A.
Proses Penulisan Al-Qur’an
Proses penulisan Al-Qur’an terdiri dari
beberapa tahapan atau masa. Yaitu pada masa Nabi Muhammad SAW, masa khulafa’ur
rasyidin, dan pada masa setelah khulafa’ur rasyidin.
1. Pada Masa Nabi
Muhammad SAW
Kedatangan wahyu merupakan sesuatu yang sangat
dirindukan oleh Nabi Muhammad SAW. Sehingga kerinduan Nabi Muhammad SAW
terhadap kedatangan wahyu tidak hanya diekspresikan dalam bentuk hafalan,
tetapi juga dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu penulisan Al-Qur’an pada masa
Nabi Muhammad ditempuh dengan dua cara :
a.
Pertama, al Jam’u fis Sudur.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa
menunggu turunnya wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya.
Persis seperti dijanjikan Allah SWT dalam surat Al-Qiyamah ayat 17, sebagai
berikut :
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.” (Q.S.
Al-Qiyamah:17).
Oleh sebab itu, Nabi Muhammad SAW adalah hafiz
(penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para
sahabat dala menghafalnya, sebagai ralisasi kecintaan mereka kepada pokok agama
dan sumber risalah. Setiap kali Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, para sahabt
langsung menghafalnya diluar kepala.
a.
Kedua, al Jam’u fis Suthur.
Selain di hafal, Rasulullah juga mengangkat
para penulis wahyu Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka seperti Ali,
Mu’awiyah, Ubay bin Ka’b dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, beliau
memerintahkan mereka menuliskan dan menunjukan tempat ayat tersebutdalam surah,
sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati.
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi
Muhammad SAW sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan berbagai tempat
lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut, para sahabat juga
melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
2. Pada Masa Khulafa’ur Rasyidin
a.
Pada Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
Sepeningal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah
menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Al Quran, dan pada masa
pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran yaitu pengumpulan
naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang susunan surah-surahnya menurut
riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul).
Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur’an yang
dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan
yang bertujuan menumpas habis para pemurtad dan juga para pengikut Musailamah
Al-Kadzdzab itu ternyata telah menjadikan 70 orang sahabat penghafal Al-Qur’an
syahid. Khawatir akan hilangnya Al-Qur’an karena para penghafal Al-Qur’an
banyak yang gugur dalam medan perang. Lalu Umar bin Khattab menemui Khalifah
Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari berbagai sumber, baik
yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan.
Namun pada awalnya Abu Bakar pun tidak setuju
dengan apa yang diusulkan oleh Umar bin Khattab. Karena menurutnya, Nabi
Muhammad SAW pun tidak pernah melakukannya. Tetapi Umar bin Khattab terus
membujuk Abu Bakar untuk melakukannya, dan akhirnya Allah SWT membukakan hati
Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut. Kemudian Abu Bakar pun memerintahkan
Zaid bin Sabit untuk melakukannya. Seperti Abu Bakar sebelumnya, Zaid bin Sabit
pun menolak perintah Abu Bakar dengan alas an yang sama. Setelah terjadi
musyawarah, akhirnya Zaid bin Sabit pun setuju.
a.
Pada Masa Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan.
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi
perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam
bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy). Kondisi ini tentunya
memiliki dampak positif dan negatif.
Salah satu dampaknya adalah ketika mereka
membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap
dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai
panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin Al-Yaman.
Inisiatif ‘Utsman bin ‘Affan untuk menyatukan
penulisan Al-Qur’an tampaknya sangat beralasan. Betapa tidak, menurut beberapa
riwayat, perbedaan cara membaca Al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik
yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan pada ujungnya terjadi
perselisihan diantara mereka.
‘Utsman bin ‘Affan memutuskan agar
mushaf-mushaf yang beredar adalah mushaf yang memenuhi persyaratan berikut:
- Harus
terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad,
- Mengabaikan
ayat yang bacaannya dinasakh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca
kmbalidihadapan Nabi Muhmmad SAW pada saat-saat terakhir,
- Kronologi
surat dan ayat seperti yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf
Abu bakar yang susunan mushafnya berbeda dengan mushaf ‘Utsman bin ‘Affan.
