laman

makalah Fikih Mu'amalat tentang Wakalah, Wadhi'ah, dan 'Ariyah

WAKALAH, WADHI’AH, DAN ‘ARIYAH

Diajukan sebagai tugas mata kuliah :
Fiqh Muamalat

Dosen Pengampu:
Dr. H. M. A. Muhaimin Zein



Description: D:\UIN\LAMBANG UIN.jpg
Oleh:

Syaikhu
NIM:1112043100005
Amri
NIM:11120431000
07
Muhammad Arief Putra
NIM:111204310000
3
Abdur Rahim
NIM : 1112043100018

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kehidupan manusia di dunia diliputi dengan berbagi problematika yang rumit. Islam datang sejak seribu lima ratus tahun silam sebagai cahaya yang menerangi gelapnya kehidupan. Islam datang dengan prinsip rohmatan lil ‘alamin mampu menjawab berbagai problematika kehidupan manusia. Ulama telah membagi disiplin ilmu dari ajaran Islam. Salah satu disiplin ilmu yang tercetus adalah ilmu fiqh yang berbicara panjang lebar dan terinci khusus tentang kehidupan manusia.

Wakalah, Wadhi’ah dan ‘Ariyah merupakan bab fiqh yang memberikan rasa aman dalam kehidupan bermasyarakat. Sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan saling titip adalah bidang kehidupan yang pasti terjadi di kehidupan masyarakat. Fiqh mengatur agar ketiga hal tersebut tertata dengan baik dan menimbulkan kemaslahatan di dalam kehidupan masyarakat.
Indahnya Islam yang sangat memperhatikan segala aspek kehidupan manusia. Ijarah, ‘ariyah dan wadi’ah adalah jawaban maslahah untuk problematika dalam hal sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan saling menitipkan barang dengan orang lain.
Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Wakalah, Wadhi’ah dan ‘Ariyah?
2.      Apa rukun dan syarat dari Wakalah, Wadhi’ah dan ‘Ariyah?

























A.   WAKALAH

a.     DEFINISI WAKALAH DAN DASAR HUKUMNYA

1.      Definisi Wakalah
Wakalah dalam arti bahasa berasal dari akar kata:wakala yang sinonimnya: selama wa fawadha,artinya: menyerahkan. Wakalah juga diartikan dengan: al-hifzhu,yang artinya: menjaga atau memelihara.
      Wakalah dalam arti istilah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
a.      Menurut Malikiyah
Wakalah adalah penggantian oleh seseorang terhadap orang lain didalam haknya dimana ia melakukan tindakan hokum seperti tindakanya,tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian.

b.      Menurut Hanafiyah
Wakalah adalah penempatan seseorang terhaap orang lain ditempat dirinya dalam suatu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu,dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan termasuk orang yang memiliki hak tasarruf.

c.       Menurut Safi’iyah
Wakalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang iya berhak mengerjakanya dan sesuatu itu bias digantikan,untuk dikerjakanya pada masa hidupnya.

d.      Menurut Hanabilah
Wakalah adalah penggatian oleh seseorang yang dibolehkan melakukan tasarruf kepada orang lain yang sama-sama dibolehkan melakukan tasarruf dalam perbuatan-perbuatan yang bias digantikan baik berupa hak allah maupun hak manusia.
            Dari depinisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebut dapat dipahami bahwa secara substansi hamper tida ada perbedaan antara para ulama tersebut,yaitu wakalah adalah suatu akad dimana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan yang bias digantikan oleh orang lain pada masa hidupnya dengan syarat-syarat tertentu.
2.      Dasar Hukum Wakalah
Wakalah dibolehkan oleh islam karena sangat dibutuhkan oleh manusia.dalam kenyataan hidup sehari-hari tidak semua orang mampu melaksanakan sendiri semua urusanya sehingga diperlukan seseorang yang bias mewakilinya dalam menyelesaikan urusanya.
            Dasar hukum dibolehkanya wakalah,antara lain tercantum dalam alquran:

a.       Surah AL-Kahfi (18) ayat 19 yang menceritakan tentang kisah Ashabul Kahfi:

َكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.

b.      Surah Yusuf (12) ayat 55:  

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan". 
            Dari ayat yang pertama  (QS.AL-Kahfi (18) ayat 19 dapat dipahami bahwa membuktikan mereka ( ashabul kahfi) telah tidur bertahun-tahun,mereka mengutus satu orang (sebagai wakil) untuk pergi kekota dan membeli makanan dengan uang yang mereka miliki.sedangkan dalam ayat yang kedua (QS.Yusuf (12) ayat 55),nabi yusuf meminta untuk diberi kuasa guna menjadi bendahara Negara.dengan demikian,dalam kedua ayat tersebut terdapat bentuk pemberian kuasa atau wakalah
Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah Al-Bariqi.

