BAB I
PENDAHULUAN
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang
sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang
kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak
akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu
keislaman lainnya. Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya
aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang
kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis,
bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan
umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan
membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran
itu adalah Mu’tazilah.
Berbicara perpecahan umat Islam tidaklah ada
habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai
dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang
berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar
yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam
telah menempatkan akal pada porsi yang benar. Sehingga banyak kaum muslimin
yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah
dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah
kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga
melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak
benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang
sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan dan
logika.
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang
muslim untuk saling menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam
pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya
masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis
kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Di
era modernisasi sekarang ini mulai bermunculan pemikiran mu’tazilah dengan
nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya,
mereka menamainya dengan Modernisasi pemikiran, westernasi dan sekulerisme
serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang
mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan
menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu, perlunya dibahas dan
dikaji lebih dalam lagi tentang pemikiran Mu’tazilah, dengan tujuan agar
diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam makalah ini
kami akan membahas berbagai persoalan-persoalan,ajaran-ajaran, atau
aliran-aliran yang berada pada kaum Mu’tazilah.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dan Sejarah
Munculnya Aliran Mu’tazilah
a. Pengertian
Kata mu’tazilah diambil dari bahasa Arab yaitu اعتزل yang aslinya adalah kata عزل yang berarti memisahkan atau menyingkirakan. Menurut Ahmad
Warson, kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan kata asalnya.
Arti yang sama juga akan kita temui di munjid, meskipun ia menambahkan satu
arti yaitu mengusir.
Penambahan huruf hamzah dan huruf ta pada kata
I’tazala adalah untuk menunjukkan hubungan sebab akibat yang dalam ilmu sharf
disebut dengan muthawa’ah, yang berarti terpisah, tersingkir atau terusir. Maka
bentuk pelaku yaitu al-mu’tazilah berarti orang yang terpisah, tersingkir atau
terusir.
Kenapa Hasan Bashri mengatakan “ I’tazala anna
washil” bukan dengan “in’azala anna Washil”, ini karena konotasi yang kedua
menunjukakkan perpisahan secara menyeluruh, sedangkan Washil memang hanya
terpisah hanya dari pengajian gurunya, sedangkan mereka tetap menjalin
silaturrahmi hingga gurunya wafat.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala
yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau
menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Panggilan atau nama yang mereka pilih itu yakni Ahli keadilan disebabkan mereka
memberi hak asasi bagi setiap manusia untuk menerima atau menafsirkan
eksistensi dari sifat-sifat Allah maka tidak terdapat paksaan dari Allah bahkan
manusia memiliki kekuasaan Qodrat untuk meletakkan pilihannya dalam hidup ini.
Hal ini dianggap satu keadilan dimana manusia tidak dipaksa bahkan diberi
kekuasaan.
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang
pernah menggemparkan dunia Islam selam lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa
mereka yang menghebohkan, selama waktu
itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin
terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan pedoman mereka.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa
persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa oleh kaum Khawarij dan Murji’ah, dalam
pembahasannya mereka banyak memakai akal, sehingga mereka mendapat nama “ kaum
rasionalis islam”
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para
kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq)
pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama
Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil
bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar
tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah
yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang
dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang
yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair).
Mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan
kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir,
tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa
besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya
(al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan
al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru.
Atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita).
dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
b.
Sebab-sebab munculnya nama Mu’tazilah
Ada
beberapa versi atau pendapat yang berbeda dalam menerangkan sebab-sebab munculnya
kaum Mu’tazilah ini, yaitu :
1. Ada seorang guru
besar di Baghdad, namanya Syeikh Hasan Bashri (meninggal tahun 110 H). Di
antara muridnya ada seorang yang bernama Wasil bin Atha’ (meninggal pada tahun
131 H). Wasil bin Atha’ tidak sesuai dengan pendapat gurunya yang mengatakan
bahwa “orang Islam yang telah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia
kebetulan mengerjakan dosa besar, maka orang itu tetap muslim tetapi muslim
durhaka”. lantas ia membentak, lalu keluar dari majelis gurunya dan kemudian
mengadakan majelis lain di suatu pojok dari Masjid Basrah itu. Oleh karena ini,
maka Wasil bin Atha’ dinamai kaum Mu’tazilah, karena ia mengasingkan atau
memisahkan diri dari gurunya.
