Lafazd Dari Segi Kandungan Pengertiannya
Diajukan
sebagai tugas mata kuliah :
Ushul
Fiqh 2
Dosen Pengampu:
Dr.
H. Muhammad Taufiki, M.Ag.
Oleh:
Muhammad Arief Putra
NIM:1112043100003
Ahmad Rifa’i
NIM:1112043100005
Saipul rahmanuddin
NIM:1112043100006
PROGRAM
STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434
H/2013 M
MUKADDIMAH
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah SWT Sang Peninggi derajat,
Pencipta bumi dan langit, Pencipta manusia dan jin, penumbuh berbagai tumbuhan.
Bagi-Nya segala pujian di dunia dan di akhirat. Bagi-Nya segala rasa syukur
yang tiada terkira. Dialah Sang Maha Pengampun dan Maha Pengasih. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya yang besar kepada hambanya berupa kemauan
dan kesempatan untuk menyusun makalah ini. Dengan menyebut asma Allah kami
selaku penyusun makalah, berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penyusun
pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Kami sampaikan shalwat serta salam atas manusia yang diutus sebagai
rahmat bagi sekalian alam, junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Dan juga atas
keluarga beliau dan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti jejak beliau
sampai hari kiamat.
Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi tugas untuk mengikuti mata kuliah “USHUL FIQH 2”, dibawah bimmbingan
dosen kami Dr. H. Muhammad
Taufiki, M.Ag Yang selanjutnya akan dijadikan Tuhas kelompok pada mata kuliah
tersebut di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa
makalah ini banyak kekurangannya, untuk itu penulis sangat mengharapkan
kritik,saran, dan tanggapan dari para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki
makalah kami selanjutnya.
Jakarta,
Oktober 2013
Pemakalah
DAFTAR ISI
Cover .................................................................................................................................... 1
Mukadimah ........................................................................................................................... 2
Daftar Isi ............................................................................................................................... 3
BAB I .................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
Latar Belakang ...................................................................................................................... 4
BAB II ................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 5
a. Lafazd ‘Am .............................................................................................................. 5
b. Lafazd Khash ........................................................................................................... 8
c. Takhsish .................................................................................................................... 9
d. Mutlaq dan Muqayyad ............................................................................................. 12
BAB III................................................................................................................................
15
KESIMPULAN .................................................................................................................... 15
Daftar Pustaka ...................................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Setiap lafazd (kata) yang digunakan dalam teks hukum
mengandung suatu pengertian yang mudah difahami oleh orang yang menggunakan
lafazd itu. Ada pula lafazd yang memiliki beberapa pengertian yang merupakan
bagian bagian dari lafazd itu. Bila hukum berlaku untuk lafazd itu, maka hukum
tersebut berlaku untuk semua pengertian yang berlaku didalamanya.
Di samping itu, ada pula suatu lafazd yang memiliki
suatu pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk pengertian
tertentu otu saja. Lafazd yang mengandung beberapa pengertian itu secara
sederhana di sebut “am” () atau “umum”, sedangkan yang hanya mengandung satu
pengertian tertentu, disebut “khash” (), atau “khusus”.
Lafazd yang “khusus” itu ada yang digunakan tanpa
dikaitkan kepada kata sifat apapun, dan adapula yang dikaitkan kepada satu
sifat atau keadaan tertentu. Lafazd yang tidak dikaitkan kepada sesuatu apapun
disebut “mutlaq” (), atau “mutlak”, sedangkan lafazd yang dikaitkan kepada
sesuatu disebut “muqayyad” ().
Di bawah ini
akan dibahas mengenai lafazd yang ‘am, khash, mutlaq, dan muqayyad
BAB II
PENJELASAN
1. Lafazd
‘Am (umum)
a. Definisi
‘Am
Dalam
mendefinisikan lafazd ‘am, terdapat perbedaan dikalangan ahli ushul. Jika
diteliti, dalam perbedaan it nampak titik kesamaan, dan perbedaanya hanya dalam
rumusannya saja karena berbeda dalam sudut pandang.
1. Ibnu
subki merumuskan definisi :
Lafazd
yang meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan.
2. Abu
hasan al basri dan beberapa ulama Syafi’i mendefinisikan :
Lafazd
yang meliputi semua pengertian yang patut baginya.
3. Imam
Al- Ghazali memberikan definsi definisi sebagai berikut :
Suatu
lafazd yang menunjukan dari arah yang sama kepada dua hal atgau lebih.