عَنْ عُرْوَةَ البَارِقِيّ أَنَّ النَّبِيَّ بَعَثَ مَعَهُ بِدِيْنَارٍ يَشْتَرِي لَهُ أُضْحِيَّةً فَاشْتَرَى لَهُ اثْنَتَيْنِ فَبَاعَ وَاحِدَةً بِدِيْنَارٍ وَأَتَاهُ بِالأُخْرَى . فَدَعَالَهُ بِالبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ فَكاَنَ لَوِ اشْتَرَى التُّراَبَ لَرِبَحَ فِيْهِ

Dari 'Urwah al-Bariqi bahwa Nabi SAW memberinya satu dinar untuk dibelikan seekor kambing. Maka dibelikannya dua ekor kambing dengan uang satu dinar tersebut, kemudian dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Setelah itu ia datang kepada Nabi SAW dengan seekor kambing. Kemudian beliau SAW mendoakan semoga jual belinya mendapat berkah. Dan seandainya uang itu dibelikan tanah, niscaya mendapat keuntungan pula. (HR. Ahmad dan At-tirmizy)

            Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa nabi  memberi kuasa kepada orang  sahabat untuk melakukan transaksi.dalam hadis nabi memberi kuasa kepada urwah  Al-bariqi untuk membeli sekor kambing.dengan demikian wakalah atau pemberian  kuasa pernah dilaksanakan oleh nabi saw dan ini menunjukan bahwa wakalah hukumnya dibolehkan.
            Disamping Alquran dan sunah,semua umat islam sepakat tentang dibolehkanya wakalah.bahkan menurut Al-Qadhi Husain dan lainya,wakalah hukumnya mandub,berdasarkan firman allah dalam surah Al-ma’idah (5) ayat 2:

وَ تَعاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَ التَّقْوى‏ وَ لا تَعاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَ الْعُدْوانِ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَديدُ الْعِقابِ 

Dan tolong- menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong- menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.( 2 )
b.     RUKUN DAN SYARAT-SYARAT WAKALAH
1.      Rukun Wakalah
Menurut hanafiah,rukun wakalah hanya satu,yaitu sighat atau ijab dan qabul.sedangkan jumhur ulama selain hanafiah berpendapat bahwa rukun wakalah ada empat,yaitu
a.       Muakkil atau orang yang mewakilkan,
b.      Muakkal atau wakil,
c.       Muakkal fih atau perbuatan yang diwakilkan,dan
d.      Shighat atau ijab dan qabul.
Untuk terwujudnya wakalah tidak disyaratkan shidhat yang mencakup qabul dari wakil.akan tetapi apabila wakil menolak maka wakalah tida jadi dilakukan.contoh jika seorang mengatakan:jualkan barang saya ini lalu wakil diam saja,tetapi ia menjual barang tersebut maka jual belinya hukumnya sah.akan tetapi, jika wakil mengatakan saya tida mau,lalu ia menjual barang tersebut,maka jual belinya tida sah,karena ia dengan tegas menyatakan penolakan.
2.      Syarat-Syarat Wakalah
a.      Menurut Hanafiah
Syarat wakalah berkaitan dengan muwakkil,muwakkal (wakil), perbuata yang diwakilkan dan shighat.
1.      Syarat muwakkil
Syarat untuk muwakkil atau orang yang mewakilkan adalah:
      Orang yang mewakilkan harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatan yang diwakikilkan kepada orang lain.apa bila muwakkil tida boleh melakukan perbuatan tersebut,misalnya karena gila,atau masih dibawah umur,maka wakalah hukumnya tida sah.
a)      Tasarruf yang betul-betul merugikan seperti talak hibah,dan wasiat.dalam hal ini tassarruf-nya tidak sah sama sekali,dan oleh karenanya tidak bias diwakilkan kepada orang lain.
b)      Tasarruf yang betul-betul menguntungkan,seperti menerima hibah,atau wasiat. Dalam hal ini tasarruf-nya hukumnya sama walaupun tidak di-ijinkan oleh walinya,dan oleh karenanya maka sah pula diwakilkan.
c)      Tasarruf mungkin menguntungkan dan mungkin pula merugikan, misalnya melakukan jual beli dan ijarah.dalam hal ini tasarrufnya hukumnya sah apabila di-ijinkan oleh walinya dan oleh karenanya maka boleh diwakilkan.
2.      Syarat wakil
Syarat untuk wakil ada dua macam,yaitu sebagai berikut:
a)      Orang yang mewakili(wakil)harus orang yang berakal.dengan demikian,apa bila seorang memberikan kuasa kepada orang gila atau anak dibawah umur  yang tidak berakal maka wakalah tidak sah.adapun balig dan mereka tidak menjadi syarat untuk wakil.
b)      Orang yang mewakili(wakil) harus mengetahui tugas atau perkara yang diwakilkan kepadanya.dengan demikian,apabila wakil tidak mengetahui perkara yang ditugaskan kepadanya,maka wakalah-nya tidak sah.
3.      Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkal fih)
Syarat perkara yang diwakilkan adalah sebagai berikut.
a)      Perkara yang diwakilkan bukan minta utang(istiqradh).dengan demikian,apabila perkara tersebut berupa permintaan utang maka utang tersebut berlaku untuk wakil,bukan untuk muwakkil.
b)      Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had yang tidak disyaratkan pengaduan,seperti had zina.dalam hal ini untuk membuktikan tindak pidana zina tidak perlu adanya pengaduan,sehingga tidak sah untuk diwakilkan.
Selain perkara yang disebutkan diatas,wakalah hukumanya sah.misalnya jual beli,sewa-menyewa,nikah,talak,hibah,shadaqah,qhulu,shull(perdamaian),dan sebagainya.
4.      Syarat yang berkaitan dengan shighat
Shigat wakalah terbagi kepada dua bagian:
a)      Shighat yang khusus
Shighat yang khusus adalah shighat atau lafal yang menjukan pemberian kuasa dalam perkara yang khusus.misalnya ucapan seorang muwakkil:saya wakil kepadamu untuk membeli rumah ini.
b)      Shighat yang umum
Shighat yang umum adalah setiap lafal yang menunjukan pemberian kuasa dalam perkara yang umum.misalnya ucapanseorang muwakkil:kamu adalah wakilku dalam segala sesuatu.
b.      Menurut Malikiyah
Ulama-ulama malikiyah menyatakan bahwa syarat-syarat yang berkaitan dengan wakil dan muwakkil ada tiga macam,yaitu sebagai berikut:
1)      Merdeka.dengan demikian,wakalah tidak sah antara hamba dengan orang merdeka dan antara hamba dengan hamba.
2)      Cerdas (ar-rusyd).dengan demikian,wakalah tidak sah antara orang yang safih dan orang yang cerdas atau antara safih dengan safih.
3)      Baligh(dewasa).dengan demikian,wakalah tidak sah antara anak dibawah umur dan orang dewasa.dan antara anak dibawah umur dengan anak dibawah umur,kecuali apa bila ia seorang wanita yang masih kecil dan sudah menikah,dan ia ingin menggugatsuaminya atau walinya.dalam hal ini wakalahnya bias diterima.
Adapun syarat-syarat yang berkaitan dengan perkara yang diwakilkan(muakkal fih)hanya satu macam, yaitu bahwa perkara-perkara tersebut harus berupa perkara yang diterima oleh syara dan tidak boleh harus dilakukan sendiri.dengan demikian,seseorang boleh mewakilkan kepada orang lain dalam akad jual beli,sewa-menyewa nikah,,shulh(perdamaian),mhudharobah,musaqah,fasakh(pembatalan),talak,khulu,had atau qhisash,dan lain-lain.
            Akan tetapi,dalam masalah ibadah,seseorang tidak boleh mewakilkan kepada orang lain,kecuali dalam ibadah Maliyah,seperti membayar zakat,sedangkan dalam melaksanakan ibadah haji diperselisihkan.ada yang mengatakan sah(boleh)diwakilkan da nada yang mengatakan tidak.
            Adapun syarat shighat akad wakalah maka ada tiga masalah:
a)      Shighat dilihat dari sisi orang yang mewakilkan (muwakkil)
b)      Shighat dilihat dari sisi wakil,dan
c)      Shighat dilihat dari sisi perkara yang diwakilkan (muwakkal fih).
Apabila dilihat dari sisi muwakkil,maka disyaratkan shighat menunjukan arti wakalah  menurut adat kebiasaan(urf), atau menurut bahasa.apabila bahasa berbeda dengan urf,maka yang di gunakan adalah urf.akan tetapi,untuk shighat ini tidak ada syarat tertentu sehingga boleh saja redaksinya:saya meakilkan kepadamu”atau’engkau mewakili saya;atau lakukan tindakan hokum untuk saya.