2. Adapula orang
mengatakan bahwa mereka dinamai Mu’tazilah ialah karena mengasingkan diri dari
masyarakat. Orang-orang Mu’tazilah ini pada mulanya adalah orang-orang Syi’ah
yang patah hati akibat menyerahnya Khalifah Hasan bin Ali bin Abi Thalib kepada
Khalifah Mu’awiyah dari bani Umayyah.
3. Versi lain
dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya
pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.
Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan
ini dinamakan Mu’tazilah.
4. Versi lain
dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.
5. Al-Mas’udi
memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa
menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka
diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa
bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir
dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberikan
status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
c.
Pokok-Pokok
Ajaran Kaum Mu’tazilah
Abu
Hasan Al- Kayyath berkata dalam kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun
yang berhak mengaku sebagai penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul
Al- Khamsah (lima dasar) yaitu Tauhid, Al- Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Amar
Ma`ruf Nahi Munkar, dan Al- Manzilah Baina Manzilatain, jika telah menganut
semua nya, maka ia penganut paham Mu`tazilah
Berikut penjelasannya masing-masing yaitu :
1. Tauhid
Memiliki arti “Penetapan bahwa Al-Quran itu adalah
makhluk” sebab jika Al-Quran bukan makhluk, berarti terjadi sejumlah zat qadiim
(menurut mereka Allah adalah Qadiim, dan jika Al-Quran adalah Qadiim, berarti
syirik/ tidak bertauhid).
Menurut mereka tauhid maknanya mengingkari
sifat-sifat Allah karena menetapkannya berarti menetapkan banyak dzat yang
qadim, itu sama artinya menyamakan mahluq dengan khaliq dan menetapkan banyak
sang pencipta. Mereka menta’wil sifat-sifat Allah dengan mengatakan sifat Allah
adalah Dzat-Nya. Sebagai contoh, Allah `Alim (maha mengetahui) maknanya ilmu
Allah adalah Dzat-Nya, dan seterusnya. Diantara sebagian konsekuensinya, mereka
mengingkari ru`yatullah di akhirat dan mengatakan Al-Qur`an itu mahluk.
Abu Al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di
maksud dengan nafs al sifat atau peniadaan sifat-sifat Tuhan. Menurut paham
Wasil kepada Tuhan diberikan sifat yang mempunyi wujud tersendiri dan kemudin
melekat pada diri tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qadim maka apa yang melekat
pada dzat itu bersifat qadim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qadim.
Ini, menurut Wasil akan membawa pada adanya dua Tuhan. Karena yang boleh
bersifat qadim hanyalah Tuhan, dengan kata lain , kalau ada sesuatu yang
bersifat qadim maka mestilah itu tuhan. Oleh karena itu, untuk memelihara kemurnian
tauhid atau keesaaan tuhan, tuhan tidak boleh dikatakan mempunyai sifat dalam
arti diatas.
Ada beberapa ayat al-qur’an yang membantah kesamaan
Tuhan dengan makhluk. Namun demikian, ada juga ayat-ayat yang berkaitan dengan
wajah, tangan Tuhan dan sebagainya. Pendapat tradisional cenderung menerima
ayat-ayat tersebut itu untuk penilaian tentang wajah mereka tanpa berusaha
lebih jauh untuk menerangkan apa yang diebut dengan wajah dan sebagainya.
Mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat di
akhirat nanti (dengan mata kepala). Satu-satunya sifat tuhan yang betul-betul
tidak mungkin ada pada makhluknya adalah sifat qadim. Paham ini mendorong
mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar
dzat tuhan. Mu’tazilah menolak paham ini karena tuhan bersifat immateri,
sedangkan mata kepala bersifat materi ,
yang immateri hanya dapat diterima oleh yang immateri pula. Oleh karena itu,
mu’tazilah berpendapat tuhan memang dapat dilihat di akhirat, tetapi bukan
dengan mata kepala melainkan dengan mata hati.
Selanjutnya, mu’tazilah berpendapat bahwa hanya dzat
tuhan yang bersifat qadim. Paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan
sifat-sifat tuhan yang mempunyai wujud tersendiri terpisah dari dzatnya. Apa
yang oleh golongan lain disebut sifat tuhan, seperti maha mengetahui, maha
kuasa, oleh mu’tazilah sifat tersebut disebut esensi tuhan.
Paham keesaan tuhan mu’tazilah ini bermaksud untuk
memurnikan dzat tuhan dari persaman dengan makhluknya. Dalam paham ini tampak
betapa kuat pengaruh akal dalam pemikiran yang di bangun kaum mu’tazilah itu
dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mu’tazilah layak memandang sebutan
kaum rasional.
2. Al-Adl
Memiliki
Arti “Pengingkaran terhadap taqdir” sebab seperti kata mereka bahwa Allah tidak
menciptakan keburukan dan tidak mentaqdirkan nya, apabila Allah menciptakan
keburukan, kemudian Dia menyiksa manusia karena keburukan yang diciptakannya,
berarti Dia berbuat zalim, sedang Allah adil dan tidak berbuat zalim.
Keadilan
versi mereka adalah menolak takdir karena menetapkannya berarti Allah
menzholimi hambanya. Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafy berkata: ” mengenahi Al `Adl
mereka menutupi dibaliknya pengingkaran takdir. Mereka mengatakan Allah tidak
menciptakan keburukan dan tidak menghukum dengan adanya perbuatan jahat, karena
jika Allah menciptakan kejahatan kemudian menyiksa mereka atas kejahatan
mereka, itu artinya Allah zholim, padahal Allah adil dan tidak zholim. Sebagai
konsekuensinya mereka menyatakan dalam (kekuasaan) kerajaan Allah terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan Allah. Allah menginginkan sesuatu tetapi hal itu
tidak terjadi. Sebab kesesatan mereka ini adalah karena ketidak mampuan mereka
membedakan antara iradah kauniyah dengan iradah syar`iyah.
Paham ini dalah paham Qadriah yang dianjurkan Ma`bad
dan Ghailan. Tuhan kata Wasil bersifat bijksana dan adil. Ia tak dapat berbuat
jahat dan zhalim. Tidak mungkin tuhan menghendaki manusia berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan perintahnya. Dengan demikian manusialah sendiri yang
mewujudkan perbuatan baik dan jahat, iman dan kafir serta patuh dan tidak
patuhnya kepada tuhan. Atas perbuatan-perbuatan ini manusia memperoleh
balasannya. Dan untuk mewujudkan perbutan itu tuhan memberikan daya dan
kekuatan kepadanya. Tidak mungkin tuhan menurunkan perintah kepada manusia
untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak punya daya dan kekuatan untuk
berbuat.
3. Al- Wa`du
Wal Wa`iid (terlaksananya ancaman),
Maksudnya
adalah apabila Allah mengancam sebagian hamba-Nya dengan siksaan, maka tidak
boleh bagi Allah untuk tidak menyiksa-Nya dan menyelisih ancaman-Nya, sebab
Allah tidak menginginkan janji, artinya- menurut mereka Allah tidak memaafkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan tidak mengampuni dosa-dosa (selain syirik)
bagi yang dikehendaki-Nya. Hal ini jelas bertentangan dengan Ahlus Sunnah
Waljama`ah.
4.
Al-Manzilah Baina Manzilatain
Artinya orang yang berbuat dosa besar berarti
keluar dari iman tetapi tidak masuk kedalam kekufuran, akan tetapi ia berada
dalam satu posisi antara dua keadaan (tidak mukmin dan tidak juga kafir).