Dari
beberapa definisi tersebutterlihat rumusan yang berbeda. Masing masing
mengandung titik lemah yang yang menjadi sasaran kritik pihak lain. Namun dari
beberapa ruusan itu dapat ditarik hakikat dari lafazd ‘am yang mencakup jiwa
dari setiap rumusan, yaitu :
a. Lafazd
itu hanya terdiri dari satu pengertian tunggal.
b. Lafazd
tunggal itu mengandung beberapa afrad
(satuan pengertian)
c. Lafazd
yang tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama
dalam penggunaannya.
d. Bila
hukum berlaku untuk satu lafazd, maka hukum itu berlaku pula setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup
di dalam lafazd itu.
b. Ruang
Lingkup ‘Am
Setiap
lafazd (kata) mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu : (1) Lafazd itu
sendiri, yang tersusun dari huruf huruf, dan (2) makna atau arti yang
terkandung di dalam lafazd tersebut.
Para
ulama ushul membahas persoalan tentang lafazd ‘am, khusuh, mutlaq, dan muqayyad
dalam konteks : “apakah berada dalam lingkup lafazd atau liungkup makna..?”
1. Jumhur
ulama berpendapar bahwa ‘am itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafazd,
karena ia menunjukan pengertian pengertian yang terkandung didalamnya. Kalau
kite berbicara tentang ‘am, berarti kita berbicara tentang lafazd. Bukan
tentang makna. Kita dapat engatakan, “lafazd ini ‘am,” dan tidak dapat
mengatakan, “maknanya ‘am.” Hal ini berlaku pulauntuk lafazd khash, mutlaq, dan
muqayyad.
2. Sebagian
kecil ulama berpendapat bahwa ‘am itu juga menyangkut makna. Kelompok ini
mengemukakan bahwa argumen penggunanan secara umum berlaku dalam bahasa arab
dengan ucapannya :
Raja itu menyerahkan
secara umum (merata) anugrah dan kenikmatan kepada manusia. Hujan itu
mendatangkan secara umum (merata) kesuburan dan kebaikan kepada mereka.
Kata
“amma” () dalam contoh di atas adalah menyangkut makna, bukan lafazd. Bila
lafazd itu diggunakan secara mutlak untuk maksud tersebut, berarti penggunaan
itu secara hakiki
3. Jumhur
ulama berpendapat bahwa lafazd ‘am dapat juga digunakan untuk makna,
namunpenggunaan untuk makna itu hanya secara majazi. Bukan dalam penggunaan yang sebenarnya. Sebab kalau ia
hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna. Ini merupakan
kelaziman setiap penggunaan hakiki. Tetapi ternyata tidak demikian halnya.
Karena itu, jelaslah bahwa ‘am dan mutlak itu menyangkut lafazdatau ucapan.
Umum itu juga tidak berlaku untuk “perbuatan” karena perbuatan itu berlaku
untuk suatu keadaan dalam satu tingkatan, sedangkan ‘am mencakup segala sesuatu
yang berbeda beda. Misalnya, kita tidak dapat mengartikan, “pemberian si amat
itu umum,” karena pemberian terhadap si A berbeda dengan pemberiannya terhadap
si B dari segi hal itu adalah perbuatan “memberi”.
4. Qadhi
Abdul Wahhab berpedapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitkan kepada ‘am kecuali
hanya lafazd.
5. As-Sarkhisi
(ulama hanafi) berpendapat bahwa ‘am tifak fapat digunakan pada makna kecuali
bila penggunaannya hanya secara majazi,
karenanya perlu penjelasan untuk itu.
6. Segolongan
ulama iraq berpendapat bahea ‘am itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum,
dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran
akhirnya. Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah (5):3;
Diharamkan
bagimu bangkai
Ayat
tersebut mengandung pengertian bahwa haram semua perbuatan yang bernama
“memakan”
2. Lafazd
Khash
a. Pengertian
Khash
Pengertian
khash (khusus) adalah lawan dari penngertian ‘am (umum). Dengan demikian jika
telah memahamipengertian lafazd ‘am secara tida langsung, juga dapat memahami
pengertian lafazd khash. Karenanya tidak semua penulis yang menguraian tentang
lafazd khash dalam bukunya, memberikan pengertian lafazd khash iu secara
definitif.
