WAKALAH, WADHI’AH, DAN ‘ARIYAH
Diajukan
sebagai tugas mata kuliah :
Fiqh Muamalat
Dosen
Pengampu:
Dr.
H. M. A. Muhaimin Zein
Oleh:
Syaikhu
NIM:1112043100005
Amri
NIM:1112043100007
Muhammad Arief Putra
NIM:1112043100003
Abdur Rahim
NIM : 1112043100018
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435
H/2014 M
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehidupan
manusia di dunia diliputi dengan berbagi problematika yang rumit. Islam datang
sejak seribu lima ratus tahun silam sebagai cahaya yang menerangi gelapnya
kehidupan. Islam datang dengan prinsip rohmatan lil ‘alamin mampu
menjawab berbagai problematika kehidupan manusia. Ulama telah membagi disiplin
ilmu dari ajaran Islam. Salah satu disiplin ilmu yang tercetus adalah ilmu fiqh
yang berbicara panjang lebar dan terinci khusus tentang kehidupan manusia.
Wakalah,
Wadhi’ah dan ‘Ariyah
merupakan bab fiqh yang memberikan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat.
Sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan saling titip adalah bidang kehidupan yang
pasti terjadi di kehidupan masyarakat. Fiqh mengatur agar ketiga hal tersebut
tertata dengan baik dan menimbulkan kemaslahatan di dalam kehidupan masyarakat.
Indahnya
Islam yang sangat memperhatikan segala aspek kehidupan manusia. Ijarah,
‘ariyah dan wadi’ah adalah jawaban maslahah untuk problematika dalam
hal sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan saling menitipkan barang dengan orang
lain.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Wakalah, Wadhi’ah dan ‘Ariyah?
2.
Apa
rukun dan syarat dari Wakalah, Wadhi’ah dan ‘Ariyah?
A. WAKALAH
a.
DEFINISI
WAKALAH DAN DASAR HUKUMNYA
1. Definisi
Wakalah
Wakalah dalam arti bahasa berasal dari akar
kata:wakala yang sinonimnya: selama wa fawadha,artinya: menyerahkan. Wakalah
juga diartikan dengan: al-hifzhu,yang artinya: menjaga atau memelihara.
Wakalah
dalam arti istilah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
a. Menurut
Malikiyah
Wakalah
adalah penggantian oleh seseorang terhadap orang lain didalam haknya dimana ia
melakukan tindakan hokum seperti tindakanya,tanpa mengaitkan penggantian
tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian.
b. Menurut
Hanafiyah
Wakalah
adalah penempatan seseorang terhaap orang lain ditempat dirinya dalam suatu
tasarruf yang dibolehkan dan tertentu,dengan ketentuan bahwa orang yang
mewakilkan termasuk orang yang memiliki hak tasarruf.
c. Menurut
Safi’iyah
Wakalah
adalah penyerahan oleh seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang iya
berhak mengerjakanya dan sesuatu itu bias digantikan,untuk dikerjakanya pada
masa hidupnya.
d. Menurut
Hanabilah
Wakalah
adalah penggatian oleh seseorang yang dibolehkan melakukan tasarruf kepada
orang lain yang sama-sama dibolehkan melakukan tasarruf dalam
perbuatan-perbuatan yang bias digantikan baik berupa hak allah maupun hak
manusia.
Dari
depinisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami bahwa
secara substansi hamper tida ada perbedaan antara para ulama tersebut,yaitu wakalah adalah suatu akad dimana pihak
pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan yang
bias digantikan oleh orang lain pada masa hidupnya dengan syarat-syarat
tertentu.
2. Dasar
Hukum Wakalah
Wakalah
dibolehkan oleh islam karena sangat dibutuhkan oleh manusia.dalam kenyataan
hidup sehari-hari tidak semua orang mampu melaksanakan sendiri semua urusanya
sehingga diperlukan seseorang yang bias mewakilinya dalam menyelesaikan
urusanya.
Dasar hukum dibolehkanya
wakalah,antara lain tercantum dalam alquran:
a.
Surah
AL-Kahfi (18) ayat 19 yang menceritakan tentang kisah Ashabul Kahfi:
َكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ
قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ
ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ
بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا
فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Dan demikianlah Kami bangunkan
mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah
seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)".
Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari".
Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu
berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke
kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan
yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah
ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.
b. Surah Yusuf (12) ayat 55:
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ
عَلِيمٌ
Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan".
Dari
ayat yang pertama (QS.AL-Kahfi (18) ayat
19 dapat dipahami bahwa membuktikan mereka ( ashabul kahfi) telah tidur bertahun-tahun,mereka
mengutus satu orang (sebagai wakil) untuk pergi kekota dan membeli makanan
dengan uang yang mereka miliki.sedangkan dalam ayat yang kedua (QS.Yusuf (12)
ayat 55),nabi yusuf meminta untuk diberi kuasa guna menjadi bendahara
Negara.dengan demikian,dalam kedua ayat tersebut terdapat bentuk pemberian
kuasa atau wakalah
Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk
membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi.