Apabila dilihat dari sisi perkara yang diakilkan(muwakkal fih),maka shighat disyaratkan harus menunjukan bahwa perkara yang diwakilkan itu disebutkan dengan jelas,baik wakalah tersebut sifatnya umum atau khusus.apa bila perkara yang diwakilkan itu tidak jelas  dan tidak ada qorinah yang menunjukan kepada perkara itu, maka wakalah hukumnya tidak sah.
c.       Menurut syafi’iyah
Ulama –ulama syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang mewakilkan (muwakkil) harus memiliki kecakapan untuk melakukan pekerjaan yang akan diwakilkan kepada orang lain,dengan demikian apabila pekerjaan tersebut dilakukan sendiri maka hukumnya sah.apa bila ia tidak memiliki kecakapan tersebut maka wakalahnya tidak sah.contoh wakalah yang tidak sah karena muwakkil tidak memiliki kecakapan (ahliyah)atau kekuasaan (wilayah)sebagai berikut:
1)      Anak yang masih dibawah umur,
2)      Orang gila,
3)      Orang yang mabuk karena ulahnya sendiri,
4)      Orang yang mahjur’alaih karena boros,
5)      Orang yang sedang ihram dalam kaitan dengan akad nikah,dan
6)      Orang yang fasiq dalam mengawinkan anak perempuanya.
Dengan demikian,pedoman yang digunakan dalam hal ini adalah
Setiap perbuatan yang dibolehkan  untuk dilakukan sendiri boleh pula diwakilkan kepada orang lain,dan sebaliknya,setiap perbuatan yang tidak boleh dilakukan sendiri tidak boleh pula diwakilkan kepada orang lain.
      Pedoman yang disebutkan diatas merupakan pedoman umum yang dalam realisinya terdapat beberapa pengecualian.pengecualian dari pedoman bagian dari pertama antara lain:
1)      Apabila seorang mempunyai hak untuk menempati sebuah rumah yang terkunci dan ia tidak bias masuk kedalam rumah tersebut kecuali dengan membongkar pintunya,maka dalam hal ini boleh melakukanya sendiri,tetapi ia tidak boleh mewakilkanya kepada orang lain.kecuali kalau ia tidak mampu membongkarnya sendiri,maka dalam hal ini ia boleh mewakilkanya kepada orang lain
2)      Seorang pemboros(safih)yang mahjur’alaih,apabila diijinkan oleh walinya untuk menikah,maka ia boleh melakukanya akadnya sendiri,tetapi ia tidak boleh mewakilkanya kepada orang lain.
3)      Seorang wakil yang mampu melaksanakan perkara yang diwakilkan kepadanya,ia boleh melakukan sendiri perkara tersebut,tetapi tidak boleh mewakilkanya lagi kepada orang lain,kecuali apa bila ia tida mampu melakukanya.
Adapun syarat-syarat untuk muwakkal fih(perkara yang diwakilkan)adalah sebagai berikut:
1)      Perkara yang diwakilkan harus disebutkan dengan jelas.apa bila perkara tersebut tidak jelas sama sekali maka wakalah tidak sah.contoh perkara yang tidak jelas:saya wakilkan kepadamu dalam semua urusan saya.contoh perkara yang jelas:saya wakilkan kepadamu untuk menjualkan harta saya
2)      Perkara tersebut bias digantikan.perkara tersebut meliputi penetapan akad atau membatalkan,seperti jual beli,hibah,wasiat,hiwalah,dan lain-lainya.adapun perkara ibadah sebagian ada yang bias diwakilkan dan sebagian lagi tidak bias.untuk ibada badaniah mahdah,seperti shalat dan puasa,tidak bias digantikan/diwakilkan. Sedangkan ibadah maliah mahdah seperti zakat,atau ibadah Maliyah badaniyah seperti haji dan umrah serta pengurusa jenazah,boleh diwakilkan kepada orang lain.
3)      Muwakkal fih (perkara yang diwakilkan) diwakili oleh muwakkil.apabila perkara tersebut belum dimiliki oleh muwakkil,seperti menalak seorang wanita yang baru akan dinikahi,maka wakalah tersebut tidak sah.ada pun shighat akad bias digunakan setiap lafal (kata) yang menunjukan pemberian kuasa dari salah satu pihak (muwakkil) dan tidak ada penolakan dari pihak lainya (wakil).
Akan tetapi ,wakil disyaratkan harus menyatakan qabul (terima) dalam dua kasus berikut.
1)      Apabila seorang memiliki suatu benda,misalnya rumah,tetapi benda tersebut ada ditangan orang lain karena ijarah atau iarah,kemudian ia menghibahkan barang tersebut kepada orang lain dan orang lain tersebut mewakilkan kepada oemegang barang untuk menerimanya, maka wakalah dalam kasus ini tida sah kecuali pemegang barang tersebut menerimanya dengan perkataan.hal tersebut dikarenakan apabila tida ada pernyataan penerimaan sebagai wakil penerima hibah,maka itu bias diartikan ijarah atau iarah masih terus berlangsung
2)      Wakalah dengan system ju’alah (imbalan).apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk membeli  sebidang tanah dan ia akan diberi imbalan sekian rupiah, maka dalam kasus ini wakil harus menyatakan qabul (terima) dengan lafal (perkataan),karena wakalah dengan model ini termasuk ijarah.
d.      Menurut Hanabilah
Ulama-Ulama hanabilah mensyaratkan bahwa orang yang mewakilkan (muwakkil) harus mampu melakukan tasarruf dalam perkara yang akan diwakilkan kepada orang lain.hal ini dikarenaka seseorang yang tida sah melakukan sendiri tasarruf-nya,tida ada diwakili oleh orang lain.
Namun demikian,ada beberapa pengecualian dalam keadaan yang syifatnya darurat,antara lain sebagai berikut:
1)      Muwakkili adalah orang yang buta yang dilarang menggunakan tasarruf  dalam akad-akad yang objeknya perlu dilihat,seperti jual beli,dan ijarah, tetapi ia dibolehkan mewakilinya kepada orang lain.orang ghaib disamakan dengan orang yang buta.ia dibolehkan mewakilkan kepada orang lain untuk melakukan akad jual beli atau ijarah (sewa-menyewa),walaupun ia sendiri tidak dibolehkan melakukanya,karena ia tidak melihat barang yang dibelinya.
2)      Seorang wanita dibolehkan mewakili orang lain dalam menjatuhkan talaknya, sementara ia (wanita) tidak boleh menjatuhkan talaknya sendiri.
Aadapun muwakkal fih (perkara yang diwakilkan) meliputi semua hak manusia yng berkaitan dengan akad,seperti jual beli,sewa-menyewa,mudhrabah,qardh (utang piutang),pembebasan,talak,rujuk,hiwalah,gadai,syirkah,dan lain-lainya.demikian pula penguasaan pemilikan benda-benda mubah,seperti berburu,mengambil kayu bakar,dan membuka seperti zhihar,sampah,li’an,nadzar dan semacamnya.wakalah hukumnya tidak sah.adapun tindakan yang berkaitan dengan hak allah,sebagai ada yang tidak bias digantikan,yaitu ibadah badaniyah mahdah,seperti shalat,puasa dan bersuci,dan sebagian lagi ada yang bias digantikan(diwakili),yaitu ibadah maliah mahdah dan ibadah yang terdiri atas Maliyah dan badaniyah. Yang pertama seperti shodaqoh,zakat,dan kifarat.
Adapun shighat akad dalam wakalah melifuti smua lafal yng menunjukan persetujuan untuk melakukan tasarruf,seperti saya wakilkan kepadamu,atau saya serahkan kepadamu untuk melakukan pekerjaan anu’sedangkan shifhat qabul(penerimaan).dan tidak disyaratkan wakil harus mengetahui tentang tugas wakalah.demikian pula qabul tidak disyaratkan harus kontan
c.      BERAKHIRNYA AKAD WAKALAH
Akad wakalah berakhir karena beberapa hal berikut:
1.      Meninggalnya salah seorang dari orang yang melakukan akad,atau gila.hal tersebut dikarenakan di antara syarat-syarat wakalah adalah pelaku harus hidup dan berakal.
2.      Telah selesainya pekerjaan yang dimaksudkan dengan wakalah.
3.      Pemecatan oleh muwakkil terhadap wakil walaupun ia (wakil) tida mengetahuinya.ini menurut syafi’iyah dan Hanabilah.menurut hanafiyah wakil harus mengetahui tentang pemecatan dirinya.dengan demikian,tasarruf wakil sebelum tahu tentang  pemecatan dirinya hukumanya sama dengan tasarruf-nya sebelum dipecat,yakni sah.
4.      Wakil mengundurkan diri dari tugas wakalah.dalam hal ini mewakili tidak perlu tahu tentang pengunduran dirinya itu.
5.      Perkara yang diwakilkan telah keluar dari kepemilikan si muwakkil
Demikian beberapa uraian tentang wakalah yang meliputi pengertian dan dasar hukumnya,rukun dan syaratnya,serta, hal-hal yang berakhirnya akad wakalah.