Al-amidi
sebelim mengemukakan definisi, ia mengkritik penulis yang mendefinisikan khash
dengan “setiap lafazd yang bukan lafazd
‘am/”
Sedangkan
definisi khash yang di ajukan Al-Amidi adalah :
Satu
lafazd yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
Definisi sedikit
berbeda yang dirumuskan Al-Khudhari Beik :
Lafazd
yang dari segi kebahasaan, ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Menurut
definisi terakhir ini, lafazd khash itu ditentukan untuk menunjukan satu satuan
secara kelompok seperti laki laki; atau beberapa satuan yang jumlahnya tidak
terbatas seperti “kaum”; atau lafazd lain dalam bentuk satuan yang tak
terbatas, tetapi tidak menunjukan seluruh satuannya (yang masuk dalam
pengertian ‘am).
Khusush
adalah keadaan lafazd yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan
tidak untuk semuanya. Dengan demikian, dapat dibedakan antara khash dan
khusush, meskipun dalam pengertian bahasa indonesia disamakan.
Pengertian
khash adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung
oleh lafazd. Sedangkan pengertian khusush adalah apa yang dikhusushkan menurut
ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kemauan.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa khash itu adalah apa yang mencapai kepada sesuatu
yang tertentu melalui ketentuan bahasa, sedangkan khusush adalah apa yang
mencapai sesuatu bukan yang lainnya, namun boleh mencapai yang lainnya itu.
3. Takhsish
a. Pengertian
Takhsish
Ada beberapa
definisi yang diajukan ulama ushul menhenai takhsish.
1. Muhammad
Al-khhudhari Beik :
Menejlaskan
bahwa yang dimaksud dalam lafazd ‘am hanyalah sebagian yang dimaksud dari
lafazd itu.
2. Abdul
Wahhab
Takhsish
ialah penjelasan bahwa yang dimaksud oleh syar;i (pembuat hukum) tentang lafazd
‘am itu pada mulanya adalah sebagian afradnya.
3. Qhadi
Al-badawi
Mengeluarkan
apa apa yang dikandung oleh suatu lafazd.
4. Ibnu
subki
Takhsish
ialah membatasi lafazd ‘am kepada sebagian afradnya.
Dari
beberapa definisi tersebut, ternyata tidak ada perbedaan antara definisi pertama
dan definisi kedua kecuali dalam rumusan saja, sedangkan arahnya adalah sama,
yaitu bahwa takhsish itu adalah penjelasan hukum pada lafazd ‘am yang sejak
semula memang ditentukan untuk sebagian afradnya saja. Dengan demikian,
takhsish ini pengertian penjelasan atau menjelaskan.
Para
ulama telah sepakat bahwa penjelasan itu tidak boleh terlambat datangnya,
supaya manusia tidak beradda dalam ketidaktahuan tentang hakikat yang dituju
oleh pembuat hukum (syar’i). Bila takhsish terlambat datangnya, maka ia tidak
lagi disebut takhsish, tetapi nasakh.
Adapun
definisi ketiga dan keempat memberikan arti ain tentang takhsish yaitu bukan
sebagai “penjelasan”, sehingga tidak ada halangan jika datangnya terlambat dari
lafazd ‘am. Mengenai perbedaan antar takhsish dan nasakh, menurut mereka,
taksish itu mengeluarkan sebagian adfradnya saja, sedangkan nasakh ada yang
mengeluarkan “sebagian” dan ada yang mengeluarkan “seluruh” afradnya.
Hukum
takhsish hukumnya dalah boleh bila takhsish itu memang dilakukan dengan dalil.
Dalil takhsish itu ada yang berupa dalil naqli, dalil aqli, dan lainnya. Tidak
ada perbedaan tentang bolehnya takhsish dengan dalil.
b. Dalil
Takhsish
Bila
suatu hukum datang dalam bentuk ‘am, maka diamalkanlah hukum itu menurut
keumumanya, kecuali bila ada dalil yang menunjukan adanya takhsish. Dalil
takhsish itu disebut mukhassis () atau sesuatu yang men-takhsish-kan.
Mukhassis
itu ada dua macam : (1) berbentuk nash (teks) dan (2) bukan dalam bentuk nash.
Dalam
hubungannya dengan lafazd ‘am, mukhassis itu ada yang terpisah dari lafazd ‘am
dan ada pula yangmenyatu dengan lafazd ‘am.
Mukhassis
yang terpisah dari lafazd ‘am terbagi tiga yaitu :
1. Takhsish
dengan nash, baik Al-Qur’an ataupun sunnah.
2. Takhsish
dengan akal pemikiran. Baik melalui penyaksian ataupun pemikiran,
3. Takhsish
dengan adat. Maksudnya adat kebiassaan dapat mengeluaran beberapa hal yang
dimaksud dalam lafazd ‘am.