عَنْ عُرْوَةَ البَارِقِيّ أَنَّ النَّبِيَّ
بَعَثَ مَعَهُ بِدِيْنَارٍ يَشْتَرِي لَهُ أُضْحِيَّةً فَاشْتَرَى لَهُ
اثْنَتَيْنِ فَبَاعَ وَاحِدَةً بِدِيْنَارٍ وَأَتَاهُ بِالأُخْرَى . فَدَعَالَهُ
بِالبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ فَكاَنَ لَوِ اشْتَرَى التُّراَبَ لَرِبَحَ فِيْهِ
Dari
'Urwah al-Bariqi bahwa Nabi SAW memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor
kambing. Maka dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut,
kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang
kepada Nabi SAW dengan seekor kambing. Kemudian beliau SAW mendoakan semoga
jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya
mendapat keuntungan pula. (HR. Ahmad dan At-tirmizy)
Dalam
hadis tersebut dijelaskan bahwa nabi
memberi kuasa kepada orang
sahabat untuk melakukan transaksi.dalam hadis nabi memberi kuasa kepada
urwah Al-bariqi untuk membeli sekor
kambing.dengan demikian wakalah atau pemberian
kuasa pernah dilaksanakan oleh nabi saw dan ini menunjukan bahwa wakalah
hukumnya dibolehkan.
Disamping
Alquran dan sunah,semua umat islam sepakat tentang dibolehkanya wakalah.bahkan
menurut Al-Qadhi Husain dan lainya,wakalah hukumnya mandub,berdasarkan firman
allah dalam surah Al-ma’idah (5) ayat 2:
وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى وَ
لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ
شَديدُ الْعِقابِ
Dan tolong- menolonglah kamu dalam (
mengerjakan ) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.( 2 )
b.
RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WAKALAH
1. Rukun Wakalah
Menurut
hanafiah,rukun wakalah hanya satu,yaitu sighat atau ijab dan qabul.sedangkan
jumhur ulama selain hanafiah berpendapat bahwa rukun wakalah ada empat,yaitu
a.
Muakkil
atau orang yang mewakilkan,
b.
Muakkal
atau wakil,
c.
Muakkal
fih atau perbuatan yang diwakilkan,dan
d.
Shighat
atau ijab dan qabul.
Untuk
terwujudnya wakalah tidak disyaratkan shidhat yang mencakup qabul dari
wakil.akan tetapi apabila wakil menolak maka wakalah tida jadi dilakukan.contoh
jika seorang mengatakan:jualkan barang saya ini lalu wakil diam saja,tetapi ia
menjual barang tersebut maka jual belinya hukumnya sah.akan tetapi, jika wakil
mengatakan saya tida mau,lalu ia menjual barang tersebut,maka jual belinya tida
sah,karena ia dengan tegas menyatakan penolakan.
2. Syarat-Syarat
Wakalah
a. Menurut
Hanafiah
Syarat wakalah
berkaitan dengan muwakkil,muwakkal (wakil), perbuata yang diwakilkan dan
shighat.
1. Syarat
muwakkil
Syarat untuk muwakkil
atau orang yang mewakilkan adalah:
Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan
sendiri perbuatan yang diwakikilkan kepada orang lain.apa bila muwakkil tida
boleh melakukan perbuatan tersebut,misalnya karena gila,atau masih dibawah
umur,maka wakalah hukumnya tida sah.
a)
Tasarruf
yang betul-betul merugikan seperti talak hibah,dan wasiat.dalam hal ini
tassarruf-nya tidak sah sama sekali,dan oleh karenanya tidak bias diwakilkan
kepada orang lain.
b)
Tasarruf
yang betul-betul menguntungkan,seperti menerima hibah,atau wasiat. Dalam hal
ini tasarruf-nya hukumnya sama walaupun tidak di-ijinkan oleh walinya,dan oleh
karenanya maka sah pula diwakilkan.
c)
Tasarruf
mungkin menguntungkan dan mungkin pula merugikan, misalnya melakukan jual beli
dan ijarah.dalam hal ini tasarrufnya hukumnya sah apabila di-ijinkan oleh
walinya dan oleh karenanya maka boleh diwakilkan.
2.
Syarat wakil
Syarat untuk wakil ada
dua macam,yaitu sebagai berikut:
a)
Orang
yang mewakili(wakil)harus orang yang berakal.dengan demikian,apa bila seorang
memberikan kuasa kepada orang gila atau anak dibawah umur yang tidak berakal maka wakalah tidak
sah.adapun balig dan mereka tidak menjadi syarat untuk wakil.
b)
Orang
yang mewakili(wakil) harus mengetahui tugas atau perkara yang diwakilkan
kepadanya.dengan demikian,apabila wakil tidak mengetahui perkara yang
ditugaskan kepadanya,maka wakalah-nya tidak sah.
3. Syarat
perkara yang diwakilkan (muwakkal fih)
Syarat perkara yang
diwakilkan adalah sebagai berikut.
a)
Perkara
yang diwakilkan bukan minta utang(istiqradh).dengan demikian,apabila perkara
tersebut berupa permintaan utang maka utang tersebut berlaku untuk wakil,bukan
untuk muwakkil.
b)
Perkara
yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had yang tidak disyaratkan
pengaduan,seperti had zina.dalam hal ini untuk membuktikan tindak pidana zina
tidak perlu adanya pengaduan,sehingga tidak sah untuk diwakilkan.
Selain perkara yang
disebutkan diatas,wakalah hukumanya sah.misalnya jual
beli,sewa-menyewa,nikah,talak,hibah,shadaqah,qhulu,shull(perdamaian),dan
sebagainya.