B. WADHI’AH
a. PENGERTIAN WADHI’AH DAN DASAR HUKUMNYA
1. Pengertian Wadhi’ah
            Wadhi’ah berasal dari kata wada’a, yang sinonimnya taraka. artinya, meninggalkan. Sesuatu yang dititipkan seseorang kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadhi’ah, karena sesuatu (barang) tersebut ditinggalkan di sisi orang yang dititipi.
            Menurut istilah syara’ whadi’ah digunakan untuk arti titipan dan untuk benda yang di titipkan.
a.       Menurut ulama Hanafiyah
Wadhi’ah menurut syara’ adalah pemberian kuasa oleh seseorang kepada seseorang lain untuk menjaga hartanya. Baik dengan lafal yang tegas (sharih), atau lafal yang tersirat (dilalah).
b.      Menurut ulama Malikiyah
Malikiyah menyatakan bahwa wadhi’ah meiliki 2 arti, (1) dalam artian titiopan dan (2) dalam artian, sesuatu yang dititipkan. Dalam artian barang titipan memiliki 2 definisi.
-          Definisi pertama sebagai berikut
Sesungguhnya wadhi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemberian kuasa khusus untuk menjaga harta.
-          Definisi kedua sebagai berikut
Sesunguhnya wadhi’ah adalah suatu ungkapan tentang pemindahan semata-mata menjaga sesuatu yang dimiliki yang bisa dipindahkan kepada orang yang dititipi. (Al-Muda).
            Dalam definisi yang pertama, Malikiyah memasukkan akad wadhi’ah sebagai salah satu akad wakalah (pemberian kuasa), hanya saja wakalah hanya khusus menjaga harta benda saja, tidak untuk tasarruf yang lain. Oleh karena itu, wakalah dalam jual beli tidak termasuk wadhi’ah. Demikian pula titipan yang bukan harta benda, seperti menitipkan bayi, tidak termasuk wadhi’ah. Sedangkan dalam definisi kedua wadhi’ah dimasukkan kedalam akad pemindahan tugas menjaga harta benda dari si pemilik kepada orang lain, tanpa tasarruf.  Dengan demikian, pemindahan hak milik kepada orang lain, degan melalui transaksi, seperti jual beli, gadai, ijarah, dan lain-lain tidak termasuk wadhi’ah.
            Adapun definisi wadhi’ah dalam arti barang yang dititipkan adalah sebagai berikut.
Wadhi’ah adalah ungkapan (istilah ) tentang sesuatu yang dimiliki yang penjagaanya secara khusus dipindahkan kepada orang yang dititipi.
c.       Menurut ulam Syafi’iyah sebagai berikut
Wadhi’ah dengan arti penitipan adalah suatu yang menghendaki (bertujuan) untuk menjaga sesuatu yang dititipkan.
d.      Menurut ulam Hanabilan sebagai berikut
Wadhi’ah dalam arti penitipan adalah pemberian kuasa untuk menjaga (barang) dengan sukarela(tabarru’)