Sedangkan mukhassis yang bersambung
dengan lafazd ‘am terbagi lima bagian, yaitu :
1) Istitsna’
(pengecualian)
Mengeluarkan
sesuatu dari pembicaraan yang sama dengan menggunakan kata “kecuali”, atau kata
lain yang sama maksudnya dengan itu.
2) Syarat
Syarat
adalah sesuatu yang lazim dengan tidak adanya, tidak ada diberi sifat (mausuf);
tetapi tidak lazim dengan adanya mausuf
3) Sifat
Sifat
adalah sesuatu hal atau keadaan yang mengiringi dan menjelaskan sesuatu zat
atau perbuatan.
4) Limit
Waktu
Ghayah ialah
limit waktu yang mendahului lafazd ‘am sehingga kalau ia tidak ada, maka akan
terliput semua afrad ‘am (waktu)
5) Bagian
sebagai pengganti keseluruhan
c. Macam Macam Takhsish
Dibawah ini akan
diuraikan kemungkinan bentuk takhsish dari segi dalil yang terpisah dari dalil
‘am.
1) Takhsish
Al-qur’an dengan Al-Qur’an.
2) Takhsish
Al-Qur’an dengan sunnah.
3) Takhsish
sunnah dengan Al-Qur’an.
4) Takhsish
sunnah dengan sunnah.
5) Takhsish
dengan ijma’.
6) Takhsish
dengan qiyas.
7) Takhsish
dengan mafhum.
4. Mutlaq
dan Muqayyad ()
Dalam memberikan definisi mutlaq
terdapat rumusan yang berbeda, namun saling berdekatan.
1. Muhammad
Al-Khudhari Beik mendefinisikan :
Mutlak ialah lafazd
yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa
ikatan yang terpisah secara lafzi.
2. Definisi
Al-Amidi :
Lafazd yang memberi
petunjuk kepada madlulu (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.
3. Ibnu
subki :
Mutlak adalah
lafazdyang memberi petunjuk kepada suatu hakikat tanpa ada ikatan apa apa.
4. Abu
Zahrah :
Lafazd
mutlak adalah lafazd yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya 9sasaran
penggunaan lafazd) tanpa memandang kepada satu, banyal atau sifatnya, tetapi
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.
Dengan membandingkan definisi definisi
di atas, jelaslah bahwa mtlaq adalah lafazd yang mencakup pada jenisnya tetapi
tidak mencakup seluruh afrad di dalamnya. Disinilah diantara letak pebedaan
antara lafazd mutlaq dengan lafazd ‘am, meskipun terdapat istilah “meliputi
afradnya”.
Dari segi cakupannya, juga dapat
dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakirah yang disertai oleh tanda tanda
keumuman suatu lafazd, termasuk jama’ nakirah yang belim diberi qayid (ikatan)
Lafazd mutlaq dari segi meliputi
sejumlah afrad, adalah sama dengan lafazd ‘am
namun diantara kedaunya terdapat perbedaan yang prinsip. Lafazd ‘am
umumnya bersifat syumuli (melingkupi) sedangkan keumuman dalam lafazd mutlaw
bersifat badali (mengganti).
Umum yang bersifat syumuli itu adalah
kulli (keseluruhan) yang berlaku atas satuan satuan; sedangkan ‘am badali
adalah kulli dari segi tidak terhalang untuk menggambarkan terjadinya
kebersamaan, tapi tidak menggambarkan untuk setiap satuan satuan, hanya
menggambarkan satuan yang meliputi.
Muqayyad (yang diikatkan kepada
sesuatu), yaitu lafazd yang menunjukan hakikat
sesuatu yang diikatkan sifat kepada lafazd tersebut. Muqayyad menunjuk
kepada hakikat sesuatu tetapi memerhatikan beberapa hal, baik jumlah
(kuantitas) atau sifat dan keadaan. Hal, sifat, keadaan atau kuantitas yang
menyertai muqayyad itulah yang disebut qayyid (ikatan).
Bila suatu hukum datang dalam bentuk
mutlaq, maka hukum itu diamalkan secara ke-mutlaq-annya. Demikian pula bila
kumu tersebut datang dalam keadaan muwayyad, maka hukum itu diamalkan menurut
qayyid yang menyertainya. Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan di kalangan
para ulama.
BAB
III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
0 Response to "makalah Lafazd Dari Segi Kandungan Pengertiannya"
Post a Comment