4. Syarat
yang berkaitan dengan shighat
Shigat wakalah terbagi
kepada dua bagian:
a)
Shighat
yang khusus
Shighat yang khusus
adalah shighat atau lafal yang menjukan pemberian kuasa dalam perkara yang
khusus.misalnya ucapan seorang muwakkil:saya wakil kepadamu untuk membeli rumah
ini.
b)
Shighat
yang umum
Shighat yang umum
adalah setiap lafal yang menunjukan pemberian kuasa dalam perkara yang
umum.misalnya ucapanseorang muwakkil:kamu adalah wakilku dalam segala sesuatu.
b. Menurut
Malikiyah
Ulama-ulama malikiyah
menyatakan bahwa syarat-syarat yang berkaitan dengan wakil dan muwakkil ada
tiga macam,yaitu sebagai berikut:
1)
Merdeka.dengan
demikian,wakalah tidak sah antara hamba dengan orang merdeka dan antara hamba
dengan hamba.
2)
Cerdas
(ar-rusyd).dengan demikian,wakalah tidak sah antara orang yang safih dan orang
yang cerdas atau antara safih dengan safih.
3)
Baligh(dewasa).dengan
demikian,wakalah tidak sah antara anak dibawah umur dan orang dewasa.dan antara
anak dibawah umur dengan anak dibawah umur,kecuali apa bila ia seorang wanita
yang masih kecil dan sudah menikah,dan ia ingin menggugatsuaminya atau
walinya.dalam hal ini wakalahnya bias diterima.
Adapun syarat-syarat
yang berkaitan dengan perkara yang diwakilkan(muakkal fih)hanya satu macam,
yaitu bahwa perkara-perkara tersebut harus berupa perkara yang diterima oleh
syara dan tidak boleh harus dilakukan sendiri.dengan demikian,seseorang boleh
mewakilkan kepada orang lain dalam akad jual beli,sewa-menyewa
nikah,,shulh(perdamaian),mhudharobah,musaqah,fasakh(pembatalan),talak,khulu,had
atau qhisash,dan lain-lain.
Akan tetapi,dalam masalah ibadah,seseorang tidak boleh
mewakilkan kepada orang lain,kecuali dalam ibadah Maliyah,seperti membayar
zakat,sedangkan dalam melaksanakan ibadah haji diperselisihkan.ada yang
mengatakan sah(boleh)diwakilkan da nada yang mengatakan tidak.
Adapun syarat shighat akad wakalah maka ada tiga masalah:
a)
Shighat
dilihat dari sisi orang yang mewakilkan (muwakkil)
b)
Shighat
dilihat dari sisi wakil,dan
c)
Shighat
dilihat dari sisi perkara yang diwakilkan (muwakkal fih).
Apabila dilihat dari
sisi muwakkil,maka disyaratkan shighat menunjukan arti wakalah menurut adat kebiasaan(urf), atau menurut
bahasa.apabila bahasa berbeda dengan urf,maka yang di gunakan adalah urf.akan
tetapi,untuk shighat ini tidak ada syarat tertentu sehingga boleh saja
redaksinya:saya meakilkan kepadamu”atau’engkau mewakili saya;atau lakukan
tindakan hokum untuk saya.
Apabila dilihat dari
sisi perkara yang diakilkan(muwakkal fih),maka shighat disyaratkan harus
menunjukan bahwa perkara yang diwakilkan itu disebutkan dengan jelas,baik
wakalah tersebut sifatnya umum atau khusus.apa bila perkara yang diwakilkan itu
tidak jelas dan tidak ada qorinah yang
menunjukan kepada perkara itu, maka wakalah hukumnya tidak sah.
c. Menurut
syafi’iyah
Ulama –ulama syafi’iyah
berpendapat bahwa orang yang mewakilkan (muwakkil) harus memiliki kecakapan
untuk melakukan pekerjaan yang akan diwakilkan kepada orang lain,dengan
demikian apabila pekerjaan tersebut dilakukan sendiri maka hukumnya sah.apa
bila ia tidak memiliki kecakapan tersebut maka wakalahnya tidak sah.contoh
wakalah yang tidak sah karena muwakkil tidak memiliki kecakapan (ahliyah)atau
kekuasaan (wilayah)sebagai berikut:
1)
Anak
yang masih dibawah umur,
2)
Orang
gila,
3)
Orang
yang mabuk karena ulahnya sendiri,
4)
Orang
yang mahjur’alaih karena boros,
5)
Orang
yang sedang ihram dalam kaitan dengan akad nikah,dan
6)
Orang
yang fasiq dalam mengawinkan anak perempuanya.
Dengan demikian,pedoman
yang digunakan dalam hal ini adalah
Setiap perbuatan yang
dibolehkan untuk dilakukan sendiri boleh
pula diwakilkan kepada orang lain,dan sebaliknya,setiap perbuatan yang tidak
boleh dilakukan sendiri tidak boleh pula diwakilkan kepada orang lain.
Pedoman yang disebutkan diatas merupakan pedoman umum yang
dalam realisinya terdapat beberapa pengecualian.pengecualian dari pedoman
bagian dari pertama antara lain:
1)
Apabila
seorang mempunyai hak untuk menempati sebuah rumah yang terkunci dan ia tidak
bias masuk kedalam rumah tersebut kecuali dengan membongkar pintunya,maka dalam
hal ini boleh melakukanya sendiri,tetapi ia tidak boleh mewakilkanya kepada
orang lain.kecuali kalau ia tidak mampu membongkarnya sendiri,maka dalam hal
ini ia boleh mewakilkanya kepada orang lain
2)
Seorang
pemboros(safih)yang mahjur’alaih,apabila diijinkan oleh walinya untuk menikah,maka
ia boleh melakukanya akadnya sendiri,tetapi ia tidak boleh mewakilkanya kepada
orang lain.
3)
Seorang
wakil yang mampu melaksanakan perkara yang diwakilkan kepadanya,ia boleh
melakukan sendiri perkara tersebut,tetapi tidak boleh mewakilkanya lagi kepada
orang lain,kecuali apa bila ia tida mampu melakukanya.