Dari definisi definisi yang dikemukakan oleh ulama ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa Wadhi’ah adalah suatu akan yang di sepakati oleh 2 orang atau 2 belah pihak, dimana pihak pertama memberikan tugas dan kuasa untuk menjaga barang yang dimilikinya kepada pihak lain, tanpa imbalan. Barang yang dititipkan itu tetap harus dijaga dengan baik walaupun tanpa imbalan.
2. Dasar Hukum Wadhi’ah
            Wadhi’ah adalah suatu akad yang diperbolehkan oleh syara berdasarkan Al-Qur’an, sunnah, dan ijma’.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 283 yang artinya :
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha  mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Dalam ayat tersebut dikatakan bahwa Wadhi’ah adalah amanat yang ada ditangan orang orang yang dititipi (muda) yang harus dijaga dan dipelihara. Dan jika diminta oleh pemiliknya maka wajib untuk memberikannya.
Di samping dalam ayat Al-Qur’an, Wadhi’ah juga dijelaskan di dalam hadist Nabi Muhammad SAW
(عن ابى هريرة قال: قال النبي صلى اللهم عليه وسلم اد الامانة الى من ائتمنك ولاتخن من خانك)
Dari Abi Hurairah r.a ia berkata : Rasulullah bersabda : tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (minitipkan) kepadamu dan janganlah engkau khiata kepada orang yang mengkhianatimu. (H.R At-tirmidzi dan Abu Daud dan ia juga menghasankannya, dan hadis ini juga dishahihkan oleh hakim).
            Hadirst tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada orang yang mempercayakannya. Dengan demikian, amanah adalah titipin atau wadhi’ah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya.
            Di samping Al-Qur’an dan Hadist, umat islam dari dahulu sampai sekarang juga melakukan penitipan barang kepada orang lain, tanpa adanya pengingkaran terhadap pemiliknya. Itu menunjukan bahwa umat islam setuju bahwa Wadhi’ah itu hukumnya boleh dilakukan.
Kemudian berdasarkan fatwa dewan syari’ah nasional (DSN) No:01/DSN-MUI/IV/2000. Menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari;ah yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan fatwa DSN No:02//DSN-MUI/IV/2000. Menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’i
Dan dalam makalah ini akan sedikit pembahasan tentang giro wadiah dan tabunga