- Sistem
penulisan yang digunakan mushaf mampu mencakupi qira’at yang berbeda
sesuai dengan lafazh-lafazh Al-Qur’an ketika turun,
- Semua yang
bukan mushaf Al-Qur’an dihilangkan.Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam
tahap penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa
‘Utsman bin ‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat
dibaca dengan salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab
memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak
berharakat dan bertitik itu. Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705),
ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim
terkemuka saat itu dan pada karena itu pula penyempurnaan mulai segera
dilakukan.
b.
Pada Masa Setelah Khulafa’ur Rasyidin.
Pada masa ini, Al-Qur’an mulai dalam tahap
penyempurnaan dalam penulisannya. Mushaf yang ditulis pada masa ‘Utsman bin
‘Affan tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan
salah satu qira’at yang tujuh. Setelah banyak orang non-Arab memeluk Islam,
mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharakat dan bertitik itu.
Pada masa khalifah ‘Abd Al-Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah
dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu dan pada karena itu pula
penyempurnaan mulai segera dilakukan.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung
sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H
(atau akhir abad IX M.).
Tulis menulis dalam kalangan orang Arab
Jahiliyah amat sedikit.Yang pertama belajar menulis di antara orang Arab ialah
Basyr ibn Abdul Malik, ia belajar kepada orang Al-Anabar.Tulisan orang
Al-Anabar ketika itu diperbaiki (disempurnakan) karena tulisan itu tidak
berbaris dan bertitik.
Islam terus menerus berkembang baik wilayah
maupun pemeluknya. Banyak orang non Arab yang telah masuk islam, maka dari itu
benturan-benturan kultural antara masyarakat Arab dengan orang-orang ‘ajam
(non-Arab) tidak dapat dielakan. Sebab, dikalangan masyarakat Islam terutama
orang non Arab sering terjadi kesalahan dalam melafalkan ayat-ayat
Al-Quran.Dengan adanya masalah seperti itu maka timbulah usaha untuk memberikan
pungtuasi (tanda-tanda baca) dikalangan para ulama ketika itu.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang
siapa ulama yang pertama kali berupaya untuk melakukannya :
1. Abu Amr al-Daniy dalam hal ini mengemukakan
bahwa, tidak mustahil apabila penulisan titik (sebagai tanda baca) dimulai oleh
para sahabat Nabi.
2. Banyak juga ulama yang berpendapat bahwa
orang yang pertama melakukan hal itu adalah Abu al-Awad al-Du’ali, dialah
sebagai ulama ahli pertama dalam bidang kaidah bahasa Arab atas perintah
khalifah Ali bin Abi Thalib. Menurut suatu riwayat mengatakan bahwa Abu
al-Aswad al-Du’ali pernah mendengar seseorang di Basrah membaca ayat Al-Quran
dengan cara yang salah, sehingga merubah semua pengertian dan maksud yang
terkandung dalam ayat yang dibaca itu. Kesalahan orang tersebut disebabkan
karena tidak adanya tanda baca yang menunjukan bagaimana seharusnya ayat tersebut
dibaca.
Sejak kejadian itulah Abu al-Aswad al-Du’ali
mulai melakukan pekerjaannya, dan hasilnya sampai kepada pembuatan tanda fathahberupa
satu titik diatas huruf, tanda kasrah satu titik dibawah huruf, dan
tanda dhomah berupa tanda titik disamping huruf, dan tanda sukun
berupa dua titik
Dapat disimpulkan yaitu diantara nama-nama
diatasyang terlebih dahulu meletakan titik dan harakat atau tanda baca lainnya,
bahwasanya mereka semua itu telah ikut andil dalam upaya menutup kemungkinan
terjadinya kekeliruan didalam membaca Al-Quran, sekaligus memperbagus dan
memperindah rasm Al-Quran. Karena itu suatu hal yang kurang logis dan kurang
rasional kalau dikatakan hanya Abu al-Aswad al-Du’ali saja tanpa yang lain.