Adapun syarat-syarat untuk muwakkal fih(perkara yang
diwakilkan)adalah sebagai berikut:
1)
Perkara
yang diwakilkan harus disebutkan dengan jelas.apa bila perkara tersebut tidak
jelas sama sekali maka wakalah tidak sah.contoh perkara yang tidak jelas:saya
wakilkan kepadamu dalam semua urusan saya.contoh perkara yang jelas:saya
wakilkan kepadamu untuk menjualkan harta saya
2)
Perkara
tersebut bias digantikan.perkara tersebut meliputi penetapan akad atau membatalkan,seperti
jual beli,hibah,wasiat,hiwalah,dan lain-lainya.adapun perkara ibadah sebagian
ada yang bias diwakilkan dan sebagian lagi tidak bias.untuk ibada badaniah
mahdah,seperti shalat dan puasa,tidak bias digantikan/diwakilkan. Sedangkan
ibadah maliah mahdah seperti zakat,atau ibadah Maliyah badaniyah seperti haji
dan umrah serta pengurusa jenazah,boleh diwakilkan kepada orang lain.
3)
Muwakkal
fih (perkara yang diwakilkan) diwakili oleh muwakkil.apabila perkara tersebut
belum dimiliki oleh muwakkil,seperti menalak seorang wanita yang baru akan
dinikahi,maka wakalah tersebut tidak sah.ada pun shighat akad bias digunakan
setiap lafal (kata) yang menunjukan pemberian kuasa dari salah satu pihak
(muwakkil) dan tidak ada penolakan dari pihak lainya (wakil).
Akan tetapi ,wakil disyaratkan harus
menyatakan qabul (terima) dalam dua kasus berikut.
1)
Apabila
seorang memiliki suatu benda,misalnya rumah,tetapi benda tersebut ada ditangan
orang lain karena ijarah atau iarah,kemudian ia menghibahkan barang tersebut kepada
orang lain dan orang lain tersebut mewakilkan kepada oemegang barang untuk
menerimanya, maka wakalah dalam kasus ini tida sah kecuali pemegang barang
tersebut menerimanya dengan perkataan.hal tersebut dikarenakan apabila tida ada
pernyataan penerimaan sebagai wakil penerima hibah,maka itu bias diartikan
ijarah atau iarah masih terus berlangsung
2)
Wakalah
dengan system ju’alah (imbalan).apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain
untuk membeli sebidang tanah dan ia akan
diberi imbalan sekian rupiah, maka dalam kasus ini wakil harus menyatakan qabul
(terima) dengan lafal (perkataan),karena wakalah dengan model ini termasuk
ijarah.
d. Menurut
Hanabilah
Ulama-Ulama hanabilah
mensyaratkan bahwa orang yang mewakilkan (muwakkil) harus mampu melakukan
tasarruf dalam perkara yang akan diwakilkan kepada orang lain.hal ini
dikarenaka seseorang yang tida sah melakukan sendiri tasarruf-nya,tida ada
diwakili oleh orang lain.
Namun demikian,ada
beberapa pengecualian dalam keadaan yang syifatnya darurat,antara lain sebagai
berikut:
1)
Muwakkili
adalah orang yang buta yang dilarang menggunakan tasarruf dalam akad-akad yang objeknya perlu
dilihat,seperti jual beli,dan ijarah, tetapi ia dibolehkan mewakilinya kepada
orang lain.orang ghaib disamakan dengan orang yang buta.ia dibolehkan
mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan akad jual beli atau ijarah
(sewa-menyewa),walaupun ia sendiri tidak dibolehkan melakukanya,karena ia tidak
melihat barang yang dibelinya.
2)
Seorang
wanita dibolehkan mewakili orang lain dalam menjatuhkan talaknya, sementara ia
(wanita) tidak boleh menjatuhkan talaknya sendiri.
Aadapun muwakkal fih
(perkara yang diwakilkan) meliputi semua hak manusia yng berkaitan dengan
akad,seperti jual beli,sewa-menyewa,mudhrabah,qardh (utang
piutang),pembebasan,talak,rujuk,hiwalah,gadai,syirkah,dan lain-lainya.demikian
pula penguasaan pemilikan benda-benda mubah,seperti berburu,mengambil kayu
bakar,dan membuka seperti zhihar,sampah,li’an,nadzar dan semacamnya.wakalah
hukumnya tidak sah.adapun tindakan yang berkaitan dengan hak allah,sebagai ada
yang tidak bias digantikan,yaitu ibadah badaniyah mahdah,seperti shalat,puasa
dan bersuci,dan sebagian lagi ada yang bias digantikan(diwakili),yaitu ibadah
maliah mahdah dan ibadah yang terdiri atas Maliyah dan badaniyah. Yang pertama
seperti shodaqoh,zakat,dan kifarat.
Adapun shighat akad
dalam wakalah melifuti smua lafal yng menunjukan persetujuan untuk melakukan
tasarruf,seperti saya wakilkan kepadamu,atau saya serahkan kepadamu untuk
melakukan pekerjaan anu’sedangkan shifhat qabul(penerimaan).dan tidak
disyaratkan wakil harus mengetahui tentang tugas wakalah.demikian pula qabul
tidak disyaratkan harus kontan
c.
BERAKHIRNYA
AKAD WAKALAH
Akad wakalah berakhir
karena beberapa hal berikut:
1.
Meninggalnya
salah seorang dari orang yang melakukan akad,atau gila.hal tersebut dikarenakan
di antara syarat-syarat wakalah adalah pelaku harus hidup dan berakal.