b. RUKUN DAN SYARAT WADHI’AH
1. Rukun Wadhi’ah
            Menurut Hanafiyah rukun Wadhi’ah hanya 1 yaitu ijab dan qabul, sedangkan menurut jumhur ulama rukun Wadhi’ah ada empat, yaitu ;
a.       Benda yang dititipkan
b.      Sighat
c.       Orang yang menitipkan (Al-mudi)
d.      Orang yang dititipkan (Al-muda)
2. Syarat Wadhi’ah
            Syarat Wadhi’ah berkaitan dengan rukun di atas, yaitu syarat benda yang dititipkan, syarat sighat, syarat orang yang menitipkan dan syarat orang yang dititipkan.
1)      Syarat barang yang dititipkan
Syarat barang sebagai berikut :
-          Barang yang dititipkan haruslah barang yang dapat disimpan. Jiks barang yang dititipkan tidak bias disimpan seperti burung di udara atau benda didalam air, maka Wadhi’ah nya tidak sah, dan tidak wajib menggantinya. Syarat tersebut merupakn pendapat ulama hanafiyah.
-          Menurut /syafi’iyah dan hanabilah mensyaratkan bahwa benda yang dititipkan adalah benda yang bernilai(qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing yang bias digunakan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak bias melakukan apa apa dan tidak bermanfaat maka Wadhi’ah tidaklah sah.
2)      Syarat Sighat
Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat harus dinyatakan dengan perkataan dan perbuatan. Ucapan ada kalanya tegas (sarih) adakalanya sindiran (kinayah)
3)      Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
Syarat syarat nya sebagai berikut
A.    Berakal, dengan demikian orang gila tidak sah dalam hal Wadhi’ah ini.
B.     Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh kalangan Safi’iyah yang menggap anak anak dibawah umur tidak sah melaksanak Wadhi’ah. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, baligh bukan merupakan syarat, sehingga anak di bawah umur tetap sah melakukan Wadhi’ah dengan persetujuan orang tua atau walinya. Sedangkan kalangan Malikiyah berpendapat syarat Al-Mudi’ sebagai berikut
-          Berakal
-          Baligh
-          Cerdas
4)      Syarat orang yang dititipkan (Al-Muda’)
-          Berakal
-          Baligh, merupakan syarat dari jumhur ulama kecuali Hanafiyah.
-          Malikiyah mensyaratkan bahwa Al-Muda’ adalah orang yang diduga kuat dapat menjaga barang titipan tersebut.
c. STATUS WADHI’AH
Jumhur ulama sepakat bahwa Wadhi’ah termasuk dalam qurbah (proses pendekatan diri kepada Allah SWT) yang di anjurkan (disunnahkan). Dan dalam menjaga barang yang dititipkan tersebut kita diganjar dengan pahala. Barang tersebut semata-mata merupakan amanah (kepercayaan) bukan merupakan madmumah (gant rugi), sehingga orang yang dititipin tidak dibebani dengan ganti rugi, kecuali jika berlebihan (ta’addi) atau teledor (taqhsir). Pengembalian barang titipan harus diserahkan langsung kepada pemilik barang, tidak boleh siapapun meskipun pihak keluarga, karena jika hilang saat di serahkan kepada keluarga pemilik barang, maka penyewa atau orang yang dititipi harus mengganti barangnya.

d. PERUBAHAN DARI AMANAH KEPADA TANGGUNGAN (DHAMMAN)
Status amanah dapat berubah menjadi tanggungan jika :
-          Orang yang dititipi tidak menjaga barang titipan dengan baik.
-          Orang yang dititipi tanpa udzur menitipkan barang titipan kepada orang lain selain keluarga yang dimana ia melakukannya tanpa udzur. Jika barang hilang, maka ia wajib menggantinya.
-          Orang yang dititipi menggunakan barang titipan sehingga rusak.
-          Barang titipan di bawa berpergian. Itu menurut Syafi’I dan hambali. Namu menurut Hanafi boleh di bawa berpergian tergantung akkad Wadhi’ah itu sendiri.
-          Mengingkari Wadhi’ah
-          Bercampurnya barang titipan dengan barang lain.
-          Penyimpangan terhadap syarat syarat yang di tetapkan oleh Al-Mudi dalam menjaga barang titipan tersebut.misalnya tempat yang membuat ulama berbeda pendapat
a.       Menurut Malikiyah, Hanafiyah, dan Syafi’iuah membolehkan jika tempat setelahnya sama amannya atau bahkan lebih aman.
b.      Menurut Hanabilah tidak boleh karena sudah melanggar perjanjiannya baik tempat nya sama amannya maupun lebih.

