sehingga
menjadi jelas. Seperti kata
“yadun” = tangan. Disamping mempunyai makna asal, yaitu tangan juga ada
kemungkinan makna lain, yaitu ‘kekuasaan’.
2. Masalah
yang Dapat Menerima Ta’wil
(1) Dalam masalah furu’ (cabang) para ulama
sepakat dapat menerima ta’wil.
(2) Dalam masalah ushul atau aqidah para ulama
berbeda pendapat:
a. Gol. Musyabbihah: masalah-masalah tersebut poin (2) tidak perlu
dita’wilkan, karena maknanya sudah jelas dan berlaku menurut makna zahir.
b.
Gol. Ulama Salaf: masalah ushul atau aqidah dapat menerima ta’wil, tetapi ta’wilnya
diserahkan kepada Allah.
c.
Gol. Ulama Khalaf: masalah-masalah tersebut menerima ta’wil.
Contoh: masalah ushul atau aqidah yang diperselisihkan
para ulama adalah firman Allah dalam QS. Al-Fath:10: “Yadullohi fauqo aidiihim”.(Tangan
Allah di atas tangan-tangan mereka).
* Menurut Gol. Musyabbihah, bahwa Allah mempunyai tangan seperti
tangan kita dan
mempunyai tubuh. Pendapat ini
jelas salah karena mempersamakan Allah dengan makhluk-
Nya.
* Menurut Ulama Salaf: yang dimaksud dengan tangan pada ayat
tersebut terserah kepada
Allah, sebab manusia tidak mungkin
mampu menjangkau zat Allah.
* Menurut Ulama Khalaf: yang dimaksud dengan tangan pada ayat
tersebut adalah
kekuasaan Allah.
3. Syarat-syarat Ta’wil
a. Ta’wil harus berdasarkan dalil syara’, baik nash Al-qur’an maupun
hadits, qiyas maupun jiwa syariah dan dasar-dasarnya yang umum.
b. Bila dalil tersebut berupa qiyas, maka qiyas tersebut harus jelas (qiyas
jali) dan bukan qiyas khafi.
c. Ta’wil harus sesuai dengan penggunaan bahasa dan kebiasaan syariat.
I. NASIKH DAN MANSUKH
1. Pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh
Nasakh menurut
bahasa berarti “membatalkan”. Menurut istilah “membatalkan pengamalan sesuatu
hukum syara’ dengan dalil yang datang kemudian”. Yang membatalkan disebut
“nasikh” dan yang dibatalkan disebut “mansukh”.
* Para ulama sepakat bahwa nasakh atau pembatalan hukum syara’ dalam qur’an
dan sunnah hanya terjadi pada zaman rasul masih hidup.
* Abu Muslim Al-Asfahany menyatakan tidak ada nasakh dalam ayat-ayat
Al-qur’an.
Contoh Nasakh:
antara lain tersebut dalam hadis berikut: “Sesungguhnya nabi berdiri
menghadap ke Baitul Maqdis dalam sholat selama 16 bulan, kemudian dinasakhkan
yang demikian itu dengan tuntutan menghadap ke Ka’bah”. (Bukhari Muslim).
2. Syarat-syarat Nasakh
a. Yang dinasakh itu hukum syara’ yang bukan diwajibkan karena zatnya,
seperti iman dan
bukan dilarang karena zatnya,
seperti kufur. Wajib iman dan haram kufur tidak mungkin
dinasakhkan dalam agama apapun.
b. Pembatalan itu hendaknya dengan hukum syara’. Jadi tidak berlakunya
hukum karena mati
bukanlah nasakh.
c. Bahwa nasikh itu harus terpisah dari mansukh dan yang datang
kemudian.
d. Yang dimansukh tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
e. Nasikh dan mansukh sama-sama kuat atau tingkatannya. Seperti ayat qur’an dengan
qur’an, hadis dengan hadis. Tidak
dapat terjadi ayat Al-qur’an dinasakh dengan hadis.
3. Contoh-contoh Nasikh dan Mansukh
a. Pada awalnya Rasul dan para sahabat jika sholat menghadap ke Baitul
Maqdis. Setelah
lebih kurang 16 bulan beliau
berada di Madinah turun ayat qura’an surat Al-baqoroh:144
yang memerintahkan agar
menghadapkan wajah ke masjidil Haram/Ka’bah pada saat
sedang sholat.
b. Menasakh QS. An-Nisa’:43 yang berisikan tidak boleh sholat dalam keadaan
mabuk
dengan QS. Al-Maidah:90 yang
berisikan perintah menjauhi minuman keras secara total
(haram).
c. Menasakh QS. An-Nisa’:15-16 yang berisikan tentang hukum kurungan bagi
pezina
dengan QS. An-Nuur:2 yang berisikan hukuman jilid bagi pezina.
0 Response to "KETENTUAN ISLAM TENTANG PEMERINTAHAN (KHILAFAH)"
Post a Comment