2.
Telah
selesainya pekerjaan yang dimaksudkan dengan wakalah.
3.
Pemecatan
oleh muwakkil terhadap wakil walaupun ia (wakil) tida mengetahuinya.ini menurut
syafi’iyah dan Hanabilah.menurut hanafiyah wakil harus mengetahui tentang
pemecatan dirinya.dengan demikian,tasarruf wakil sebelum tahu tentang pemecatan dirinya hukumanya sama dengan
tasarruf-nya sebelum dipecat,yakni sah.
4.
Wakil
mengundurkan diri dari tugas wakalah.dalam hal ini mewakili tidak perlu tahu
tentang pengunduran dirinya itu.
5.
Perkara
yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan si muwakkil
Demikian beberapa uraian tentang wakalah
yang meliputi pengertian dan dasar hukumnya,rukun dan syaratnya,serta, hal-hal
yang berakhirnya akad wakalah.
B. WADHI’AH
a. PENGERTIAN WADHI’AH DAN DASAR
HUKUMNYA
1.
Pengertian Wadhi’ah
Wadhi’ah berasal dari kata wada’a, yang
sinonimnya taraka. artinya,
meninggalkan. Sesuatu yang dititipkan seseorang kepada orang lain untuk dijaga
dinamakan wadhi’ah, karena sesuatu
(barang) tersebut ditinggalkan di sisi orang yang dititipi.
Menurut
istilah syara’ whadi’ah digunakan untuk arti titipan dan untuk benda yang di titipkan.
a.
Menurut ulama Hanafiyah
Wadhi’ah menurut syara’ adalah pemberian
kuasa oleh seseorang kepada seseorang lain untuk menjaga hartanya. Baik dengan
lafal yang tegas (sharih), atau lafal yang tersirat (dilalah).
b.
Menurut ulama Malikiyah
Malikiyah menyatakan bahwa wadhi’ah meiliki 2 arti, (1) dalam artian titiopan
dan (2) dalam artian, sesuatu yang dititipkan. Dalam artian barang titipan
memiliki 2 definisi.
-
Definisi pertama sebagai berikut
Sesungguhnya
wadhi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemberian kuasa khusus untuk menjaga
harta.
-
Definisi kedua sebagai berikut
Sesunguhnya wadhi’ah adalah suatu ungkapan
tentang pemindahan semata-mata menjaga sesuatu yang dimiliki yang bisa
dipindahkan kepada orang yang dititipi. (Al-Muda).
Dalam definisi yang pertama,
Malikiyah memasukkan akad wadhi’ah sebagai salah satu akad wakalah (pemberian
kuasa), hanya saja wakalah hanya khusus menjaga harta benda saja, tidak untuk
tasarruf yang lain. Oleh karena itu, wakalah dalam jual beli tidak termasuk
wadhi’ah. Demikian pula titipan yang bukan harta benda, seperti menitipkan
bayi, tidak termasuk wadhi’ah. Sedangkan dalam definisi kedua wadhi’ah
dimasukkan kedalam akad pemindahan tugas menjaga harta benda dari si pemilik
kepada orang lain, tanpa tasarruf.
Dengan demikian, pemindahan hak milik kepada orang lain, degan melalui
transaksi, seperti jual beli, gadai, ijarah, dan lain-lain tidak termasuk
wadhi’ah.
Adapun definisi wadhi’ah dalam arti
barang yang dititipkan adalah sebagai berikut.
Wadhi’ah adalah ungkapan (istilah ) tentang sesuatu
yang dimiliki yang penjagaanya secara khusus dipindahkan kepada orang yang
dititipi.
c.
Menurut ulam Syafi’iyah sebagai berikut
Wadhi’ah dengan arti penitipan adalah suatu yang
menghendaki (bertujuan) untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
d.
Menurut ulam Hanabilan sebagai berikut
Wadhi’ah dalam arti penitipan adalah pemberian kuasa
untuk menjaga (barang) dengan sukarela(tabarru’)
Dari definisi definisi yang dikemukakan oleh ulama ulama tersebut dapat
di ambil kesimpulan bahwa Wadhi’ah
adalah suatu akan yang di sepakati oleh 2 orang atau 2 belah pihak, dimana
pihak pertama memberikan tugas dan kuasa untuk menjaga barang yang dimilikinya
kepada pihak lain, tanpa imbalan. Barang yang dititipkan itu tetap harus dijaga
dengan baik walaupun tanpa imbalan.
2. Dasar Hukum Wadhi’ah
Wadhi’ah
adalah suatu akad yang diperbolehkan oleh syara berdasarkan Al-Qur’an, sunnah,
dan ijma’.
Dalam
Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283 yang artinya :
Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa Wadhi’ah adalah amanat yang ada ditangan
orang orang yang dititipi (muda) yang harus dijaga dan dipelihara. Dan jika
diminta oleh pemiliknya maka wajib untuk memberikannya.
Di samping dalam
ayat Al-Qur’an, Wadhi’ah juga
dijelaskan di dalam hadist Nabi Muhammad SAW
(عن
ابى هريرة قال: قال النبي صلى اللهم عليه وسلم اد الامانة الى من ائتمنك ولاتخن من
خانك)
Dari Abi
Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah bersabda : tunaikanlah amanah kepada orang
yang mempercayakan (minitipkan) kepadamu dan janganlah engkau khiata kepada
orang yang mengkhianatimu. (H.R At-tirmidzi dan Abu Daud dan ia juga
menghasankannya, dan hadis ini juga dishahihkan oleh hakim).