C.   ARIYAH
a.     PENGERTIAN ‘ARIYAH DAN DASAR HUKUMNYA

1.      Pengertian ‘Ariyah
‘Ariyah atau dalam istilah Wahbah Zuhaili. Wahbauhaili mengemukakan bahwa lafal ‘ariyah adalah nama bagi sesuatu yang dipinjami, diambil dari kata a’ra yang sinonimnya : dzahaba waja’a artinya pergi dan datang. Iman jauhari yang dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ‘ariyah dinisbahkan kepada lafa ‘ara (malu), karena sesungguhnya dalam mencari pinjaman tersenut ada rasa malu dan aib. Tetapi pendapat tersebut disanggah, karena dalam kenyataannya Rasulullah pernah melakukannya.
Menurut istilah, definisi ‘ariyah dikemukakan oleh para ulama sebagai berikut :
a.       Ulama Hanafiah memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
Menurut syara ‘ariyah adalah kepemilikan atas manfaat tanpa disertai dengan imbalan.
b.       Malikiyah memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
Sesungguhnya ‘ariyah itu adalah kepemilikan atas manfaat yang berifat sementara tanpa disertai dengan imbalan.
c.       Syafi’yah memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
Hakikat ‘ariyah menurut syara’ adalah diperbolehkannya mengambil manfaat dari orang yang berhak memberikan secara sukarela dengan cara-cara pemanfaatan yang diperbolehkan sedangkan bendanya masih tetap utuh, untuk kemudian dikembalikan kepada orang yang memberikannya.
d.      Hanabilah memberikan definisi ‘ariyah sebagai berikut :
I’arah adalah kebolahan memanfaatkan suatu barang tanpa imbalan dari orang yang memberi pinjaman atau lainnya.

Dari definisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab tersebutr dapat dipahami bahwa pada dasarnya para uloama tersebut pendapatnya hampir sama, bahwa ‘ariyah atau i’arah adalah suatu hak untuk memanfaatkan suatu benda yang diterimanya dari orang lain tanpa imbalan dengan ketentuan barang tersebut tetap utuh dan pada saat harus dikembalikan kepada pemiliknya.

2.      Dasar Hukum ‘Ariyah
‘Ariyah merupakan perbuatan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) dan dianjurkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalil Al-Quran sebgai berikut :
a.       Surah Al-Maidah (5) ayat 2 :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosan dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.




b.      Surah Al-Maun (107) ayat 7 :
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

Selain mandub atau sunanah, hukum ‘ariyah bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi.


b.      RUKUN DAN SYARAT ‘ARIYAH

1.      Rukun ‘Ariyah
Menurut ulama Hanafiah, rukun ‘ariyah hanya satu, yaitu ijab dari orang yang meminjamkan (al-mu’ir), sedangkan qabul  dari orang yanhg meminjam  (al-musta’ir) menurut jumhur ulama Hanafiah yang menggunakan istihsan, bukan meruapakn rukun. Akan tetapi, Iman Zufar yang menggunakan qiyas berpendapat bahwa qabul  juga termasuk rukun ‘ariyah, seperti halnya dalam hibah.

Jumhur ulama termask Syafi’iyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah itu ada empat, yaitu :
a.       Orang yang meminjamkan (mu’ir)
b.      Orang yang memunjam (musta’ir)
c.       Barang yang dipinjamkan (mu’ar), dan
d.      Shighat.

2.      Syarat-syarat ‘Ariyah
Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan di atas, yaitu orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang yang dipinjam, dan shigsat.
a.       Syarat-syarat Orang yang Meminjamkan
Orang yang meminjamkan disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk melakukan tabarru’ (pemberian tanpa imbalan), yang meliputi :
·         Baligh
·         Berakal
·         Tidak mahjur ‘alaih
·         Orang yang meminjamkan harus pemilim atas manfaat yang akan dipinjamkna.
b.      Syarat-syarat Orang yang Meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
·         Orang yang meminjam harus jelas.
·         Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memilki ahliyatul ada’.
c.       Syarat-syarat Orang yang Dioinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut :
·         Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, yaitu manfaat murni yang bukan benda, seperti menepati rumah, mengendarai mobil, dan semacamnya. Dan manfaat yang diambil dari benda yang dipinjami, seperti susu kambing, buah dari pohon, dan lain-lain.
·         Barang yang dipinjamkan harus berupa barang yang mubah.
·         Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh.
d.      Shighat
Shigthat ‘ariyah disyaratkan harus menggunakan lafal yang berisi pemberian izin kepada peminjam untuk memanfaatkan barnag yand dimilki oleh orang yang meminjamkan (mu’ir), baik lafal tersebut timbul dari peminjam atau dari orang yang meminjamkan.


c.       KETENTUAN HUKUM DAN AKAD ‘ARIYAH
1.      Asal Ketentuan Hukum ‘Ariyah
Istilah ‘ariyah digunakan untuk arti hakiki (sebenarnya) dan arti majazi  (kiasan). Dalam arti hakiki ‘ariyah adalah meminjamkan benda untuk diambil manfaatnya, sedangkan bendanya masih tetap utuh.
Penggunaan lafal ‘ariyah untuk arti majaz (kiasan) adalah oeminjaman atas barang-barang yang ditimbang, ditakar dan dihitung, seperti telur dan semua barang yang tidak mungkin diambil manfaatnya kecuali dengan menghabiskannya, seperti peminjaman uang dirham dan dinar. Secara hakiki I’arah (peminjaman) tersebut berarti utang (qardh). Dengan demikian kasus semacam ini i’arah bukan diartikan dengan arti sebenarnya melainkan dalam arti kiasan, yaitu utang piutang. Ketentuan berlaku dalam hal ini bukan pengembalian barang melainkan penggantian dengan barang yang sama (mitsli) atau dengan harganya (qimi).