Menurut ajaran ini, orang yang berdosa besar bukan
kafir, sebagaimana disebutkan oleh kaum Khawarij, dan bukan pula mu’min
sebagaimana di katakan kaum Murji`ah, tetapi fasik yang menduduki posisi antara
mu’min dan kafir. Kata mukmin, dalam pendapat Wasil, merupkan sifat baik dan
nama pujian yang tak dapat diberikan kepada orang fasik, dengan dosa besarnya.
Tetapi predikat kafir juga tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena di
balik dosa besar ia masih mengucapkan shahadat dan mengerjakan perbuatan baik.
Orang serupa ini jika mati belum bertaubat, akan kekal dalam neraka, hanya
siksaan yang di terima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.
5.
Amar Ma`ruf Nahi Munkar
yaitu bahwa mereka wajib memerintahkan
golongan selain mereka untuk melakukan apa yang mereka lakukan dan melarang
golongan selain mereka apa yang dilarang bagi mereka.
Imam
Ibnu Abil ‘Izz berkata: ” adapun amar makruf nahi mungkar, mereka berkata: ”
kita wajib menyuruh orang selain kita untuk melaksanakan hal yang di
perintahkan kepada kita dan mewajibkn mereka dengan apa yang wajib kita
kerjakan. Di antara kandungnnya adalah boleh memberontak dengan senjata melawan
penguasa yang dholim.
Pandangan rasional Mu’tazilah dapat dilihat juga
dalam uraian mengenai kedudukan akal dan wahyu. Dalam hal ini ada empat hal
yang diperdebatkan oleh aliran-aliran kalam yaitu 1Mengenai tentang mengetahui
Tuhan.2 Kewajiban mengetahui Tuhan. 3. Mengetahui baik dan jahat. 4.Kewajiban
mengatahui baik dan jahat.
d.
Konsep Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah
a. Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu
bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya
sebagai dzat-Nya.
b. Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai
matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula
mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan
segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan
menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan
pahala.
d. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum
Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al
Qur’an dan Hadist.
e.
Kelompok – kelompok Mu’tazilah
Mu’tazilah
berdasarkan versi mereka, terbagi menjadi dua kelompok besar :
1. Mu’tazilah Ekstrim
Yaitu, mu’tazilah yang memeaksakan faham mereka
kepada orang lain. Meskipun mayoritas kaum mu’tazilah bersikap moderat tapi ada
juga yang ekstrim. Golongan ini lahir pada masa keemasan mu’tazilah, yaitu
mereka menyalahgunakan kekuasaan Al-Ma’mun.
Golongan
ini adalah yang menjunjung tinggi dasar kelima. Golongan ini dikenal dengan
nama Waidiyah (pengancam). Dalam melaksanakan dasar yang kelima ini mereka
tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan.
2.
Mu’tazilah Moderat
Mayoritas kaum mu’tazilah adalah moderat, hal inilah
salah satu yang membedakannya dengan Syi’ah maupun khawarij. Sikap moderat ini
pulalah yang menjadi salah satu kunci kelanggengan aliran ini selama kurang
lebih tiga abad lamanya.
f. Perkembangan Mu’tazilah
Pada awal perkembangannya, aliran ini tidak mendapat
simpati dari umat Islam, khususnya dikalangan masyarakat awam, karena mereka
sulit memahami ajaran-ajaran Mu’tazilah yang bersifat rasional dan filosofis.
Alasan lain adalah kaum muktazilah dinilai tidak teguh berpegang pada sunah
Rasulullah dan para sahabat.
Kelompok ini baru memperoleh dukungan yang luas,
terutama dikalangan Intelektual, yaitu pada masa pemerintahan Khalifah
al-Ma’mun, penguasa Abbasiyah (198-218H/813-833M). kedudukan Mu’tazilah semakin
kuat setelah al-Ma’mun menyatakan sebagai mazhab resmi Negara. Hal ini disebabkan
karena al-Ma’mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan Ilmu
pengetahuan dan filsafat.