Hadirst tersebut menjelaskan bahwa
amanah harus diberikan kepada orang yang mempercayakannya. Dengan demikian,
amanah adalah titipin atau wadhi’ah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Di samping Al-Qur’an dan Hadist,
umat islam dari dahulu sampai sekarang juga melakukan penitipan barang kepada
orang lain, tanpa adanya pengingkaran terhadap pemiliknya. Itu menunjukan bahwa
umat islam setuju bahwa Wadhi’ah itu
hukumnya boleh dilakukan.
Kemudian
berdasarkan fatwa dewan syari’ah nasional (DSN) No:01/DSN-MUI/IV/2000.
Menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari;ah yaitu giro yang
berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga
tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan fatwa DSN
No:02//DSN-MUI/IV/2000. Menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu
tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’i
Dan dalam makalah ini akan sedikit pembahasan
tentang giro wadiah dan tabunga
b. RUKUN DAN
SYARAT WADHI’AH
1. Rukun Wadhi’ah
Menurut Hanafiyah rukun Wadhi’ah hanya 1 yaitu ijab dan qabul,
sedangkan menurut jumhur ulama rukun Wadhi’ah
ada empat, yaitu ;
a.
Benda
yang dititipkan
b.
Sighat
c.
Orang
yang menitipkan (Al-mudi)
d.
Orang
yang dititipkan (Al-muda)
2. Syarat Wadhi’ah
Syarat Wadhi’ah berkaitan dengan rukun di atas, yaitu syarat benda yang
dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkan dan syarat orang yang
dititipkan.
1)
Syarat
barang yang dititipkan
Syarat
barang sebagai berikut :
-
Barang
yang dititipkan haruslah barang yang dapat disimpan. Jiks barang yang
dititipkan tidak bias disimpan seperti burung di udara atau benda didalam air,
maka Wadhi’ah nya tidak sah, dan
tidak wajib menggantinya. Syarat tersebut merupakn pendapat ulama hanafiyah.
-
Menurut
/syafi’iyah dan hanabilah mensyaratkan bahwa benda yang dititipkan adalah benda
yang bernilai(qimah) dan dipandang sebagai mal,
walaupun najis. Seperti anjing yang bias digunakan untuk berburu atau menjaga
keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang
tidak bias melakukan apa apa dan tidak bermanfaat maka Wadhi’ah tidaklah sah.
2)
Syarat
Sighat
Sighat
akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat harus dinyatakan dengan perkataan dan
perbuatan. Ucapan ada kalanya tegas (sarih) adakalanya sindiran (kinayah)
3)
Syarat
orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
Syarat
syarat nya sebagai berikut
A.
Berakal,
dengan demikian orang gila tidak sah dalam hal Wadhi’ah ini.
B.
Baligh.
Syarat ini dikemukakan oleh kalangan Safi’iyah yang menggap anak anak dibawah
umur tidak sah melaksanak Wadhi’ah.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, baligh bukan merupakan syarat, sehingga anak
di bawah umur tetap sah melakukan Wadhi’ah
dengan persetujuan orang tua atau walinya. Sedangkan kalangan Malikiyah
berpendapat syarat Al-Mudi’ sebagai berikut
-
Berakal
-
Baligh
-
Cerdas
4)
Syarat
orang yang dititipkan (Al-Muda’)
-
Berakal
-
Baligh,
merupakan syarat dari jumhur ulama kecuali Hanafiyah.
-
Malikiyah
mensyaratkan bahwa Al-Muda’ adalah orang yang diduga kuat dapat menjaga barang
titipan tersebut.
c. STATUS WADHI’AH
Jumhur ulama sepakat bahwa Wadhi’ah termasuk dalam qurbah (proses pendekatan diri kepada Allah
SWT) yang di anjurkan (disunnahkan). Dan dalam menjaga barang yang dititipkan
tersebut kita diganjar dengan pahala. Barang tersebut semata-mata merupakan
amanah (kepercayaan) bukan merupakan madmumah (gant rugi), sehingga orang yang
dititipin tidak dibebani dengan ganti rugi, kecuali jika berlebihan (ta’addi)
atau teledor (taqhsir). Pengembalian barang titipan harus diserahkan langsung
kepada pemilik barang, tidak boleh siapapun meskipun pihak keluarga, karena
jika hilang saat di serahkan kepada keluarga pemilik barang, maka penyewa atau
orang yang dititipi harus mengganti barangnya.
d. PERUBAHAN
DARI AMANAH KEPADA TANGGUNGAN (DHAMMAN)
Status amanah dapat berubah menjadi tanggungan jika
:
-
Orang
yang dititipi tidak menjaga barang titipan dengan baik.
-
Orang
yang dititipi tanpa udzur menitipkan barang titipan kepada orang lain selain
keluarga yang dimana ia melakukannya tanpa udzur. Jika barang hilang, maka ia
wajib menggantinya.
-
Orang
yang dititipi menggunakan barang titipan sehingga rusak.
-
Barang
titipan di bawa berpergian. Itu menurut Syafi’I dan hambali. Namu menurut
Hanafi boleh di bawa berpergian tergantung akkad Wadhi’ah itu sendiri.
-
Mengingkari
Wadhi’ah
-
Bercampurnya
barang titipan dengan barang lain.
-
Penyimpangan
terhadap syarat syarat yang di tetapkan oleh Al-Mudi dalam menjaga barang
titipan tersebut.misalnya tempat yang membuat ulama berbeda pendapat
a.
Menurut
Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafi’iuah membolehkan jika tempat setelahnya sama
amannya atau bahkan lebih aman.
b.