Sedangkan Abu al-Aswad sendiri hanyalah merupakan sebuah mata rantai pertama
dalam proses penyempurnaan rasm ‘Utsmany menuju kemudahan dalam membaca
Al-Quran yang benar.
B.
Latar
belakang penulisan Al-qur’an
Yang meltar belakangi
pembukuan Al quran ini pada zaman khalifah Abu Bakar, dimana saat itu
terjadilah gerakan Musailimah al-Kadzdzab. Dia mengembangkan khurafatnya dan
kebohongan-kebohongannya. Diapun mengaku dirinya nabi dan dia dapat
mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah lalu mereka menjadi murtad.
Gerakan ini segera ditindak oleh Abu Bakar dengan mengirimkan pasukan tentara
di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid yang terdiri dari 4000 pengendara kuda,
terjadilah clash fisik di Yamamah pada tahun 12 H yang menimbulkan
korban yang tidak sedikit dikalangan pasukan islam terutama para sahabat yang
gugur syahid. Di antara sahabat yang gugur itu adalah Zaid ibnul Khattab,
saudara Umar. Selain daripada itu syahid pula 700 penghafal Al-Qur’an. Setelah
umat islam mengeraskan tekanannya, pertolongan Allah pun datang, barulah
tentara Musailamah hancur dan lari. Umat islam mengejar meraka dan mengurung
tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma. Al Barra’ ibn Malikmenaiki tembok
kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam benteng, lalu membuka pintu. Setelah
tentara islam dapat masuk ke dalam, barulah Musailamah dan kawan-kawannya dapat
dibunuh. Kebun tersebut dinamai kebun mati. Orang yang membunuh
Musailamah ini juga telah membunuh Hamzah.
Peristiwa yang tragis itu
mendorong Umar untuk menyarankan kepada khalifah agar segera dipimpin ayat-ayat
Al-Qur’an dalam suhuf, karena dikhawatirkan akan kehilangan sebagaian Al-Qur’an
dengan wafatrnya sebagaian para penghafalnya. Usul Umar dapat diterima oleh Abu
Bakar setelah diadakan diskusi dan pertimbangan yang saksama. Kemudian khalifah
memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit agar segera menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dalam satu shuhuf.
Zaid sangat hati-hati dalam menjalankan tugas ini
walaupun ia seorang penulis yang hafal Al-Qur’an. Ia berpegangan dua hal,
yaitu:
1. ayat-ayat Al-Qur’an ditulis dihadapan Nabi yang di
simpan dirumah nabi.
2. ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz
Al-Qur’an.
Selain itu juga menerima
tulisan dari sahabat lain dengan dua saksi. Akhirnya dengan kerja keras tim
pengumpulan Al-Qur’an yang terdiri Abu Bakar sebagai pengawas, Umar sebagai
pengusul, Zaid sebagai pelaksana dan para sahabat sebagai pemberi bantuan
yaitu Ubay ibn Ka’ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Mereka berulang
kali mengadakan pertemuan dan mereka mengumpulkan tulisan-tulisan yang mereka
tuliskan di masa nabi. Maka dengan usaha badan ini terkumpullah Al-Qur’an di
dalam shuhuf dari lembaran-lembaran kertas. Dalam pada itu, juga ada riwayat
yang menerangkan, bahwa badan tersebut menulis Al-Qur’an dalam shuhuf-shuhuf
yang terdiri dari kulit dan pelepah kurma. Inilah pengumpulan pertama.
Sahifah-sahifah (yang
terdiri dari 7 huruf dan masih utuh termasuk ayat-ayat yang belum dinasahkan
bacaannya) yang telah dihimpun oleh Zaid lalu disimpan oleh Abu Bakar, kemudian
Umar, lalu Hafsah binti Umar (Hafsah adalah seorang istri nabi yang hafidz
Al-Q’uran), kemudian Utsman bin Affan dan kemudian dikembalikan lagi kepada
Hafsah setelah dilakukan penyalinan oleh Utsman
C.