Dalam fase kejayaannya itu, Mu’tazilah sebagai
golongan yang mendapat dukungan penguasa memaksakan ajarannya kepada kelompok
lain. Pemaksaan ajaran ini dikenal dalam sejarah dengan peristiwa mihnah.
Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham Khalq Al-Quran. Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa Quran adalah kalam Allah SWT yang tersusun dari
suara dan huruf-huruf. Al-Quran itu makhluk dalam arti diciptakan Tuhan. Karena
diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak kadim. Jika Al-quran itu
dikatakan kadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang kadim selain Allah
SWT dan hukumnya Musyrik.
Khalifah al-Ma’mun menginstruksikan supaya diadakan
pengujian terhadap aparat pemerintahan (mihnah) tentang keyakinan mereka
akan paham ini. Menurut al-Ma’mun orang yang mempunyai keyakinan bahwa Al-Quran
adalah kadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam
pemerintahan. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya aparat pemerintah yang
diperiksa melainkan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh
dan pejabat pemerintah yang disiksa, diantaranya Imam Hanbali, bahkan ada
ulama’ yang dibunuh karena tidak sepaham dengan ajaran Mu’tazilah. Peristiwa
ini sangat menggoncang umat Islam dan baru berakhir setelah al-Mutawakkil
(memerintah 232-247H/847-861M).
Dimasa al-Mutawakkil, dominasi aliran Mu’tazilah
menurun dan menjadi semakin tidak simpatik dimata masyarakat. Keadaan ini
semakin buruk setelah al-Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah
sebagai mazhab resmi Negara dan menggantinya dengan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul
kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Baghdad. Akan tetapi kesempatan
ini tidak berlangsung lama.
Selama
berabad-abad, kemudian Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh
aliran Ahlusunah waljamaah. Diantara yang mempercepat hilangnya aliran ini
ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca di perguruan-perguruan Islam. Namun
sejak awal abad ke-20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan
dipelajari di berbagai perguruan tinggi Islam seperti universitas al-Azhar.
g Tokoh-Tokoh
Mu’tazilah dan Pemikirannya
1.
Wasil bin Atha’
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya
dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran
Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat
Tuhan.
2.
Abu Huzail al-Allaf
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut
aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kota Bashrah.
Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum
Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
3.
Abu Huzail al-Allaf
Adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar
digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula
menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
4.
Al-Jubba’i
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri
aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT,
sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia
menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui
melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia
membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui
manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang
diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah
syar’iah).
5.
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah
mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk
berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya,
maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan
Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa
pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna,
sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat
mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada
kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga
memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang
tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu
yang bersifat baru dan tidak kadim.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah
munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah tahun 105 – 110
H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah
Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid
Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal,
kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa
besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin.Inilah awal kemunculan
paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya
golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Mu`tazilah
mempunyai lima ajaran dasar, perintah bernuat baik dan larangan berbuat jahat,
dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu`tazilah saja, tetapi oleh
golongan-golongan umat Islam lainnya.
Aliran
kaum Mu`tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran Islam, dan
dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat Islam, terutama di Indonesia.
Pandangan demikian timbul karena kaum Mu`tazilah dianggap tidak percaya kepada
wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagai diketahui kaum
Mu`tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat
Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasir
Ahmad, Sahilun.2010. Pemikiran
Kalam(teologi islam). Jakarta:Rajawali pers.
Rozak
Abdul, Anwar Rosihon. 2006. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Yudi
Prahara,Erwin. 2008. Buku Paket Materi PAI.Ponorogo: STAIN PERS
Sudarsono.
2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT
Rineka Cipta.
Supiana
dan Karman, M. 2004. Materi Pendidikan
Agama Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
0 Response to "makalah tentang Mu'tazulah"
Post a Comment