Menurut
Hanabilah tidak boleh karena sudah melanggar perjanjiannya baik tempat nya sama
amannya maupun lebih.
C. ARIYAH
a.
PENGERTIAN ‘ARIYAH DAN DASAR
HUKUMNYA
1.
Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah atau
dalam istilah Wahbah Zuhaili. Wahbauhaili mengemukakan bahwa lafal ‘ariyah adalah
nama bagi sesuatu yang dipinjami, diambil dari kata a’ra yang sinonimnya : dzahaba
waja’a artinya pergi dan datang. Iman jauhari yang dikutip oleh Wahbah
Zuhaili mengatakan bahwa ‘ariyah dinisbahkan kepada lafa ‘ara (malu),
karena sesungguhnya dalam mencari pinjaman tersenut ada rasa malu dan aib.
Tetapi pendapat tersebut disanggah, karena dalam kenyataannya Rasulullah pernah
melakukannya.
Menurut
istilah, definisi ‘ariyah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
a.
Ulama
Hanafiah memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
Menurut
syara ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
b.
Malikiyah memberikan definisi ‘ariyah sebagai
berikut :
Sesungguhnya
‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang berifat sementara tanpa
disertai dengan imbalan.
c.
Syafi’yah
memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
Hakikat
‘ariyah menurut syara’ adalah diperbolehkannya mengambil manfaat dari orang
yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang
diperbolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan
kepada orang yang memberikannya.
d.
Hanabilah
memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
I’arah
adalah kebolahan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang
memberi pinjaman atau lainnya.
Dari
definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebutr dapat dipahami bahwa
pada dasarnya para uloama tersebut pendapatnya hampir sama, bahwa ‘ariyah
atau i’arah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang
diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut
tetap utuh dan pada saat harus dikembalikan kepada pemiliknya.
2.
Dasar Hukum ‘Ariyah
‘Ariyah merupakan
perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalil Al-Quran sebgai berikut :
a.
Surah Al-Maidah (5) ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ
اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosan dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu
kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
b.
Surah
Al-Maun (107) ayat 7 :
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.
Selain mandub atau sunanah, hukum ‘ariyah bisa
berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi.
b. RUKUN DAN SYARAT ‘ARIYAH
1.
Rukun
‘Ariyah
Menurut
ulama Hanafiah, rukun ‘ariyah hanya satu, yaitu ijab dari orang
yang meminjamkan (al-mu’ir), sedangkan qabul dari orang yanhg meminjam (al-musta’ir) menurut jumhur ulama Hanafiah
yang menggunakan istihsan, bukan meruapakn rukun. Akan tetapi, Iman
Zufar yang menggunakan qiyas berpendapat bahwa qabul juga termasuk rukun ‘ariyah, seperti
halnya dalam hibah.
Jumhur
ulama termask Syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah itu ada empat,
yaitu :
a.
Orang
yang meminjamkan (mu’ir)
b.
Orang
yang memunjam (musta’ir)
c.
Barang
yang dipinjamkan (mu’ar), dan
d.
Shighat.
2.
Syarat-syarat
‘Ariyah
Syarat-syarat ‘ariyah
berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang
meminjamkan, orang yang meminjam, barang yang dipinjam, dan shigsat.
a.
Syarat-syarat
Orang yang Meminjamkan
Orang yang meminjamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk
melakukan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi :
·
Baligh
·
Berakal
·
Tidak
mahjur ‘alaih
·
Orang
yang meminjamkan harus pemilim atas manfaat yang akan dipinjamkna.
b.
Syarat-syarat
Orang yang Meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·
Orang
yang meminjam harus jelas.
·
Orang
yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memilki ahliyatul ada’.
c.
Syarat-syarat
Orang yang Dioinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :
·
Barang
tersebut bisa diambil manfaatnya, yaitu manfaat murni yang bukan benda, seperti
menepati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya. Dan manfaat yang diambil
dari benda yang dipinjami, seperti susu kambing, buah dari pohon, dan
lain-lain.
·
Barang
yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah.
·
Barang
yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh.
d.
Shighat
Shigthat ‘ariyah disyaratkan harus menggunakan lafal yang
berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barnag yand dimilki
oleh orang yang meminjamkan (mu’ir), baik lafal tersebut timbul dari peminjam
atau dari orang yang meminjamkan.
c. KETENTUAN HUKUM DAN AKAD ‘ARIYAH
1.
Asal
Ketentuan Hukum ‘Ariyah
Istilah ‘ariyah
digunakan untuk arti hakiki (sebenarnya) dan arti majazi (kiasan). Dalam arti hakiki ‘ariyah adalah
meminjamkan benda untuk diambil manfaatnya, sedangkan bendanya masih tetap
utuh.
Penggunaan
lafal ‘ariyah untuk arti majaz (kiasan) adalah oeminjaman atas
barang-barang yang ditimbang, ditakar dan dihitung, seperti telur dan semua
barang yang tidak mungkin diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya,
seperti peminjaman uang dirham dan dinar. Secara hakiki I’arah (peminjaman)
tersebut berarti utang (qardh). Dengan demikian kasus semacam ini i’arah
bukan diartikan dengan arti sebenarnya melainkan dalam arti kiasan, yaitu
utang piutang. Ketentuan berlaku dalam hal ini bukan pengembalian barang
melainkan penggantian dengan barang yang sama (mitsli) atau dengan
harganya (qimi).
2.