TOKOH KUNCI DALAM PROSES
PEMBUKUAN AL QURAN
Penulisan
alquran pada masa nabi sudah dikenal secara umum. Beberapa sahabat dikenal
sebagai penulis wahyu, antara lain abu bakar assiddiq, umar bin khattab, ustman
bin affa, ali bin abi thalib, mu’awiyah, khalid bin walid, ubay ibn ka’b, zaid
bin tsabit, tsabit ibn qais, amir ibn fuhairah, amr bin ash, abu musa
al-asy’ari, dan abu darda.
Para sahabat meniulis waahyu di kepingan tulang belulang, pelepah
korma, dan bebatuan. Pada masa nabi belum ada upaya untuk melakukan unifikasi
dan kodifikasi alquran. Selain karena wahyu masih turun, juga belum ada
kebutuhan yang mendesak utnuk melakukan upaya itu.
D.
PERBEDAAN MUSHAF AL QURAN
HASIL KODIFIKASI PADA MASA UMAR DAN USMAN
Dengan demikian,
sesungguhnya , kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman ini memiliki maksud
yang berbeda dengan kodifikasi pada masa Abu Bakar, yakni:
1. Penyatuan kaum
muslimin kepada satu macam mushaf yang sama ejaan tulisannya.
2. Penyatuan bacaan, dan
kalaupun ada perbedaan, namun masih menggunakan teks dan ejaan Mushaf Usmani.
3. Dan upaya preventip
dalam rangka melestarikan penetapan urutan ayat dan
surat-surat dalam al-Qur’an.
Demikianlah gambaran
mengenai kodifikasi al-Qur’an yang telah dilakukan oleh umat Islam,
baik yang terjadi pada masa khalifah pertama, yakni Abu Bakr, maupun yang
terjadi pada masa khalifah ketiga, Utsman bin al-Affan, dengan segala
perbedaan nuansa dan tujuannya. Apapun yang dilakukan dan apapun
motivasinya, barang kali yang paling signifiokan sekarang ini
adalah adanya kesamaan mushhaf al-Qur’an dan kemufakaan seluruh
umat Islam dalam mengakui keabsahan kitab suci ini. Dan ini merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi
umat Islam.
3.
Pemeliharaan MUSHAF Al-Qur’an dalm masyarkat islam kini
Meskipun Al-Qur’an telah dibukukan pada masa
Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada
perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang
lalu. Namun orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan
Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mencoba melakukan من تغير النص
القرأن yaitu perubahan terhadap isi Al-Qu’ran dengan
merubah sebagian teksnya, serta melakukan من تحريف النص
القرأن yaitu merubah satu huruf yang mirip seperti خ dirubah jadi ح sehingga
berubah arti dan maknanya.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain dengan melakukan تأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Qur’an, sehingga perubahan sedikit pun dari redaksi Al-Qur’an pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka mereka mencoba cara lain dengan melakukan تأ ويل القرأن على حسب الهوي yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran al-Qur’an. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.
Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan
pengertian dan keserasian makna yang ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Qur’an. Di
samping itu harus tetap memelihara dan memperhatikan semua konsekuensi makna
yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna lain yang mengarah kepadanya,
yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi ayat, tetapi relevan
dengannya. Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat
Al-Qur’an, hendaklah lebih dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam
Al-Qur’an sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu bersifat global di suatu
tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain), terkadang
ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya ditemukan di
tempat lain (ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Qur’an secara
tepat hanyalah Allah. Jika tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat
itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi. Karena sunnah merupakan penjelas
makna ayat Al-Qur’an. Jika tidak menemukan di dalam sunnah hendaklah merujuk
kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu mengenai hal itu
lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan
sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka
juga memiliki pemahaman bahasa Arab yang benar, ilmu yang benar dan amal
shalih.
Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan
Al-Qur’an tidaklah berhenti sampai di situ, melainkan umat Islam di masa
sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga keotentikan al-Qur’an
dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Qur’an, serta
memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap
perubahan isi Al-Qur’an serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan
makna yang sebenarnya dapat diketahui.[9]
Dengan mengetahui secara mendalam tentang
pengumpulan al-Qur’an, serta memeliharanya dengan menghafal dan memahami
maknanya, maka kita akan menjadikannya pedoman yang diyakini kebenarannya
karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan keotentikannya sehingga
tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan keotentikan sebuah
kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun ataupun
cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat
setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan Al-Qur’an.
E.
HUBUNGAN
SEJARAH MUSHAF AL QURAN DENGAN OTENTISITAS AL QURAN
Pertama
“Pengumpulan
pertama selesai di bawah pengawasan Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat
yang jujur dan setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya
beriman pada kesucian sumber Qur’an, orang yang hubungannya begitu erat sekali
dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun terakhir dalam hayatnya, serta
kelakuannya dalam khilafat dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan
bersih dari gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat buat
mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa yang diwahyukan kepada
kawannya itu adalah wahyu dari Allah, sehingga tujuan utamanya ialah memelihara
pengumpulan wahyu itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya.”
Pernyataan
semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah menyelesaikan pengumpulan itu
pada masa khilafatnya. Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua
kaum Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis yang membantu
melakukan pengumpulan itu, dengan seorang mu’min biasa yang miskin, yang
memiliki wahyu tertulis di atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya
semua kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin memperlihatkan
kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang dibacakan oleh Nabi, bahwa itu
adalah risalah dari Allah SWT.
Kedua
“Pengumpulan
tersebut selesai selama dua atau tiga tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah
melihat beberapa orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar kepala,
dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah ada serombongan ahli-ahli
Qur’an yang ditunjuk oleh pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah
Islam guna melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam agama.
Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai penghubung antara wahyu
yang dibaca Muhammad pada waktu itu dengan yang dikumpulkan oleh Zaid.
Kaum
Muslimin bukan saja bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur’an dalam satu
Mushhaf itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat menjamin
terlaksananya maksud tersebut, menjamin terlaksananya segala yang sudah
terkumpul dalam kitab itu, yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan
sempurna dikumpulkan.
Ketiga
“Juga
kita mempunyai jaminan yang lebih dapat dipercaya tentang ketelitian dan
kelengkapannya itu, yakni bagian-bagian Qur’an yang tertulis, yang sudah ada
sejak masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah naskahnyapun sudah
banyak sebelum pengumpulan Qur’an itu. Naskah-naskah demikian ini kebanyakan
sudah ada di tangan mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa
yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan langsung dibaca
sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali kita mengambil kesimpulan, bahwa
semua yang terkandung dalam bagianbagian itu, sudah tercakup belaka.
Oleh
karena itu keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada suatu
sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa para penghimpun itu
telah melalaikan sesuatu bagian, atau sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa
yang terdapat di dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang sudah
dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada, maka tidak bisa tidak
tentu terlihat juga, dan tentu dicatat pula dalam dokumen-dokumen lama yang
sangat cermat itu; tak ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang
penting.”
Keempat
“Isi dan
susunan Qur’an itu jelas sekali menunjukkan cermatnya pengumpulan.
Bagian-bagian yang bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana
tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat.”
“Tak ada
bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau memperlihatkan keahliannya
sendiri. Itu menunjukkan adanya iman dan kejujuran sipenghimpun dalam
menjalankan tugasnya itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat
suci itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di samping yang
lain.”
“Jadi
kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan sekali ialah, bahwa
Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya hasil ketelitian saja, bahkan – seperti
beberapa kejadian menunjukkan – adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya
tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita dapat meyakinkan,
berdasarkan buktibukti yang kuat, bahwa setiap ayat dari Qur’an itu, memang
sangat teliti sekali dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad.”
0 Response to "makalah Ulumul Qur'an tentang Penulisan Mushaf Al-Qur'an"
Post a Comment