2.      Hak Pemanfaatan ‘Ariyah
Orang yang meminjam memilki hak untuk memanfaatkan ‘ariyah (barang yang dipinjamnya) sesuai dengan izin yang diberikan oleh pemilik barang. Pendapat ini dikemukajan oleh jumhur ulama selain Hanafiah. Sedangkan menurut ulama Hanafiah, hak pemanfaatan yang diberikan kepada peminjam berdasarkan akad I’arah berbeda-beda tergantung macam ‘ariyah-nya apakah mutlak atau muqayyad.
I’arah mutlah terjadi apabila seseorang meminjam sesuatu kepada orang lain tanpa menjelaskna dalam akadnya apakah barang yang dipinjamnya digunakan oleh peminjam sendiri atau orang lain, dan tidka dijelaskan pula cara-cara penggunaannya.
I’arah muqayyadah terjadi apabila seseorang meminjam sesuatu dari orang lain, dengan dibatasi waktu dan pemanfaatannya bersama-sama atau salah satunya. Dalam hal ini, pembatasan tersebut sedapat mungkin harus diperhatikan, kecuali apabila pembatasan tersebut sama sekali tidak ada faedahnya.

3.      Sifat Hukum I’arah
Menurut Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah hak milik yang diperboleh peminjaman adalah hak milki yang ghair lazim (tidak mengikat). Hal tersebut dikarenakan hak milik tersebut diperbolehkan tanpa imbalan.
Menurut pendapat yang masyhur dan Malikiyah orang yang meminjamkan tidka diperbolehkan meminta kembali ‘ariyah-nya, sebelum barang datang tersebut dimanfaatkan oleh peminjam. Apabila ‘ariyah-nya dibatasi waktunya, maka orang yang meminjamkan tidak boleh menarik kembali ‘ariyah-nya kecuali setelah masanya habis. Apabila ‘ariyah –nya tidak dibatasi waktunya, maka orang yang meminjamkan harus memberikan kesempatan dalam waktu yang memadai untuk ‘ariyah semacam itu. Akan tetapi, menurut pendapat Iman Ad-Dardir pendapat yang rajih, orang yang meminjamkan boleh menarik kembali ‘ariyah –nya apabila ‘ariyah-nya mutlak.


d.      STATUS ‘ARIYAH
Menurut Hanafiah, barang yang dipinjam merupakan amanah ditangan orang yang meminajm (musta’ir), baik ketika digunakan maupun tidka digunakan. Peminjam tidak dibebani ganti kerugian, kecuali apabila ia mendapati batas atau teledor.
Menurut Malikiyah, peminjam dibebani ganti rugi di dalam barang-barang yang mungkin dirahasiakan, seperti pakaian dan perhiasan, apabila pada saat hilang atau rusak tidak ada sakri.  Sedangkan untuk benda-benda yang tidak mungkin dirahasiakan seperti binatang dan benda tetap, dan didalam barang-barang yang pada saat hilang atau rusak ada saksi, peminjam tidak dibebani ganti rugi. Alasan Malikiyah adalah mengkompromikan antara hadis Shafwan dmana Nabi menyatakan wajib mengganti, dan hadis Amr bin Syu’aib yang tidak wajib mengganti.
Menurut pendapat yang paling Shahih dari ulama Syafi’iyah, peminjam dibebani ganti rugi, apabila kerusakan karena penggunaan yang tidak disetujui oleh orang yang meminjamkan, meskipun tidak ada unsur kelalain. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi.
Hanabilah sama pendapatnya dengan Syafi’iyah, yaitu bahwa peminjam dibebani ganti rugi secara mutlak, baik penggunaannya melampaui batas atau tidak, baik ia lalai atau tidak. Dasarnya adalah hadis Nabi melalui Shafwan yang telah disebut diatas.

e.       PERUBAHAN STATUS ‘ARIYAH DARI AMANHA KEPADA DHAMAN
Menurut Hanafiah status ‘ariyah dapat berubah dari amanah kepada dhaman (tanggungan) karena beberapa sebab yang telah dikemukakan dalam wadi’ah antara lain sebagai berikut :
a.       Ditelantarkan
b.      Tidak dijaga dengan baik.
c.       Menggunakan barang yang dipinjam yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku menurut adat kebiasaan.
d.      Menyalahi cara menjaga barang yang disepakati.

Demikian beberapa uraian tentang ‘ariyah yang meliputu pengertian dan dasar hukumnya, rukun dan syarat-syaratnya, ketentuan hukumnya, statusnya, serta perubahan status ‘ariyah dari amanah kepada dharman.































PENUTUP

Wakalah, Wadhi’ah, dan ‘Ariyah merupakan kejadian fiqh yang sering terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila syarat dan rukunnya diperhatikan serta dilakukan dengan baik maka akan membuat nyaman dan menguntungkan. Baik antara pihak pertama dengan pihak kedua. Wakalah, Wadhi’ah, dan ‘Ariyah merupakan solusi tepat dari Islam untuk meringankan jalannya kehidupan manusia. Ketiga kejadian fiqh tersebut juga mengandung pahala dari Allah bila dilaksanakan dengan penuh amanah, begitu pula sebaliknya.






































DAFTAR PUSTAKA

Muslich, Drs. H. Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Mu’amalat. Jakarta: Amzah


Al Aziz S, Ust. Drs. Moh. Saifulloh. 2005. Fiqh Islam lengkap.  Surabaya: Terbit Terang

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "makalah Fikih Mu'amalat tentang Wakalah, Wadhi'ah, dan 'Ariyah"

Post a Comment