Hak
Pemanfaatan ‘Ariyah
Orang yang
meminjam memilki hak untuk memanfaatkan ‘ariyah (barang yang
dipinjamnya) sesuai dengan izin yang diberikan oleh pemilik barang. Pendapat
ini dikemukajan oleh jumhur ulama selain Hanafiah. Sedangkan menurut ulama
Hanafiah, hak pemanfaatan yang diberikan kepada peminjam berdasarkan akad I’arah
berbeda-beda tergantung macam ‘ariyah-nya apakah mutlak atau muqayyad.
I’arah mutlah terjadi apabila seseorang meminjam sesuatu kepada orang lain
tanpa menjelaskna dalam akadnya apakah barang yang dipinjamnya digunakan oleh
peminjam sendiri atau orang lain, dan tidka dijelaskan pula cara-cara
penggunaannya.
I’arah
muqayyadah terjadi apabila
seseorang meminjam sesuatu dari orang lain, dengan dibatasi waktu dan
pemanfaatannya bersama-sama atau salah satunya. Dalam hal ini, pembatasan
tersebut sedapat mungkin harus diperhatikan, kecuali apabila pembatasan
tersebut sama sekali tidak ada faedahnya.
3.
Sifat
Hukum I’arah
Menurut
Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah hak milik yang diperboleh peminjaman adalah
hak milki yang ghair lazim (tidak mengikat). Hal tersebut dikarenakan
hak milik tersebut diperbolehkan tanpa imbalan.
Menurut
pendapat yang masyhur dan Malikiyah orang yang meminjamkan tidka diperbolehkan
meminta kembali ‘ariyah-nya, sebelum barang datang tersebut dimanfaatkan
oleh peminjam. Apabila ‘ariyah-nya dibatasi waktunya, maka orang yang
meminjamkan tidak boleh menarik kembali ‘ariyah-nya kecuali setelah
masanya habis. Apabila ‘ariyah –nya tidak dibatasi waktunya, maka orang
yang meminjamkan harus memberikan kesempatan dalam waktu yang memadai untuk ‘ariyah
semacam itu. Akan tetapi, menurut pendapat Iman Ad-Dardir pendapat yang rajih,
orang yang meminjamkan boleh menarik kembali ‘ariyah –nya apabila ‘ariyah-nya
mutlak.
d. STATUS ‘ARIYAH
Menurut
Hanafiah, barang yang dipinjam merupakan amanah ditangan orang yang meminajm
(musta’ir), baik ketika digunakan maupun tidka digunakan. Peminjam tidak
dibebani ganti kerugian, kecuali apabila ia mendapati batas atau teledor.
Menurut
Malikiyah, peminjam dibebani ganti rugi di dalam barang-barang yang mungkin
dirahasiakan, seperti pakaian dan perhiasan, apabila pada saat hilang atau
rusak tidak ada sakri. Sedangkan untuk
benda-benda yang tidak mungkin dirahasiakan seperti binatang dan benda tetap,
dan didalam barang-barang yang pada saat hilang atau rusak ada saksi, peminjam
tidak dibebani ganti rugi. Alasan Malikiyah adalah mengkompromikan antara hadis
Shafwan dmana Nabi menyatakan wajib mengganti, dan hadis Amr bin Syu’aib yang
tidak wajib mengganti.
Menurut
pendapat yang paling Shahih dari ulama Syafi’iyah, peminjam dibebani ganti
rugi, apabila kerusakan karena penggunaan yang tidak disetujui oleh orang yang
meminjamkan, meskipun tidak ada unsur kelalain. Pendapat ini didasarkan pada
hadis Nabi.
Hanabilah
sama pendapatnya dengan Syafi’iyah, yaitu bahwa peminjam dibebani ganti rugi
secara mutlak, baik penggunaannya melampaui batas atau tidak, baik ia lalai
atau tidak. Dasarnya adalah hadis Nabi melalui Shafwan yang telah disebut
diatas.
e. PERUBAHAN STATUS ‘ARIYAH DARI
AMANHA KEPADA DHAMAN
Menurut
Hanafiah status ‘ariyah dapat berubah dari amanah kepada dhaman
(tanggungan) karena beberapa sebab yang telah dikemukakan dalam wadi’ah antara
lain sebagai berikut :
a.
Ditelantarkan
b.
Tidak
dijaga dengan baik.
c.
Menggunakan
barang yang dipinjam yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut
adat kebiasaan.
d.
Menyalahi
cara menjaga barang yang disepakati.
Demikian
beberapa uraian tentang ‘ariyah yang meliputu pengertian dan dasar
hukumnya, rukun dan syarat-syaratnya, ketentuan hukumnya, statusnya, serta
perubahan status ‘ariyah dari amanah kepada dharman.
PENUTUP
Wakalah,
Wadhi’ah, dan ‘Ariyah merupakan
kejadian fiqh yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila syarat
dan rukunnya diperhatikan serta dilakukan dengan baik maka akan membuat nyaman
dan menguntungkan. Baik antara pihak pertama dengan pihak kedua. Wakalah,
Wadhi’ah, dan ‘Ariyah merupakan
solusi tepat dari Islam untuk meringankan jalannya kehidupan manusia. Ketiga
kejadian fiqh tersebut juga mengandung pahala dari Allah bila dilaksanakan
dengan penuh amanah, begitu pula sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Mu’amalat.
Jakarta: Amzah
Al Aziz S, Ust. Drs. Moh. Saifulloh. 2005. Fiqh Islam
lengkap. Surabaya: Terbit Terang
0 Response to "makalah Fikih Mu'amalat tentang Wakalah, Wadhi'ah, dan 'Ariyah"
Post a Comment